Rabu, 05 Desember 2018

Mewaspadai Nilai Berita yang Terlupakan

Kebanyakan media pers merumuskan berbagai faktor yang menentukan nilai berita sebuah keadaan yang diliput. Semakin tinggi nilainya maka semakin layak sebuah keadaan tersebut diliput dan dipublikasikan. Atau sebaliknya, semakin tidak layak dipublikasikan.

Faktor kedekatan (proximity), misalnya. Peristiwa yang terjadi di desa sebelah tentu lebih menarik dibanding peristiwa serupa di propinsi tetangga. Semakin dekat, baik secara jarak maupun emosi, maka semakin layak.

Ada juga faktor dramatis, yang biasanya terkait dengan jumlah. Semakin banyak tentu semakin menarik. Faktor lainnya adalah aktualitas, unik, dan unsur pertama kali (belum pernah terjadi sebelumnya).

Masing-masing faktor ini biasanya diberi bobot. Bobot tertinggi tentu saja disematkan pada faktor yang dianggap prioritas oleh pengambil keputusan di media tersebut.

Nah, salah satu faktor yang ikut menjadi penentu nilai sebuah berita adalah kesesuaian dengan visi dan misi. Faktor yang satu ini kerap dipandang sebelah mata oleh para jurnalis, terutama mereka yang memegang teguh idealisme profesi.  Sebab, bagi mereka, faktor yang satu ini mengekang independensi profesi. Kalau pun faktor ini tetap ingin dimasukkan sebagai kriteria sebuah berita layak dipublikasi, maka "mbok ya bobotnya jangan besar-besar amat." Begitu kira-kira pinta mereka.

Namun, apa yang terjadi dengan beberapa media arus utama pada peristiwa Reuni Aksi Bela Islam 212 yang berlangsung 2 Desember lalu, membuat kita semua terhentak, terutama para jurnalis. Sebab, peristiwa tadi memenuhi hampir semua faktor yang menentukan nilai sebuah berita.

Dalam hal jumlah (dramatis), reuni tersebut terbesar dari aksi yang pernah ada di Indonesia, bahkan di dunia. Dalam hal aktualitas, unik, atau unsur pertama kali, juga masuk, bahkan bernilai amat tinggi.

Jadi, bila ada media massa yang tak tertarik memberitakan peristiwa ini maka rasa-rasanya satu-satunya alasan adalah karena faktor yang terakhir tadi: tidak sejalan dengan visi dan misi media tersebut.

Hebatnya lagi, faktor yang kerap disepelekan oleh para jurnalis ini tiba-tiba berbobot amat tinggi, mengalahkan faktor-faktor lain yang sebetulnya nilainya sudah sangat tinggi.

Lantas, pelajaran apa yang bisa kita tarik dari sini? Jawabnya, jangan sepelekan visi dan misi sebuah media. Sebab, faktor ini berbobot sangat tinggi. Bahkan, jika sudah menyangkut hal ini, sia-sia kita berharap mereka akan profesional. Dan, ini bisa berbahaya.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat