Minggu, 12 Mei 2019

KPU dan Kawat Berduri

Kawat berduri menggelung di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jl Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Tersiar kabar pada Kamis siang, 9 Mei 2019, sejumlah massa akan berdemo di kantor lembaga penyelenggara pemilu ini. Dua mantan jenderal dikhabarkan akan hadir. Aparat kepolisian telah bersiap-siap menghadapi mereka. Jumlahnya lebih dari 100 personil. Situasi hari itu seperti hendak bersiap-siap perang.



Namun, bukan sejak Kamis itu kawat berduri terpasang di depan kantor KPU. Kawat tersebut sudah ada sejak 5 hari sebelumnya, atau pada Sabtu pagi, 4 Mei 2019. Kawat tersebut bergelung tinggi, hampir 2 meter.  Pada setiap 10 cm, ada duri-duri lancip. Jika kulit tergores sedikit pada duri tersebut, luka otomatis akan menganga.

Gelungan kawat berduri itu memanjang dari timur ke barat, memagari bagian depan kantor KPU. Aparat keamanan berjaga-jaga di depan dan belakang gelungan tersebut. Orang sembarangan tentu tak bisa masuk ke kantor ini. Wartawan saja harus memperlihatkan identitas plus menjalani pemeriksaan terlebih dahulu. Yang tak berkepentingan, jelas tidak bisa masuk.

Sementara di dalam gedung KPU masih berlangsung rekapitulasi hasil pemilu yang sudah menginjak hari ke 22 setelah pencoblosan pada 17 April lalu. Rekapitulasi ini akan berakhir pada 22 Mei 2019. Ibaat pertandingan, hari itu adalah babak akhir dari kompetisi akbar yang selalu digelar setiap lima tahun ini. Pada hari itu KPU akan mengumumkan siapa pemenangnya.

Namun, kawat berduri yang telah menggelung di depan kantor KPU sebelum kompetisi ini berakhir menyiratkan adanya kekhawatiran. Kompetisi yang seharusnya berlangsung fair, terindikasi curang. Bukti kecurangan begitu banyak, bahkan kasat mata.

Relawan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Paslon 02, misalnya, telah melaporkan temuan sebanyak 73.715 kesalahan input data sistem informasi penghitungan suara (situng) KPU, atau sebanyak 15,4 persen dari total 477.021 TPS yang diinput. Barang bukti berupa 1 boks kontainer data hasil capture ikut dibawa oleh relawan ke kantor Bawaslu pada 3 Mei 2019.

Bawaslu sendiri, tak lama setelah hari pencoblosan, langsung menerima 121.993 laporan kecurangan. Ada KPPS yang berupaya mengarahkan untuk memilih paslon tertentu, ada pula KPPS yang mencoblos surat suara yang tidak terpakai. Jumlah kasus yang terakhir ini mencapai 860 TPS.

Yang menarik, ada juga laporan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang hilang. Ini terjadi di Sumatera Selatan. Akibatnya, lebih dari 200 warga tak bisa menyalurkan hak pilihnya.

Dari banyak temuan tersebut wajar jika masyarakat ramai-ramai memprotes KPU sebagai panitia penyelenggara pemilu. Tak sekadar masyarakat kebanyakan, para 'alim yang seharusnya berdiam di majelis-majelis ilmu juga ikut turun ke gelanggang. Mereka memprotes kecurangan ini. Mereka bersuara di atas mimbar. Mereka memimpin aksi di jalanan.

Ijtima ulama ke-3 yang berlangsung di Sentul, Bogor, pada 1 Mei 2019, bahkan menempatkan kecurangan ini di poin pertama dari 5 poin rekomendasi yang mereka hasilkan. Para 'alim menyimpulkan bahwa telah terjadi berbagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.

Jadi --- barangkali--- kawat berduri yang bergelung di depan kantor KPU sengaja dipasang untuk mengantisipasi kekecewaan masyarakat. Tak bisa dipungkiri, kawat yang pernah mengitari Gedung DPR saat para mahasiswa berdemo menuntut Soeharto lengser pada 1998 silam ini membuat hati kian berjarak.

Mudah-mudahan KPU bisa bijak menyikapi semua ini. Sebab, kata Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Fatir [35] ayat 43, "... Rencana yang jahat hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri. Mereka hanyalah menunggu (berlakunya) ketentuan (sebagaimana) orang-orang yang terdahulu."

Na'udzubillahi min dzalik. ***

(Dipublikasikan oleh www.hidayatullah.com tanggal 8 Mei 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat