Senin, 26 Februari 2018

Iman Perkara Akal, Amal dan Hati

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik telinga kita dan kerap diutarakan oleh orang-orang yang pesimis kepada Islam. Pertanyaan tersebut sebetulnya mirip pernyataan. Sebab, sepertinya sang empunya pertanyaan tak ingin mendapatkan jawaban. Ia hanya ingin mengemukakan pertanyaan saja.

Begini kira-kira bunyi pertanyaan tersebut. "Jika memang Islam itu solusi yang sempurna, lalu mengapa Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia memiliki begitu banyak persoalan yang tak kunjung selesai? Mengapa di negara ini angka korupsi begitu tinggi? Mengapa perilaku kriminal begitu mengkhawatirkan? Bahkan sekadar kedisiplinan saja, Indonesia kalah dengan negara-negara lain?”

Ada nada mengejek dalam pertanyaan tersebut. Namun, harus kita akui, pertanyaan tersebut menggelitik untuk kita kaji jawabannya. Ada apa dengan kita? Ada apa dengan umat Muhammad SAW yang tinggal di negara ini?

Untuk menemukan jawabannya, cobalah berkunjung ke sebuah usaha pembuatan batu nisan. Perhatikanlah para tukang yang setiap hari mengukir batu-batu nisan tersebut. Apakah batu-batu itu telah menambah kedekatannya kepada Sang Pencipta?

Logikanya ya. Sebab, nisan-nisan tersebut adalah pengingat bahwa suatu saat, bahkan mungkin tak lama lagi, ia pun akan dibuatkan batu nisan seperti itu. Batu-batu nisan tersebut adalah pesan-pesan kematian yang datang setiap hari kepadanya. Kata  Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, “Perbanyaklah kalian mengingat penghancur segala kelezatan, yaitu kematian.”

Namun, fakta yang kita lihat tak seperti itu. Banyak pembuat batu nisan yang abai dengan nasehat kematian, padahal nasehat itu begitu dekat kepadanya. Tak hanya pengukir batu nisan, kita juga melihat fenomena serupa kepada para penggali kubur, penjaga makam, atau orang-orang yang setiap hari lalu lalang melewati perkuburan.

Mengapa itu bisa terjadi? Kebanyakan kita memang takut kepada kematian sehingga selalu berupaya menghindarinya. Namun, kepada pengadilan setelah kematian, kita tak benar-benar merasa takut.  Jika kita takut, pastilah kita akan berhati-hati menjalani hidup laksana orang yang berhati-hati melangkah di atas jalan penuh duri. Tak akan berani kita melanggar ketentuan-Nya

Di sisi lain, boleh jadi kita telah banyak mendengar tentang nikmatnya surga. Namun faktanya kita tak sungguh-sungguh mengimpikannya. Nikmat dunia yang amat tak seberapa justru lebih kita kejar hingga habislah waktu kita karenanya.

Itulah pertanda iman itu belum benar-benar bersarang pada diri kita. Kita memang telah bersyahadat, tapi kita belum benar-benar mengimani wahyu dari Sang Pencipta, sehingga wahyu tersebut tak berpengaruh apa-apa pada kehidupan kita sehari-hari.

Pada zaman dahulu kala, ada sekelompok Arab Badui datang menemui Rasulullah SAW. Mereka berkata, “Kami telah beriman (wahai Rasulullah SAW).”  Lalu Allah SWT menurunkan wahyu-Nya dengan berkata, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat 14-15, “Katakanlah (olehmu Muhammad), ‘Kamu belum beriman,’ tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam)’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...”

Jangan-jangan kita pun demikian juga. Kita belum sepenuhnya beriman. Kita masih sekadar Muslim.  Wajarlah bila kedahsyatan wahyu tak banyak berpengaruh terhadap bangsa ini.

Mari kita senantiasa berusaha untuk menumbuhkan iman pada diri kita. Sebab, iman tak bisa dijual beli, tak bisa juga diwarisi. Iman harus diupayakan. Sebab, ia berkait erat dengan hati, dengan akal, dan dengan amal.

Wallahu a’lam

(Ditulis untuk pengantar buku sahabat saya, Masykur)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat