"Apa itu pers?"
Saya bertanya kepada sekelompok mahasiswa komunikasi yang datang ke kantor saya pada pertengahan Februari 2020 selepas Dzuhur.
Beragam jawaban mereka kemukakan. Ada yang mengatakan pers adalah aktivitas menulis berita. Ada yang mencoba lebih detil dengan menceritakan kegiatan mereportase, mewawancara, sampai menulis berita.
Kemudian saya menimpali, "Semua yang kalian sebutkan tadi adalah proses membuat karya jurnalistik. Tapi itu semua tak menjamin karya kalian terkategori sebagai produk pers. Masih ada satu syarat lagi dan ini menjadi paling utama."
Mereka semua terdiam.
"Satu syarat itu adalah media yang mempublikasikannya harus terdaftar di Dewan Pers."
Para mahasiswa itu tertawa. Tapi saya merasa mereka seperti mentertawakan diri mereka sendiri. Tawa mereka seperti orang yang ingin berbuat tapi tak bisa melakukan apa-apa kecuali tertawa.
"Kalau benar begitu ...," saya mencoba menebak pikiran mereka, "... lantas buat apa kita capek-capek belajar teori jurnalistik? Toh ujung-ujungnya tetap tak diakui sebagai produk pers?"
Ini semua karena pemerintah saat ini sedang gusar. Wajar! Sebab, lewat media online, semua orang bisa menjadi jurnalis sekaligus pemilik media. Akibatnya, banjir informasi tak bisa lagi dibendung.
Yang menarik, ketika media sosial mulai merebak, perilaku pembaca mulai berubah. Mereka menerima informasi pertama kali bukan lagi dari membuka situs-situs berita, melainkan dari jejaring sosial.
Akibatnya para pegiat media massa ramai-ramai mempublikasikan konten medianya di jejaring sosial. Konten-konten yang viral tidak lagi dimonopoli oleh media-media besar. Semua media punya peluang yang sama untuk memviralkan kontennya.
Ini semua membuat pemerintah merasa khawatir tersebarnya informasi-informasi hoax dan konten-konten radikal yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Pemerintah merasa ini semua harus diatur. Harus dibedakan mana media pers dan mana media kebebasan berekpresi.
Sayangnya, pembeda itu hanya berupa satu kata, "Terdaftar". Dan, agar bisa terdaftar, banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Faktanya, tak ada media Islam yang berhasil menembus persyaratan-persyaratan itu.
Ada pertanyaan lain yang menggelitik. Jika media sosial telah mampu menggeser dominasi media pers yang terdaftar di Dewan Pers, lalu apa gunanya berletih-letih diri agar diakui oleh Dewan Pers? Toh informasi, gagasan, dan pendapat, bisa kita publikasikan sendiri di media sosial?
Rupanya tidak sepenuhnya begitu. Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, saat berdialog dengan para jurnalis Muslim di suatu tempat di Jakarta Selatan, pertengahan Februari 2020 lalu, mengatakan dengan jujur, "Saya masih butuh kalian." Ungkapan ini ia sampaikan saat ditanya bagaimana kiat dia menghadapi perang opini di media sosial.
Media sosial, katanya, mamang jauh lebih hiruk pikuk ketimbang media pers. Namun, kehiruk-pikukan itu tak akan ada jikalau media pers tidak menyediakan bahan bakunya. "Karya kalian adalah bahan baku bagi media sosial."
Jadi, tetap saja media pers tak tergantikan meskipun konten-konten media sosial "mewabah" sangat cepat. So, bagaimana solusinya? Kita bahas kelanjutan artikel ini pada kesempatan berikutnya .... ***
Senin, 24 Februari 2020
Dilema Pers
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat