Senin, 06 Juni 2016

Kursi Kosong Pak Menteri

Kursi di samping kiriku kosong. Sedang kursi di samping kananku duduk Eko Maryadi, President of Southeast Asian Press Alliance (SEAPA).

Di samping kiri kursi kosong tadi duduk sang moderator diskusi, Arif Bambang Amri, kepala kompartemen PT Viva Media Baru. Di sampingnya lagi duduk ahli hukum federasi internasional (International Federation of Journalist), Jim Nolan.

Siang itu, 4 Mei 2015, sejumlah jurnalis berkumpul di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, guna mengikuti diskusi jurnalistik bertajuk Kebebasan dan Penistaan, yang digagas oleh Aliansi Jurnalistik Independen (AJI).

Ketua Dewan Pers, yang ketika itu dijabat Bagir Mannan, ikut hadir, beserta sejumlah anggota Dewan Pers. Senior Information Specialist dari Kedutaan Besar Amerika Serikat, Indar Juniardi, serta para pemerhati pers seperti Usman Hamid, juga ikut. Jurnalis senior dari Jakarta Post, Ety Nurbaety, tak ingin ketinggalan.

Namun, kursi di samping kiriku tetap kosong. Seharusnya kursi ini ada yang menduduki. Ya, seorang pembicara yang hari ini amat kunanti kehadirannya.

Ada lima pembicara yang didapuk mengisi acara ini. Empat pembicara ---termasuk aku--- telah hadir sebelum acara dimulai. Tinggal satu yang belum hadir. Pembicara itulah yang seharusnya duduk di bangku kosong di sampingku ini.

Aku berharap hari ini bisa bertemu dia. Bukan karena dia seorang pejabat tinggi di negara ini, tapi karena dia adalah orang yang paling bertanggungjawab atas pemblokiran 19 situs Islam, termasuk situs yang kini aku pimpin. Ada sejumlah pertanyaan yang ingin kuajukan kepadanya.

Ya, pembicara yang seharusnya duduk di kursi di samping kiriku ini adalah Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Republik Indonesia, Rudiantara.

Pemblokiran itu sendiri terjadi pada 30 April 2015. Alasannya, menurut sejumlah informasi yang kubaca dari media massa, situs-situs ini dianggap berbahaya. Mereka mengistilahkan “radikal”.

Aku tentu kaget mendapati tudingan tersebut. Di hari pertama pemblokiran, tepatnya pada Senin sore 30 Maret 2015, aku bertanya kepada beberapa pengelola Hidayatullah Online, termasuk redaktur pelaksana, Cholis Akbar, barangkali mereka tahu di mana letak kesalahan situs ini sehingga dicap berbahaya dan layak diblokir. Namun tak ada satupun yang bisa mengemukakan jawabannya.

Kemudian, sehabis magrib di hari yang sama, ketika para pemimpin redaksi media-media Islam berkumpul di kantor AQL Center, Tebet, Jakarta Selatan untuk membahas persoalan pemblokiran ini, muncul satu nama yang kuduga bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tadi. Dialah Komjen Pol. Drs. H. Saud Usman Nasution, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Awalnya, nama itulah yang muncul, bukan nama Pak Menteri. Mengapa dia? Karena, menurut sejumlah narasumber yang hadir dalam pertemuan tersebut, pihak yang meminta pemblokiran adalah BNPT, bukan Kemenkominfo. Memang, Kantor Kemenkominfo yang memblokir situs kami, tapi BNPT-lah yang meminta.

Aku ingin sekali bertemu Saud Usman. Aku ingin menanyakan pertanyaan yang sama yang pernah kuajukan kepada para pengelola situs Hidayatullah Online, dimana letak kesalahan situs ini sehingga layak diblokir? Aku harus mencari cara untuk menemuinya.

Keesokaan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah stasiun radio meneleponku dan meminta wawancara langsung. Kata mereka, aku akan “dipertemukan” dengan pihak BNPT, tanpa merinci siapa narasumber yang dimaksud.

Tentu saja aku menyanggupi wawancara itu. Sebab, aku pikir, inilah saatnya aku bertanya kepada Saud Usman. Aku bisa mendapatkan jawaban langsung atas pertanyaan yang sejak kemarin berputar-putar di kepalaku.

Namun rupanya, bukan suara Saud Usman yang ada di seberang telepon, melainkan staf ahli BNPT, Wawan Purwanto. Meski demikian, aku tetap mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan, sudah kuduga, aku tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Lalu, menjelang siang, aku dan sejumlah perwakilan situs Islam yang diblokir mendatangi kantor Kemenkominfo di jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Pada kesempatan itu, kami dijanjikan untuk dipertemukan langsung dengan pimpinan BNPT. Aku kembali berharap bisa bertemu jenderal polisi berbintang satu tersebut.

Namun, lagi-lagi, bukan Saud Usman yang muncul, melainkan Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, MA. Aku kembali tak menemukan jawaban yang memuaskan dari bincang-bincang kami yang hampir satu setengah jam lamanya.

Dua hari setelah itu, aku diundang salah satu stasiun televisi swasta untuk berdiskusi langsung dengan kepala BNPT di studio mereka. Setelah aku mendapat kepastian bahwa Saud akan hadir, pagi-pagi, aku memacu sepeda motorku menuju jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, tempat stasiun televisi itu berada.

Tapi rupanya Saud Usman tak bisa hadir. Aku hanya difasilitasi untuk bicara lewat telefon. Itupun tak lama. Hanya beberapa menit saja. Dan, pertanyaanku masih belum tuntas terjawab.

Lalu, pada Ahad, 5 April 2015, hampir sepekan situs Hidayatullah.com diblokir, aku benar-benar dipertemukan dengan Saud Usman. Kali ini, AJI Jakarta yang mempertemukan kami. Dalam diskusi bertajuk Kontroversi Penutupan Situs Radikal di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan tersebut, aku bisa bertanya langsung kepada Saud yang duduk persis di sampingku.

Diskusi kami cukup lama dan disaksikan oleh lebih dari seratus wartawan online, cetak, dan televisi.  Selain aku dan Saud Usman, hadir juga sebagai pembicara Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, Ketua PWI, Margiono, dan Ketua AJI DKI Jakarta, .

Namun sayang, dalam pertemuan itu, Saud juga tak tuntas memberi jawaban. Ia mengatakan, pihak Kemenkominfo-lah yang seharusnya memverifikasi adanya dugaaan konten berbahaya pada situs-situs yang diblokir. “Bila ternyata tak ditemukan adanya konten bahaya, jangan diblokir,” kata Saud ketika itu.

“Bola panas” itu rupanya telah ditendang ke arah Kementrian Kominfo. Otomatis, perhatiaanku kini tertuju kepada Pak Menteri. Aku ingin menemuinya dan mengajukan pertanyaan yang sampai hari ke 11 belum tuntas terjawab.

Dan, hari ini, 4 Mei 2015, dalam diskusi yang digelar oleh AJI Pusat di Gedung Dewan Pers, aku berharap bisa bertemu pak Menteri untuk mengajukan pertanyaan yang belum kudapati jawabnya. Pertanyaan ini telah menggantung lebih dari satu purnama, bahkan tetap menggantung meskipun blokir atas situs Hidayatullah.com telah dibuka.

Aku mulai paparanku dalam diskusi ini dengan pertanyaan sederhana; Mengapa pemblokiran yang gegabah ---bila meminjam istilah Wakil Ketua DPR Fadli Zon--- ini bisa terjadi?

Dalam ruang diskusi terebut, aku hanya memaparkan fakta tanpa bisa memberikan jawaban atas pertanyan yang aku ajukan sendiri. Padahal, pertanyaan ini menjadi penting dijawab agar pertanyaan selanjutnya ---yang juga tak kalah penting--- bisa dicari pula jawabnya, yakni bagaimana cara agar di masa mendatang kejadian seperti ini tak terulang lagi?

Tapi, kursi kosong yang ada di sebelah kiriku tentu saja tak bisa memberikan jawaban apa-apa. ***

(Dimuat di Majalah Suara Hiayatullah edisi Mei 2016)