Jumat, 10 April 2015

Pipiet Senja, Sang Penebar Virus Menulis

Hati-hati, ada penyebaran "virus" di sekitar Anda! Tetapi, virus yang disebarkan sama sekali tak berbahaya. Bahkan, virus ini mampu mendatangkan manfaat untuk manusia. Pelakunya adalah seorang wanita paruh baya bernama Pipiet Senja.

"Kini, saya tengah giat menyebarkan virus menulis di kalangan para santri dan tenaga kerja wanita yang di luar negeri," kata pemilik nama asli Etty Hadiwati Arief ini.

Setiap bulan, tutur Pipiet, paling tidak sebanyak tiga kali ke luar kota untuk menyebarkan virus itu ke pesantren-pesantren di Riau, Madura, dan beberapa daerah lainnya. Katanya, program ini dinamakan Gerakan Santri Menulis. "Indah rasanya jika para kiai dan santri yang mumpuni dalam bidang ilmu agama Islam itu menulis," ujar Pipiet yang telah memulai gerakan ini sejak tahun 2010.

Mereka, kata Pipit, mempunyai kapasitas untuk mendakwahkan agama Islam dengan gaya sastra. Dan, setelah dilatih menulis sastra ternyata mereka punya potensi besar dalam menulis. Hal itu dibuktikannya dengan karya-karya sastra yang dihasilkan setelah selesai pelatihan. "Setiap usai pelatihan, saya selalu menantang mereka untuk membuat karya sastra, dan hasilnya luar biasa," ujar wanita kelahiran Sumedang, 16 Mei 1956 ini.

Jauh sebelum membidik santri, Pipiet banyak berinteraksi dengan para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, seperti di Hongkong, Malaysia, Thailand, hingga Arab Saudi. Kepada para buruh migran Indonesia ini, Pipiet melatih mereka menulis sastra islami. Bahkan saking dekatnya dengan para TKW, ia mendapat predikat "emaknya para TKW".

"Alhamdulillah, di antara mereka ada yang sudah menghasilkan karya sastra dan saya langsung yang menyuntingnya. Insya Allah, dalam waktu dekat kumpulan karya itu akan segera terbit," terang Pipiet menunjukkan contoh buku karya para TKW yang tengah disunting.

Yang menarik, tutur Pipit, ia melakukan pembinaan itu atas inisiatifnya sendiri. "Memang harus ada yang memulai meski hanya kecil-kecilan," tegasnya. Karena seorang diri, kadang ia harus meminta tolong kenalannya untuk membekali tiket ke satu daerah.

"Alhamdulillah ada beberapa ustadz dan kawan-kawan yang mau ikut membantu membelikan tiket perjalanan," kata anak sulung dari pasangan Siti Hadijah dan SM. Arief ini.

Menurutnya, saat ini semakin banyak yang meminta dirinya untuk mengajar menulis. Tapi semakin banyak yang memintanya menulis, ia merasa bersyukur. Itu artinya, kata Pipiet, akan semakin banyak penulis-penulis muda Muslim yang bermunculan. "Kita sangat memerlukan karya-karya sastra Islam hadir di toko-toko buku. Ironinya, kini justru banyak karya kalangan liberal yang memenuhi rak toko buku," tegas Pipiet merasa geram.

Namun, di tengah semangatnya mengajarkan menulis di kalangan santri dan TKW, ia tetap harus bersahabat dengan penyakit yang telah dideritanya sejak usia 17 tahun: Thalasemia. Akibat penyakit ini, limpa dan kantung empedu dalam tubuhnya harus diangkat. "Bahkan dokter sudah tiga kali memvonis saya tak akan hidup lama," ujar Pipiet yang juga menderita sakit jantung.

Tapi hal itu tidak membuat Pipiet berdiam diri. Ia masih terus bergerak menebar kebaikan dengan mengajarkan menulis. Meski pernah suatu hari, saat Hb-nya mencapai poin 4, dirinya ambruk tak sadarkan diri. "Allah sudah memberikan saya kesempatan maka saya ingin memanfaatkannya dengan baik," katanya.

Awal bulan Februari lalu, wartawan majalah Suara Hidayatullah, termasuk penulis,  berkunjung ke kediaman Pipiet Senja di perumahan Kota Wisata Cibubur, Jawa Barat. Wanita yang terlihat ramah dan semangat ini menuturkan tentang berbagai kegiatan, cita-cita, dan karyanya dalam bidang sastra islami. Hingga kini, ratusan karyanya telah diterbitkan dalam bentuk buku, di antaranya Jejak Cinta Sevilla, Dalam Semesta Cinta, Jurang Keadilan, Cinta Dalam Sujudku, Catatan Cinta Ibu dan Anak, Tuhan Jangan Tinggalkan Aku, Kepada YTH Presiden RI, Orang Bilang Aku Teroris, dan Menoreh Janji di Tanah Suci.

Berikut petikan wawancaranya.

