Kamis, 22 Februari 2018

Nawaitu Menulis

Pada masa sebelum pertengahan tahun 1990-an, ketika koran masih merajai jagad media, dan internet masih susah kita temukan, kita amat sulit mempublikasikan karya tulis yang kita buat.


Kita telah susah payah menulisnya, dan merasa bahwa itulah karya terbaik yang pernah kita buat, namun ketika dikirimkan ke koran kesayangan kita, malah ditolak.

Ada sejumlah alasan yang menyertai penolakan tersebut. Mulai dari "tidak memenuhi standar", "tidak ada rubrik yang sesuai," sampai tak ada alasan sama sekali alias kita didiamkan.

Ketika itu terjadi, kebanyakan dari kita menyerah. Keinginan menulis kita buyar. Bahkan kita merasa dunia tulis menulis bukanlah dunia saya.

Namun, sebagian lagi masih berusaha menulis. Ada yang menulis meskipun tak lagi berhasrat mengirimkannya ke media massa. Cukup dengan membacanya sendiri, lalu menyimpannya di disket-disket komputer, atau halaman-halaman buku tulis. Itu saja sudah puas.

Sebagian yang lain ---dan ini jumlahnya sangat sedikit--- masih tetap menggantungkan harapan agar suatu saat kelak karyanya bisa dipublikasikan media massa. Mereka tetap mengirimkan karyanya ke meja redaksi koran atau majalah meskipun akhirnya ditolak lagi.

Kata mereka, "Seratus kali engkau tolak karyaku, wahai media massa, seribu kali aku akan mengirimimu tulisan." Walau faktanya kemudian, ia letih juga, dan menyerah.

Begitulah nasib karya kita ketika itu. Betapa besar ketergantungan kita pada media massa. Sementara kita jelas tak mungkin membuat media massa sendiri. Biayanya sangat mahal. Hanya pengusaha kelas kakaplah yang bisa melakukannya.

Namun sekarang, Allah Ta'ala Yang Maha Berkehendak telah merubah itu semua. Tak perlu berbilang ratusan tahun, hanya puluhan tahun saja, semua tiba-tiba berubah, 180 derajat.

Kini, semua kita tak perlu lagi "mengemis-ngemis" pada media massa agar karya kita dipublikasikan dan dibaca oleh banyak orang. Sebab, kita bisa mempublikasikannya sendiri.

Kita bisa membuat sendiri blog, atau situs sederhana, lalu mencemplungkan karya-karya kita di sana.  Seluruh dunia seketika bisa membaca tulisan kita. Tak perlu menunggu esok sebagaimana pada koran, apalagi menunggu sampai pekan depan sebagaimana majalah.

Andai kita tak bisa membuat blog, kita masih bisa membuat akun jejaring sosial. Lewat fasilitas ini kita tak sekadar bisa mempublikasikan artikel, tapi juga bisa berinteraksi dengan pembaca secara langsung. Tulisan panjang, tulisan pendek, semua bisa kita publikasikan.

Pertanyaannya, apa yang kita lakukan setelah Allah Ta'ala mencabut seluruh kesulitan untuk memublikasikan karya-karya terbaik sebagaimana dulu kita alami? Apakah keinginan menulis yang dulu pernah ada kini muncul lagi baahkan bertambah besar?

Atau, apakah minat menulis kita masih tetap biasa-biasa saja? Apakah kita gampang down hanya karena karya kita tak mendapat apresiasi dari pembaca? Apakah upaya kita untuk meningkatkan kualitas tulisan juga biasa-biasa saja, atau bertambah hebat?

Nawaitu menulis, itulah jawaban yang bisa menjelaskan mengapa seseorang tak pernah berhenti menulis meskipun kesulitan bertubi-tubi menderanya. Itu pula jawaban mengapa seseorang amat gaampang menyerah dan berhenti menulis hanya karena persoalan sepele saja.

Nawaitu menulis, itu pula penentu apakah huruf demi huruf yang kita buat dengan segala kesulitan dan kemudahannya, menjadi saksi apakah kita pantas mendapat imbalan surga atau laknat neraka di hari ketika semua imbalan dunia tak ada artinya lagi.

Wallahu a’lam.

(Tulisan ini didedikasikan sebagai pengantar buku sahabat saya, Masykur, yang berjudul sama dengaan judul tulisan ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat