Senin, 15 Februari 2016

Beriman Tak Cukup Sekadar Percaya

Secara bahasa, iman berarti percaya. Mungkin karena itu pula dulu kita dikenalkan enam perkara rukun iman yang salah satunya adalah percaya kepada Allah SWT. Namun dalam Islam, iman tak cukup sekadar percaya. Iman perlu taat.

Sebagai ilustrasi, mari kita perhatikan bagaimana hubungan antara pasien dan dokter. Sang pasien tentu tak sekadar percaya bahwa dokter mampu mengobati sakitnya, tapi ia juga taat kepada perintah dokter. Ia mengerjakan apa yang diperintahkan sang dokter, dan menjauhi apa yang dilarang sang dokter.

Begitu juga selayaknya iman. Kita tak sekadar percaya kepada Allah SWT, tapi juga harus taat kepada-Nya. Percaya yang tak disertai taat bukanlah iman, bahkan bisa jadi ia masih kafir, sebagaimana dulu kaum musyrik di zaman Rasulullah SAW.

Ketika kaum musyrik ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi,maka jawab mereka Allah. Mereka percaya pada Allah namun tidak loyal kepada-Nya. Mereka lebih memilih loyal kepada berhala.

Allah SWT menjelaskan fenomena ini di dalam al-Qur'an surat Az-Zumar [39] ayat 38, "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka , 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' Niscaya mereka menjawab, 'Allah!"

Ada satu kisah pada suatu malam Abu Sufyan bin Harb datang mengendap-endap di dekat rumah Rasulullah SAW untuk mendengar bacaan al-Qur'an beliau. Saat itu Rasulullah SAW tengah menunaikan shalat tahajud. Abu Sufyan duduk di salah satu sisi luar rumah Rasulullah SAW, terpukau mendengarkan bacaan al-Qur'an hingga menjelang fajar.

Rupanya bukan sekadar Abu Sufyan yang datang guna mendengar Rasulullah SAW melantunkan al-Qur'an, tetapi juga Abu Jahal dan Akhnas bin Syuraiq. Namun, ketika menguping tersebut, mereka tidak saling mengetahui.

Barulah ketika suatu ketika mereka bertiga berpapasan di suatu jalan saat selesai menguping bacaan shalat Rasulullah SAW. Mereka terkejut dan saling bertanya satu sama lain. Akhirnya mereka mengakui bahwa ketiganya sama-sama baru mendengar lantunan al-Qur'an. Mereka berjanji tidak saling menyebarkan informasi tersebut dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Tapi di malam-malam selanjutnya, mereka mengulangi lagi hal seperti itu Dan, lagi-lagi, mereka saling berpapasan ketika hendak pulang.

Rasa gusar dan penasaran atas fenomena tersebut menjadikan Akhnas datang ke rumah Abu Sufyan dan bertanya, "Apa pendapatmu tentang bacaan Muhammad, ya Abu Handhalah (panggilan Abu Sufyan)?"

Abu Sufyan menjawab, "Aku memahami (membenarkan) sebagian, dan aku tidak memahami sebagiannya lagi."

Akhnas lalu mengunjungi Abu Jahal (Abul Hakam) dan mengajukan pertanyaan serupa. Jawab Abu Jahal, "Terus terang aku mengakui kebenaran dari apa yang dibacakan Muhammad."

Bahkan bukan sekadar orang musyrik yang percaya kepada Allah SWT, iblis pun percaya. Dalam al-Qur'an surat Shaad [38] ayat 75-83, Allah SWT menceritakan dialog diri-Nya dengan iblis.

Dalam dialog tersebut, tepatnya pada ayat ke 79 iblis berkata, "Robbi (wahai Tuhanku)." Itu artinya Iblis tak sekadar mengakui keberadaan Tuhan dan sekaligus mengakui Allah SWT adalah Tuhannya.

Bahkan dalam ayat ke 82, iblis mengucapkan sumpah, "Fa bi izzatika" (maka demi keperkasaan-Mu). Itu berarti Iblis juga mengakui bahwa Allah Maha Perkasa.

Hebatnya lagi, iblis bukan sekadar percaya dan mengakui keperkasaan Allah, juga takut dengan Allah. Dalam al-Qur'an surat al-Anfal [8] ayat 48 disebutkan perkataan iblis kepada manusia, "Sesungguhnya saya takut kepada Allah."

Lalu, mengapa Iblis tetap ingkar dan tidak taat kepada Allah SWT? Jawabnya, karena sikap sombong dan dengki dalam dirinya.

Jadi jelaslah bahwa iman bukan sekadar percaya.