Setiap kali berkisah tentang pentingnya shalat berjamaah bagi laki-laki Muslim, para ulama selalu merujuk pada al-Qur'an surat An-Nisa [4] ayat 102.
Di ayat tersebut, Allah Ta'ala menjelaskan tata cara shalat berjamaah dalam keadaan berjaga-jaga dengan senjata tetap disandang. Shalat seperti ini biasa dikenal dengan sebutan shalat khouf.
Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa ayat ini menjadi dalil wajibnya shalat berjamaah. Di dalam ayat ini terdapat kata perintah "hendaklah". Kata perintah ini bahkan diulang berkali-kali.
"Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah sahabatmu lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka shalat besertamu ..."
Penggalan selanjutnya dari ayat tersebut adalah "... hendaklah mereka pindah dari belakangmu," kemudian "... hendaklah datang golongan yang lain yang belum shalat."
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa hukum asal perintah adalah wajib. Bahkan, dari ayat ini tergambar juga bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu ’ain, bukan fardhu kifayah. Sebab, Allah Ta'ala tidak menggugurkan perintah-Nya pada kelompok kedua setelah kelompok pertama selesai menjalankan shalat berjamaah rakaat pertama.
Jadi, jika dalam keadaan berjaga-jaga saja kaum Muslim wajib shalat berjamaah, apalagi dalam keadaan aman. Tak ada alasan untuk menolak kewajiban itu.
Ayat lain yang juga dijadikan rujukan kewajiban shalat berjamaah adalah Al Qalam [68]: 42-43. “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.”
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, dalam Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, menjelaskan bahwa kata-kata "dipanggil untuk bersujud" dalam ayat ini bermakna shalat berjamaah. Orang-orang yang tidak melaksanakannya kelak di hari kiamat akan dihinakan oleh Allah Ta’ala.
Keterangan lebih jelas tentang wajibnya shalat berjamaah tergambar dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Tersebutlah seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.”
Laki-laki itu kemudian meminta keringanan kepada Rasulullah SAW untuk tidak shalat berjamaah di masjid dan diperbolehkan shalat di rumah saja.
Awalnya Rasulullah SAW memberikan keringanan kepadanya. Namun, ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah SAW memanggilnya lagi dan bertanya,“Apakah kamu mendengar suara adzan?”
”Ya Rasulullah,” jawab laki-laki buta itu.
Rasulullah SAW kemudian bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.”
Cerita serupa juga dialami seorang sahabat bermata buta bernama Ibnu Ummi Maktum. Dia meminta keringanan kepada Rasulullah SAW agar diperbolehkan shalat di rumah saja. “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas," katanya beralasan.
Lalu Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Riwayat Abu Daud, bertanya, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut."
Hadits lainnya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang keinginan Rasulullah SAW membakar rumah orang-orang yang enggan shalat berjamaah di masjid.
Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW berkata, ”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti shalat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.”
Wajarlah bila Rasulullah SAW begitu marah kepada kaum Muslim yang enggan shalat berjamaah pada masa itu. Sebab, seluruh sahabat Rasulullah SAW selalu shalat berjamaah bersama Rasulullah SAW. Hanya orang-orang munafik yang meninggalkannya.
Hal ini diceritakan oleh Ibnu Mas’ud, “Kami melihat tidak seorang pun dari shahabat Rasulullah SAW meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang-orang munafik yang diketahui kemunafikannya, atau orang sakit."
Namun, para ulama masih berselisih pendapat apakah shalat fardhu berjamaah itu menjadi syarat sahnya shalat atau bukan.
Soal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjawab dalam Fatawa Arkanul Islam bahwa shalat fardhu berjamaah bukan menjadi syarat sahnya shalat. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Rasulullah SAW bahwa shalat berjamaah lebih utama atas shalat sendirian.
Pengutamaan shalat berjamaah atas shalat sendirian menunjukkan bahwa shalat sendirian juga memiliki keutamaan dan keutamaan ini tidak akan mungkin tercapai kecuali jika sah hukumnya. Namun, siapa yang meninggalkan shalat berjamaah tentu akan berdosa kecuali bila ia mempunyai udzur syar’i.
Wallahu a'lam
Minggu, 19 Mei 2019
Keutamaan Shalat Berjamaah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat