Senin, 09 Mei 2016

Trial by The Press

Jika semua orang diberi hak hanya dengan dakwaan, maka akan banyaklah orang yang akan mengklaim harta dan darah orang lain... (Riwayat Al-Baihaqi)
o0o

Istilah trial by the press, atau pengadilan oleh media, selalu saja muncul ketika kasus terorisme mencuat. Seseorang yang baru saja diduga sebagai pelaku terorisme, langsung divonis sebagai teroris oleh media.

Tudingan seperti ini jelas bermasalah. Jika tudingan itu ternyata tak terbukti benar, sementara stigma negatif sudah terlanjur disemaatkan pada diri sang terduga, maka sulit merehabilitasinya kembali. Stigma negatif itu akan terus mengganggu kehidupan dirinya, bahkan juga kehidupan anak dan isterinya. 

Pengadilan oleh media seperti ini bukan tak pernah terjadi di negeri ini. Kerap kita baca sebutan teroris langsung disematkan oleh media kepada seorang ustadz yang baru saja ditangkap oleh pihak kepolisiaan atas dugaan terlibat kasus terorisme. Namun, setelah sang ustadz dilepaskan kembali karena dugaan tersebut tak terbukti, tak ada permintaan maaaf kepadanya. Tak ada pula tindakan rehabilitasi nama baik.

Karena itu wajar bila pihak kepolisian, bekerja sama dengan Dewan Pers, pada April lalu menerbitkan aturan baru tentang pemberitaan kasus terorisme. Rupanya mereka merasa khawatir bila media buru-buru menjatuhkan vonis sementara palu hakim belum diketuk.

Dalam aturan baru tersebut dikatakan bahwa wartawan harus selalu menyebut kata "terduga" terhadap orang yang baru ditangkap oleh aparat keamanan karena dugaan tindak terorisme. Dalam kasus Siyono, misalnya, pers tidak boleh buru-buru menyebutnya teroris. Sebab, hakim belum memvonis bersalah. Jangankan divonis, dibawa ke pengadilan pun belum.

Adapun orang yang kesalahannya sedang diselidiki oleh polisi, wartawan perlu menyebutnya "terperiksa". Dan, orang yang sedang diadili harus disebut "terdakwa". Bahkan, orang yang telah diputus perkaranya sekalipun, semestinya disebut “terpidana”.

Islam jelas melarang seseorang asal menuduh. Jika menuduh, konsekuensinya berat. Mulai dari dosa yang bakal kita pikul di akhirat kelak, sampai kembalinya tuduhan tersebut kepada diri si penuduh, jika ternyata tak terbukti. Rasulullah SAW, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, mewajibkan orang yang menuduh untuk menyertakan bukti-bukti atas tuduhannya. Jangan asal tuduh.

Lalu, jika menuduh saja sudah amat tercela, bagaimana dengan aksi main hakim sendiri kepada tertuduh yang belum tentu benar tuduhannya? Bagaimana jika si tertuduh disiksa terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan? Bagaimana jika tulang iga bagian kiri si tertuduh dipatahkan hingga menusuk ke jantungnya dan mengakibatkan kematian si tertuduh?

Tentu ini perbuatan yang amat tercela. Sikap seperti ini justru harus lebih dahulu diberangus sebelum memberangus tuduhan itu sendiri. Trauma pada diri keluarga tertuduh akan lebih mendalam, membekas, dan merusak. Apalagi jika sikap seperti ini dilakukan oleh aparat yang seharusnya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Naudzubillahi min dzalik!

Mari kita lindungi negara ini dari tindakan seperti itu.

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2016)