Senin, 14 September 2015

Hidayatullah dan Pertanyaan Kedubes AS

Pertengahan Februari tiga tahun lalu, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Mr Hilary C Dauer, berkunjung ke kantor Hidayatullah di Jakarta Timur. Dia datang dengan rasa penasaran.

Katanya, dia baru saja pulang dari pedalaman Papua. Dia tercengang mendapati sebuah pesantren telah berdiri di sana. Pesantren itu ternyata adalah pesantren Hidayatullah.

Sebelumnya, dia juga pernah berkunjung ke pedalaman Kalimantan. Lagi-lagi, di sana dia mendapati pesantren Hidayatullah. Ia kian penasaran. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Hidayatullah.

Rabu menjelang siang itu, ia datang bertamu untuk sekadar menuntaskan rasa ingin tahunya. Ia menceritakan pengalaman-pengalamannya mengunjungi sejumlah wilayah terpencil di Indonesia dan keterkejutannya mendapati pesantren Hidayatullah telah berdiri di sana.

"Apa yang dilakukan Hidayatullah sehingga jaringannya bisa begitu luas?" Kira-kira begitulah pertanyaan Sang Sekretaris Pertama Kedubes AS kepada saya dalam kunjungannya ketika itu.

Memang benar, Hidayatullah saat ini telah ada di hampir 300 kabupaten/kota di seluruh propinsi di Indonesia. Namun, terus terang, saya sulit memberikan pemahaman  kepadanya mengapa Hidayatullah bisa berkembang seperti sekarang ini. 

Ketika pertama berdiri tahun 1970-an, Hidayatullah hanyalah sebuah masjid kecil berukuran 20 x 10 meter persegi di atas sebuah lahan wakaf seluas 5,6 ha di Desa Gunung Tembak, Kalimantan Timur, sekitar 30 km dari pusat kota Balikpapan.

Masjid itu dibangun oleh Ustad Abdullah Said Allahuyarham bersama para santrinya. Mereka bekerja secara bergantian. Setelah selesai, masjid tak sekadar dipakai sebagai tempat shalat, tetapi juga tempat belajar, pertemuan, bahkan juga tempat tidur. 

Kian lama jumlah santri kian banyak. Bangunan juga bertambah. Santri-santri ini kemudian dikirim oleh Abdullah Said ke berbagai wilayah di Indonesia, utamanya di daerah-daerah terpencil. Mereka berangkat dengan bekal amat minim. 

Tugas para santri ini sama, yakni membangun pesantren serupa di berbagai daerah di Indonesia. Pesantren yang dibangun ini tak sekadar tempat belajar, tetapi juga diupayakan menjadi miniatur peradaban Islam. 

Tak lupa, Abdullah Said berpesan kepada para santrinya yang akan berangkat agar menjaga shalat malam, selain tentu saja shalat wajib tepat waktu secara berjamaah.

Mengapa shalat malam? Sebab, shalat malam adalah sarana paling tepat untuk mencurahkan segala keluh kesah kepada Sang Maha Pencipta. Shalat malam menjadi penting karena jalan dakwah tak akan pernah mudah. Shalat malam akan memberikan spirit baru dalam berjuang.

Dari spirit shalat malam inilah para santri bisa bertahan di tempat tugasnya dengan segala lika-liku hidupnya. Bahkan tak sekadar bertahan, tapi juga berkembang dan membesar.

Pimpinan Umum Hidayatullah, Ust Abdurrahman Muhammad, saat membuka Majelis Syuro Hidayatullah di Batam awal Oktober lalu menyatakan spirit Hidayatullah adalah kalimat Laa ilaaha illallah. 

Kalimat inilah yang menjadi spirit Nabi Musa AS saat menemui Fir'aun, raja yang mendaulat dirinya sebagai Tuhan. Kalimat ini pula yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad SAW bila ingin memenangkan dakwah ini. "Katakan La ilaaha illallah," kata Rasulullah SAW, "kalian pasti menang."

Cerita seperti ini jelas akan sulit dipahami oleh Sang Sekretatis Pertama Kedubes AS.  Cerita seperti ini hanya akan dipahami oleh mereka yang meyakininya. 

Apalagi bila melihat kiprah Hidayatullah yang terpublikasi di media-media massa, jelas tak semeriah organisasi Islam lainnya. Tak ada tokoh Hidayatullah yang dikenal luas oleh publik. Tak pernah pula ada aksi demonstratif besar-besaran yang digelar organisasi ini. Tak terdengar kader organisasi ini tumpah ruah ke jalan-jalan untuk menunjukkan kekuatan mereka.

Hidayatullah berkembang dengan caranya sendiri. Meskipun berbagai tudingan negatif sempat dialamatkan kepada mereka --misalnya tudingan sebagai organisasi radikal--- namun semuanya  mampu ditepis dengan cara yang baik tanpa menimbulkan gejolak.

Di usianya yang hampir setengah abad, Hidayatullah telah membangun negeri ini dengan caranya yang khas, cara yang mungkin sulit dipahami oleh mereka yang amat memuja logika dan tidak mengimani pertolongan Sang Khaliq.

Dan, tak lama lagi, organisasi ini akan menggelar Musyawarah Nasional ke IV di tempat kelahirannya, di Balikpapan, Kalimantan Timur, tepatnya pada 7 November 2015. 

Selamat bermuktamar dai-dai Hidayatullah! Semoga tetap istiqomah dengan semangat dakwah dan tarbiyahmu. ***

(Artikel ini dipublikasikan oleh Harian Republika pada Jumat 11 Oktober 2015)