Senin, 13 Juli 2015

Ada Apa dengan Indonesia?

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu …” (Al-Hujarat [49]: 15)
 o0o

Awal Juni lalu, Presiden Jokowi kaget. Penyebabnya, wabah korupsi begitu ganas menjalar di negeri ini. “Mau menoleh ke sana, ada korupsi. Menoleh ke sini, korupsi! Semua korupsi," kata Jokowi sebagaimana dituturkan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada pleno Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI di Bojong Tegal, Jawa Tengah, Juni lalu.

Kegundahan Jokowi amat beralasan. Belum lama ini, Indonesia telah dinobatkan oleh lembaga Transparency International sebagai negara dengan peringkat 107 negara terkorup di dunia dari total 175 negara.

Angka ini jauh berada di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Singapura, bahkan, berada di peringkat 7. Dari tahun ke tahun mereka tak pernah absen dari 10 besar negara terbersih di dunia.

Yang memilukan, "prestasi negatif" bangsa ini bukan sekadar dalam hal angka korupsi, tetapi juga angka kriminal. Pada tahun 2012, menurut catatan Badan Reserse Kriminal Polri, setiap 91 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia. Kini, melihat kondisi ekonomi bangsa yang tak kian membaik, angka kejahatan tersebut sudah tentu meningkat.

Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan juga menunjukkan situasi “gawat darurat”.  Untuk kasus kekerasan seksual saja, misalnya, sepanjang tahun 2013, setiap tiga jam, setidaknya ada 2 perempuan di Indonesia yang mengalaminya. Untuk kekerasan secara umum, jumlahnya berpuluh kali lipat. Bayangkan, secara keseluruhan telah terjadi 280 ribu kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2013 di Indonesia. Na’udzubillah!

"Prestasi" lainnya adalah angka bunuh diri. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat, pada tahun 2010, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 5 ribu pertahun. Pada tahun 2015 ini diperkirakan angka tersebut naik menjadi 15 ribu orang.

Berita yang tak kalah miris disampaikan oleh Gerakan Nasional Anti Miras. Selama tujuh tahun belakangan ini, kata mereka, terjadi peningkatan luar biasa konsumsi minuman keras di kalangan remaja. Jika pada 2007 jumlah remaja pengonsumsi miras masih 4,9 persen, maka pada 2014 melonjak drastis hingga 23 persen dari total jumlah remaja Indonesia 63 juta jiwa.

Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah mengapa kondisi Indonesia bisa gawat seperti ini padahal sebagian besar penduduk negeri ini Muslim?  Bukankah dulu Islam terbukti mampu membawa umatnya keluar dari masa kejahiliyahan kepada masa terang benderang? Bukankah Islam agama sempurna yang mampu mengatur hidup manusia dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi?

Dalam sebuah kisah pada masa dahulu, sekelompok orang Arab Baduy pernah datang menghadap Rasulullah SAW seraya mengatakan bahwa “Kami telah beriman.” Namun, pernyataan iman mereka ditolak oleh Allah SWT dalam al-Qur`an surat al-Hujarat [49] ayat 14 dengan mengatakan, “Katakanlah (kepada mereka bahwa) kamu belum beriman, tetapi kamu Muslim (telah tunduk), karena iman belum masuk ke dalam hatimu.”

Boleh jadi cerita tersebut telah terjadi pula di negeri ini sekarang ini. Meski Indonesia berpenduduk lebih dari 80 persen Muslim, namun iman belum betul-betul masuk ke dalam hati mereka. Islam tak dianggap sebagai jalan hidup mereka. Akibatnya, Islam tak mengubah perilaku mereka.

Kini, di bulan Ramadhan ini, saatnya kita merenung dengan sebenar-benar merenung. Bukankah Allah SWT telah memanggil orang-orang beriman untuk menjalankan shaum Ramadhan? Jangan-jangan kita belum pantas menerima anugrah Ramadhan itu.

Wallahu a’lam.

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2015)