Bisa diceritakan latar belakang Anda membuat program Gerakan Santri Menulis?

Ini berawal dari rasa geram saya terhadap maraknya karya-karya orang liberal, neo komunis, dan feminis di toko-toko buku besar. Saya berkesimpulan semestinya para santri dan kiai ini harus menjawab. Secara ilmu mereka lebih mumpuni maka harus mulai menulis.

Mengapa yang dipilih santri?

Memang sengaja saya mengincar santri, karena basic saya adalah sastra islami. Meski begitu tidak mesti santri yang mondok di pesantren. Ada juga yang saya bina di sekolah boarding di daerah Kampar, Riau.

Menurut Anda apakah memang belum banyak yang serius melakukan pembinaan mengenai penulisan sastra?

Iya, realitasnya begitu, makanya harus dimulai dari diri saya sendiri. Biarlah kecil-kecilan saya mulai. Alhamdulillah, banyak yang meminta saya untuk mengajarkan menulis. Dananya berasal dari teman-teman yang membantu membelikan tiket. Syukur, teman-teman TKW pun kadang membantu, karena saya dekat dengan mereka. Saking dekatnya saya disebut "emaknya TKW". He..he..he..

Bagaimana awal kedekatan Anda dengan para TKW?

Pada tahun 2010, atas sponsor Dompet Dhuafa Hongkong saya berangkat ke Hongkong untuk menyebar virus menulis di kalangan para TKW. Selain Hongkong, ada juga Makau, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Beberapa waktu lalu juga ada undangan dari TKW di Jeddah. Di sana ada komunitas baca. Alhamdulillah, beberapa karya mereka saya satukan dalam sebuah buku. Salah satunya kumpulan tulisan dari TKI di Malaysia yang diberi judul Seronok Negeri Jiran.

Dari para TKW itu juga saya diminta untuk mendidik anak-anak mereka yang belajar di pesantren di Indonesia.

Berarti dari informasi itu Anda memulai untuk masuk ke dunia pesantren?

Betul, saya mendengar dari para TKW bahwa anak-anaknya dititipkan di beberapa pesantren. Saya ke pesantren itu sambil nengok mereka. Dari situ saya mulai pendekatan ke pesantren. Selain itu, di Yogyakarta ada pesantren yang bangunannya disumbang oleh para TKW. Di situ juga saya bergabung dengan Ustadz Fauzil Adhim untuk melatih menulis di kalangan santri.

Sepanjang Anda memberikan pelatihan ke para santri, bagaimana minat mereka dalam menulis?

Alhamdulillah, sangat bagus. Saya merasa bersyukur karena animo membaca dan menulis mereka cukup bagus. Saya merasa tenang, berarti akan ada benteng untuk melakukan perlawanan melalui tulisan. Insya Allah.

Salah satu yang sering saya kunjungi yaitu pesantren di Banyuanyar, Madura. Terakhir saya datang ke sana saat Ramadhan tahun lalu, dan selama satu minggu saya melatih menulis. Alhamdulillah, sudah siap satu buku karya para santri. Saya langsung yang menyuntingnya.

Menurut Anda bagaimana potensi yang mereka miliki dalam menulis?

Dari segi potensi, mereka cukup bagus. Hanya saja kurang percaya diri. Mereka belum tahu bagaimana harus memublikasikan karyanya. Apalagi beberapa pesantren ada yang melarang penggunaan internet di lingkungan pesantren.

Apa tujuan yang ingin Anda capai dengan melakukan gerakan ini?

Saya ingin banyak santri yang jadi penulis. Dengan banyaknya penulis yang memiliki ilmu keislaman, insya Allah, Islam tidak akan dilecehkan. Sebab, sekali dilecehkan maka para santri akan membela melalui tulisan.

Apakah Anda yakin dapat mengalahkan kaum liberal yang jelas-jelas memiliki dana yang besar?

Tidak perlu memikirkan hasil dulu. Kita jalani saja usaha ini untuk mengarahkan mereka dalam menulis. Insya Allah, nanti akan lahir juga para penulis muda.

Ketika di al-Azhar, Mesir, tiba-tiba ada mahasiswi yang memeluk saya sambil berkata, "Bunda, masih ingat tidak, kan pernah menginap di pesantren putri di Padang Panjang? Alhamdulillah, sekarang saya menulis di bulletin." Saya senang sekali karena bertemu di tempat itu.

Apa yang Anda tanamkan kepada para santri saat mengajarkan menulis?

Saya bilang kita ini sedang "perang". Perang melawan pemikiran. Kita jangan berdiam saja dengan situasi ini. Banyak kawan-kawan yang bilang kepada saya, "Teteh terlalu berani tuh. Nanti Teteh di-bully."

Saya bilang, "Alah, begitu saja takut. Saya sudah tiga kali masuk ICCU. Malaikat masih melewati saya. Saya nggak takut sama orang, hanya azab Allah yang saya takuti."

