Senin, 03 Oktober 2016

Kelakar yang Menjerumuskan

Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui sungguh kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. (Muttafaq `Alaihi)

o0o

Sejatinya berkelakar itu ada manfaatnya. Dengan berkelakar, ketegangan bisa berkurang. Sikap yang kaku bisa berubah menjadi luwes. Hubungan yang renggang, bisa kembali merapat. Canda bisa membuat suasana lebih akrab.

Rasulullah SAW juga pernah bercanda. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang Sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau juga bersenda gurau bersama kami?” Rasulullah SAW menjawab, “Benar. Hanya saja aku selalu berkata benar.” (Riwayat Ahmad)

Riwayat tentang wanita tua yang mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya perihal surga, amat mashur dalam ceramah-ceramah para dai tentang canda Rasulullah SAW.  Kata Rasulullah SAW ketika itu, “Wanita tua tidak ada di surga.” Nenek itu pun menangis mendengar jawaban tersebut. Rasulullah SAW lalu menghiburnya dengan berkata, “Sesungguhnya ketika masa itu tiba, Anda bukan (lagi) wanita tua seperti sekarang ini.”

Perhatikanlah canda Rasulullah SAW tersebut. Canda itu tak sekadar mengandung kebenaran, tapi juga mengandung ilmu pengetahuan. Alangkah berbeda dengan candaan kaum Muslim saat ini. Kebenaran telah dibolak-balik, aib dijadikan kelakar, obrolan vulgar pun begitu enteng diceritakan. Bahkan, ayat-ayat Allah SWT ikut menjadi bahan tertawaan. Naudzubillah.

Di era media sosial sekarang ini, kelakar mewabah bagai penyakit flu. Masyarakat seperti mendapat sarana baru untuk bercanda. Lihatlah fenomena Mukidi. Cerita lucu tentang sosok imajiner tersebut tiba-tiba menjadi viral di media sosial. Semua kekonyolan, bahkan kevulgaran, dialamatkan kepada tokoh tersebut.

Dulu, kelakar hanya berjalan satu arah lewat sajian telivisi, radio, atau media cetak. Kini, kelakar bisa berlangsung dua arah, bahkan lebih.  Setiap orang tiba-tiba bisa menjadi pelawak. Mereka berbagi bahan lawakan kepada teman, tetangga, bahkan kepada orang-orang yang tak dikenalnya. Kelakar pun bertebaran di mana-mana dan masyarakat seperti menikmati semua ini.

Padahal, tanpa disadari, boleh jadi kelakar tersebut telah mengantar mereka kepada kecelakaan yang besar. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah SAW berkata, “Celakalah bagi mereka yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya oraang banyak tertawa. Celakalah baginya dan celakalah!”

Memang, sebagian ulama, termasuk Syeikh Ibnu Utsaimin, membolehkan kaum Muslim membuat kisah fiksi. Namun, tentu saja terikat dengan syarat  syar'i yang ketat, seperti mengatakan secara terus terang bahwa cerita tersebut fiktif. Tujuannya pun harus jelas, yakni menerangkan perkara maknawi dengan sesuatu yang inderawi.

Kelakar tentu bukan bertujuan untuk memperjelas perkara maknawi. Bahkan, kelakar yang disertai kebohongan cenderung membuat martabat orang yang berkelakar menjadi rendah. Padahal, kata Imam Nawawi, kelakar Rasulullah SAW tidak sampai membuat martabatnya rendah.

Lagi pula, bukankah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk lebih banyak menangis ketimbang tertawa? Jadi, berpikirlah terlebih dahulu sebelum membuat kelakar! ***


(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2016)