Senin, 13 Juni 2016

Mari Hormati Orang yang Sedang Berpuasa

Fenomena ini berawal dari pernyataan Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim Saifuddin, bahwa kita harus menghormati hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang puasa. Pernyataan tersebut diungkap Menag melalui twit di media sosial.

Kicauan tersebut mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Kisruh di dunia maya ini menyebabkan Menag terpaksa menjelaskannya kembali arti pernyataannya. Sang Menteri memberi contoh arti kata “menghormati” dalam kicauannya bahwa warung atau tempat makanan tak perlu ditutup selama Ramadhan.

Penjelasan sang menteri ini justru menyebabkan diskusi semakin hangat di jejaring sosial. Muncullah petisi agar Mendagri mencabut Perda Larangan Berjualan di Bulan Ramadhan. Bahkan, Perda-perda soal syariat mulai dibawa-bawa dalam “perang opini” antara pihak yang pro dan kontra.

Awal Ramadhan lalu, terjadi insiden penutupan warung seorang warga di Serang, Banten, oleh Satpol PP. Penutupan ini berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Di dalamnya terdapat kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadhan, termasuk melayani dan menyediakan tempat bagi orang yang makan dan minum di siang hari. Pro kontra semakin marak atas peristiwa tersebut.

Rupanya kaum liberal betul-betul memanfaatkan kisruh tersebut untuk menjalankan misinya menjauhkan kaum Muslim dari Islam. Mereka membuat poster-poster kecil yang disebar di jejaring sosial. Poster itu berisi sikap nyinyir atas perlakuan pemerintah kepada pedagang kecil yang hendak mencari nafkah. Sikap nyinyir juga ditujukan kepada syariat Islam.

Lalu bagaimana seharusnya sikap kaum Muslim di negeri ini?

Kita harus memandang fenomena ini dari dua sisi. Pertama, antar sesama umat Islam. Jelas sikap menghormati orang yang tidak puasa itu keliru. Ada banyak kaum Muslim di negeri ini yang belum kuat imannya. Justru merekalah yang harus dilindungi dari perbuatan yang bisa menjerumuskan mereka kepada dosa dan maksiat.

Sisi kedua, antara Muslim dan non-Muslim. Diskusi tentang persoalan ini antara keduanya jelas sulit mendapat kata mufakat. Sebab, dasar dan rujukan keduanya berbeda. Kaum Muslim tentu mendasarkan pendapatnya pada al-Qur'an, Hadits, dan ijma ulama, sedang non-Muslim tidak. Jadi, untuk menyamakan persepsi tentang kata “menghormati” saja sulit dilakukan.

Karena itu, persoalan ini perlu diselesaikan lewat ketegasan pemimpin (pemerintah). Peran pemimpin Muslim sangat dibutuhkan. Pemimpin Muslim harus menyadari bahwa tugasnyalah melindungi masyarakat Muslim di negeri ini dari godaan yang bisa menjerusmuskannya, terlebih di bulan Ramadhan. Apalagi, jumlah Muslim di tanah air ini dominan.

Namun, perlu juga disadari bahwa adab atas pelaksanaan larangan perlu diperhatikan. Kurang adab dalam menegakkan syariat bukan malah memberi solusi, tapi menimbulkan masalah baru.

Wallahu a’lam.


(Hidayatullah Online, 13 Juni 2016)