Memang Anda pernah mengalami perselisihan?

Pernah, di salah satu kampus Islam. Ketika itu saya sedang menggelar pelatihan bertema "Katakan Cinta Melalui Aksara", tiba-tiba datang serombongan orang sambil mengatakan, "Apa hak kamu mengatakan sastra islami yang paling halal?" Saya bilang, "Lha, kapan saya ngomong begitu!" Padahal ketika itu saya hanya mengajarkan bagaimana mereka menulis.

Pernah juga di salah satu daerah di Brebes, Jawa Tengah yang menjadi basis komunis. Anak-anak yang ingin datang ke acara saya dibelokkan ke tempat lain. Akhirnya acaranya tidak jadi, hanya diadakan di kos-kosan. Berdasarkan pengalaman itu, memang realitasnya tantangan itu ada.

Apakah Anda sudah siap dengan kemungkinan yang terjadi?

Insya Allah, kita harus berjihad. Saya sering juga diingatkan kalau berdakwah dengan lembut. Tapi saya bilang memang harus ada orang-orang yang menyampaikan dengan tegas.

Apa harapan Anda terhadap para penulis dalam menyampaikan kebenaran?

Semoga teman-teman Forum Lingkar Pena masih terus berjalan dengan cantik. Jangan malu-malu lagi untuk mengatakan perang. Nggak perlu takut segala sesuatu, apalagi takut di-bully. Kita masih belum seberapa dengan saudara-saudara kita yang mempertahankan Islam di Gaza, Palestina.

Menurut Anda bagaimana para penulis muda saat ini dalam menyajikan Islam di dalam karyanya?

Sekarang ini komunitas penulis semakin banyak, baik komunitas penulis Muslim maupun non-Muslim. Masih ada para penulis Islam yang malu-malu dalam menyatakan siap "berperang". Tapi, ada juga lembaga tertentu yang gencar menulis dalam rangka melawan perang pemikiran. Sebagai penulis, kita harus bersatu.

Selain itu, saya berharap kepada penulis muda jangan ingin cepat terkenal dengan melihat Andrea Hirata, Habiburrahman El-Shirazy, dan yang lainnya. Padahal, perjuangan mereka dalam meraih sukses itu tidak instan.

Selain mengkader penulis muda Muslim, apa karya teranyar Anda yang akan diluncurkan?

Dalam dua tahun terakhir, saya lebih konsentrasi mengerjakan buku untuk anak-anak. Novel berjudul Imperium Mafia Politik yang sedang saya kerjakan sementara masih tersimpan, karena sebelumnya ramai pemilu. Melalui buku anak-anak banyak pesan moral yang ingin saya sampaikan. Alhamdulillah, hingga kini sudah tercetak sebanyak 120 judul buku untuk anak.

Mengapa memilih menulis buku untuk anak-anak?

Sebab, masih langka penulis buku anak-anak. Barangkali kurang ngetop kalau menjadi penulis buku anak. Padahal, anak-anak pun memerlukan bacaan yang bermutu. Beberapa waktu lalu, ketika saya ke toko buku, saya menemukan komik Jepang yang covernya seperti untuk anak-anak, tapi di dalamnya justru membicarakan hubungan suami-istri. Miris saya.

Dengan kondisi itu, apa yang Anda harus lakukan?

Harus diperbanyak buku anak-anak yang berkualitas. Makanya saya bersama seorang ustadz berencana membuat gerakan sejuta buku anak. Bukan hanya orang tua yang menulis, tapi juga anak-anak. Banyak kok anak-anak Indonesia yang pandai menulis.

Dari segi gaya bahasa, apakah Anda tidak merasa kesulitan?

Memang ada perbedaan dari segi gaya bahasa. Tapi, saya sudah menulis segala macam, dari buku anak-anak, remaja, dewasa, bahkan sekarang menulis buku untuk lansia.

Kalau novel Imperium Mafia Politik yang sedang Anda tulis menceritakan tentang apa?

Tentang mafia-mafia politik yang dikemas secara fiksi. Sekarang sudah mencapai 300 halaman. Beberapa potongan cerita pernah saya posting di web pribadi saya www.pipitsenja.net. Tahun ini, insya Allah akan diluncurkan. Uniknya, belum juga diluncurkan bukunya sudah ada surat ancaman yang masuk ke saya.

Nilai apa yang ingin Anda sampaikan?

Sebagai orang awam yang kebetulan penulis, saya melihat Indonesia ini hanya dikuasai oleh beberapa gelintir orang. Saya ingin menyorot itu. Dari mulai Soeharto sampai sekarang. Mau kemana Indonesia ini, sampai kapan bisa maju? Saya hanya ingin mempertanyakan itu. Agar menjadi pemikiran semua.***


Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2015

Silahkan baca pula lanjutan kisah ini pada artikel berjudul Penderita Thallasemia Tertua yang Terus Berkarya