(Mereka berkata) "Kami mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami." Padahal, nenek moyang mereka tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk. (Albaqarah [2]: 170).
o0o
Mari sejenak belajar kaidah berbahasa Indonesia. Anda pernah mendengar "Soto Kudus"? Soto adalah makanan sop yang terbuat dari kaldu daging dan sayuran. Sedangkan Kudus adalah nama sebuah kabupaten di Jawa Tengah.
Jika dua kata itu disatukan maka ia akan memiliki makna: makanan sop dari kaldu daging dan sayuran yang berasal dari Kudus dengan segala kekhasannya.
Mengapa ia disebut khas? Karena soto Kudus jelas berbeda dengan soto Bogor, juga soto Malang. Jadi, meskipun soto Kudus dijual di Jakarta, namanya tetaplah soto Kudus, tidak berubah menjadi soto Jakarta. Apalagi, di Jakarta pun ada soto khas bernama soto Betawi, yang jika dijual di Kudus tetaplah bernama soto Betawi.
Ini hanya sekadar analisis berbahasa yang sederhana sebagaimana dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Nah, mari kita pinjam analisis sederhana ini untuk mengkaji apa arti Islam Nusantara yang belakangan ini marak sekali diperbincangkan. Bahkan, Presiden Joko Widodo pun tak mau ketinggalan memperbincangkannya. Saat pembukaan Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada pertengahan Mei lalu, Jokowi mengatakan, Islam di Indonesia adalah Islam Nusantara.
Islam Nusantara, meminjam cara analisis masyarakat kebanyakan tadi, berarti Islam yang berasal dari Nusantara dengan segala kekhasannya. Ia berbeda dengan Islam yang berasal dari Arab Saudi, juga berbeda dengan Islam yang berasal dari negara-negara Timur Tengah lainnya.
Jika memang demikian arti dua kata tersebut maka ini berpotensi untuk salah logika. Sebab, ajaran Islam yang ada di Arab Saudi tentu sama dengan ajaran Islam yang berada di Nusantara. Apalagi kita tahu bahwa Islam bersifat rahmatan lil aalamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmat untuk Nusantara saja, bukan pula untuk Arab Saudi saja.
Kalau pun ada yang berbeda, itu sekadar cara menerapkan syariat Islam. Misal, Islam mengajarkan umatnya untuk menutup aurat. Maka, masyarakat Nusantara menerapkan syariat ini lewat kebiasaan menggunakan kain sarung, berbaju batik, plus kopiah. Tapi di belahan bumi yang lain, masyarakatnya lebih suka mengenakan gamis.
Perbedaan kultur dan budaya ini menjadi khas, namun tidak bertentangan dengan syariat Islam. Jadi, jika di Masjidil Haram kita temui orang dengan ciri khas tadi: mengenakan kain sarung, baju batik, dan berpeci hitam, maka kita dengan mudah menebak bahwa ia Muslim dari Indonesia.
Kembali kepada definisi tadi. Bila Islam Nusantara dimaknai cara menerapkan ajaran Islam yang sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat Nusantara, bukan ajaran Islam itu sendiri yang berebeda-beda, maka hal ini tentu boleh saja, selagi kita tidak mencela, memusuhi, apalagi menolak ajaran Islam dengan kultur dan budaya yang berbeda.
Akan tetapi, jika Islam Nusantara dimaknai bukan sebagai cara penerapan ajaran Islam yang berbeda-beda, melainkan ajaran Islam itu sendiri yang berbeda-beda berdasarkan wilayah, maka ini jelas keliru. Ajaran Islam sama, yakni bersumber dari al-Qur'an dan Hadits, di belahan bumi manapun ia berada.
Wallahu a'lam.
(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah pada edisi Juli 2015)