Senin, 03 Desember 2018

Rumah Besar Itu Bernama Hidayatullah

"Selamat datang di rumah kita," kata Ust Hasyim HS dari atas mimbar Masjid Agung Ar Riyadh, di Kampus Induk Hidayatullah, di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 19 November silam, seusai shalat magrib.

Ribuan dai Hidayatullah duduk dengan takzim mendengarkan penuturan salah seorang pendiri Hidayatullah tersebut. Kampus Hidayatullah ketika itu akan menggelar hajatan akbar, yakni Silaturahim Nasional Dai Hidayatullah. Tak kurang dari 10 ribu dai dari 34 propinsi dan 360 kabupaten di Indonesia bakal hadir di tempat tersebut.

"Di sini, jangan merasa sebagai tamu. Sebab, ini rumah kita,” kata Hasyim lagi. Senyumnya menghiasi wajahnya yang teduh.

“Rumah kita” yang disebut Hasyim ini adalah sebuah kawasan seluas 120 hektar di Jl Teritip, Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, sekitar satu jam perjalanan mengendarai mobil dari Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.

Dulu, 45 tahun yang lalu, rumah besar ini hanyalah hutan belantara. Sang pendiri, Ust Abdullah Said Allahuyarham, membuka hutan ini bersama para sahabat yang tak lebih dari 20 orang saja. Hasyim, salah satunya.

Mereka bekerja keras siang dan malam. Mereka memiliki cita-cita besar, membangun sebuah peradaban Islam yang kelak kemuliaannya akan terpancar ke seluruh Nusantara, bahkan dunia.

Dari mana gagasan itu muncul? Rupanya, sejak lama Abdullah Said telah jatuh hati kepada sebuah perkampungan di Syanggit, Libya, tepatnya di sebelah selatan kota Tripoli.

KH Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang hidup pada kurun 1896-1946, pernah mengunjungi desa ini saat belajar di Mesir. Ia kemudian menuliskannya dalam buku berjudul Mutu Manikam. Buku inilah yang dibaca oleh Abdullah Said dan menginspirasinya untuk membuat perkampungan serupa di Balikpapan.

Dalam buku karya Mas Mansur tersebut ditulis bahwa Desa Syanggit dipimpin seorang ulama bernama Syekh Sidi Abdullah. Ia ulama yang kaya raya. Ia membangun sebuah asrama besar di desa ini dan dihuni sekitar 5 ribu santri. Mereka tak sekadar belajar ilmu agama, tapi juga ilmu kehidupan.

Syekh Sidi berhasil menyulap kampung tersebut menjadi asri. Di tengah kampung terdapat sungai. Di sekitar sungai ditanamani pohon kurma dan tin. Kampung ini memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan, serta beberapa ekor unta dan kuda. Itu semua milik Syekh Sidi.

Semua santri di Desa Syanggit pandai berenang dan menunggang kuda. Hebatnya lagi, tak ada satu pun penghuni kampung yang merokok. Sebab, merokok memang dilarang keras di tempat tersebut.

Semua daya tarik itu telah memesona Abdullah Said untuk segera menyulap lahan wakaf yang awalnya seluas 72 hektar di Gunung Tembak, Kalimantan Timur, menjadi kawasan asri sebagaimana Syanggit.

Apalagi, ketika itu, belum lama terjadi pemberontakan G 30 S PKI. Meskipun tokoh-tokoh PKI telah berhasil diberangus, namun Abdullah Said yakin mereka akan terus bergerak mempengaruhi masyarakat. Jika pembangunan kawasan Islami ini bisa terwujud, insya Allah semua pengaruh buruk tersebut bisa ditangkal.

Keinginan ini sebenarnya juga dimiliki oleh Mas Mansur. Saat Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1941, Mas Mansur bertutur panjang lebar soal lembaga pendidikan yang ia lihat di Syanggit. “Mungkinkah Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan seperti itu?” tanya Mas Mansur kepada peserta kongres ketika itu.

Usulan tersebut disetujui oleh peserta kongres. Namun sayang, wujudnya tidak sebagaimana diusulkan oleh Mas Mansur. Lembaga pendidikan yang dibuat berbentuk Perguruan Tinggi Islam, bukan sebuah perkampungan.

Berkaca dari sini, Abdullah Said sadar, tak mudah mewujudkan keinginan ini. Apalagi ia bukanlah Syekh Sidi yang kaya raya. Abdullah Said hanyalah pemuda perantauan yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat untuk berjuang.

Rupanya Allah Ta’ala mengabulkan keinginan Abdullah Said dan para pendiri ketika itu. Kerja keras mereka, serta doa-doa yang senantiasa mereka panjatkan di setiap sepertiga malam terakhir, berbuah hasil. Kini, di atas lahan wakaf seluas sekitar 120 hektar telah berdiri masjid agung tiga lantai, gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi, aula pertemuan, kantor, guest house, perumahan warga, serta dilengkapi sarana umum dan lingkungan hijau yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak asri.

Bahkan pada tahun 1984, Presiden Soeharto menganugerahkan Kalpataru kepada Abdullah Said karena ia dinilai mampu mengubah kawasan kritis di Gunung Tembak menjadi lingkungan pesantren yang hijau dan indah. Di tengah lokasi pesantren terdapat danau buatan yang tidak pernah kering meski berada di musim kemarau.

Santri-santri sudah mulai banyak. Mereka tak sekadar belajar agama, tapi juga belajar tentang hidup bermasyarakat. Tak heran jika santri-santri tersebut tak sulit beradaptasi ketika dikirim untuk berdakwah ke seluruh wilayah di Indonesia, khususnya daerah-daerah pedalaman dan minoritas Muslim.

Di tempat tugas yang baru, para santri Hidayatullah tak sekadar berdakwah, tetapi juga membangun cabang-cabang pesantren sebagaimana di Gunung Tembak. Pada akhirnya, tersebarlah pesantren ini ke lebih dari 360 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Kini, rumah besar yang dicita-citakan Abdullah Said telah berdiri megah. Tak hanya di Balikpapan, tapi juga di hampir seluruh Indonesia. Hidayatullah kini telah memiliki Baitul Maal, Baitul Waqaf, lembaga kesehatan, lembaga rescue, minimarket dan supermarket, media massa, sekolah-sekolah, serta lima perguruan tinggi.

Pada pertengahan November belum lama ini, tak kurang dari 10 ribu dai Hidayatullah telah “pulang” ke Gunung Tembak. Mereka saling melepas rindu satu sama lain. Mereka juga menimba spirit dari para pendahulu yang tak pernah bosan membagi pengalaman dan nasehat kepada mereka. Sementara ratusan ribu dai Hidayatullah lainnya masih berada di daerah tugas masing-masing.

Semoga Allah Ta’ala ridho dengan kiprah mereka semua. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat