Jumat, 10 April 2015

Penderita Thallasemia Tertua yang Terus Berkarya

Usia 17 tahun biasanya masa yang indah bagi seorang remaja. Dalam usia baligh itu, para remaja mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan, baik sosial, olahraga, maupun keagaaman. Tapi berbeda bagi Pipiet Senja. Pada usia tersebut, sebagian waktunya dihabiskan di atas tempat tidur rumah sakit. Bahkan, ia divonis tak akan hidup lama.

“Pada usia itu saya sudah terkena thallasemia. Ditambah lagi karena sering transfusi, saya juga terkena penyakit hepatitis. Lebih ambruk lagi, karena pada saat bersamaan saya sakit paru-paru dan typus,” aku Pipiet yang dirawat di sebuah rumah sakit di Cimahi, Jawa Barat. 

Walhasil, Pipiet ditempatkan di ruang isolasi selama tiga minggu. Selama itu tidak nampak kesembuhan. Keluarga memutuskan untuk membawa Pipit. Kata Dokter, waktu hidup sudah tak lama lagi. “Sampai di rumah, saya dingajiin oleh keluarga. Alhamdulillah, saya bisa kembali sadar,” kata Pipiet yang akhirnya dibawa kembali ke rumah sakit semula.

Tak kurang dari enam bulan Pipiet menjalani perawatan di rumah sakit itu. Saking bosannya hanya berada di dalam kamar rumah sakit, ia kerap melakukan aksi melarikan diri pada hari Sabtu atau Minggu. “Saya mengajak teman satu kamar lainnya yang sakit kanker paru dan pasien operasi otak untuk jalan-jalan mencari buku,” ungkap Pipiet.

Nahas, salah satu teman Pipiet mengalami kolaps saat berada di pintu gerbang rumah sakit. Hingga akhirnya dia dimasukkan ke ruang ICU. Pipiet dituduh sebagai dalang aksi kabur tersebut. Sampai ada pernyataan kekesalan dari petugas rumah sakit mampir di telinganya. “Dasar tiga anak nggak tahu diri, sudah mau mati juga. Apalagi tuh anaknya Kapten Arif, paling berapa bulan lagi hidupnya,” ujar Pipiet meniru ucapan petugas rumah sakit tersebut.

Sontak, ia ibarat tertimpa beban ratusan kilogram. Jiwanya guncang. Tak sangka, jika keberadaannya di rumah sakit hanya menunggu kematian. “Saking tertekannya saya merampas seraup obat yang dibawa perawat, lalu saya telan,” tutur Pipiet yang sempat mengalami kejang usai menenggak obat tersebut. Syukurnya jiwa Pipiet masih bisa tertolong.

Usai sadar, Pipiet yang sudah ditemani sang ayah, Kapten SM Arief, kembali tersontak dengan ucapan ayahnya. “Kalau kamu mau bunuh diri, coba sekarang lakukan di depan Bapak dan dilihat ramai-ramai,” kata sang ayah sambil menyodorkan pistol miliknya.

Di saat itu, Pipit merasa sesungguhnya sang ayah sayang kepadanya. Setelah melewati itu semua, Pipiet memilih nyantri di pesantren daerah Cililin, Bandung. Sejak itu, ia mulai belajar agama, merasakan shalat Tahajjud, dan sering menulis. “Di situ pula saya menyadari untuk apa saya marah dengan keadaan yang sudah Allah takdirkan,” katanya.

Kini, di usianya yang telah menginjak 58 tahun, ia makin menyadari bahwa sakitnya adalah sebuah anugerah.  “Allah memberikan segala penyakit dan keterbatasan ini. Alhamdulillah, saya bisa memetik banyak hikmah,” ucap ibu dari Haekal Siregar dan Adzimattinur Siregar ini.*

Kabarnya Anda termasuk penderita Thallasemia tertua di Indonesia?

Iya, menurut dokter saya termasuk penderita Thallasemia tertua, karena hingga umur segini masih mampu bertahan. Bahkan ada seorang dokter yang sangat penasaran dan meminta sampel darah saya untuk diteliti di Amerika. Katanya, “Kenapa sih kok bisa masih hidup?

Saya bilang, “Tanya saja kepada Allah.” (tertawa)

Dengan banyaknya kegiatan, apakah Anda tidak merasa lelah?

Insya Allah tidak. Saya menjalaninya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Suatu hari pernah saya harus berangkat ke Makassar jam 18.00, sementara pada hari itu masih harus mengisi pelatihan di kampus Universitas Indonesia sampai jam 15.00. Jadi harus sedikit berlari-lari. Setelah dari Makassar, saya harus ke Singapura. Saya tidak sempat pulang dulu. Padahal ketika itu sedang puasa bulan Ramadhan.

Apa rahasianya Anda begitu semangat menjalani itu semua?

Saya sudah diberikan waktu oleh Allah SWT, jadi ingin saya manfaatkan kesempatan ini. Meski dokter sudah berkali-kali bilang saya hidup tidak akan lama lagi. Tapi,  alhamdulillah, sampai usia 58 tahun masih diizinkan hidup oleh Allah SWT. Semua saya lakukan dengan senang hati. Saya ingin bermanfaat untuk banyak orang.

Apakah pernah mengalami kondisi kritis sehingga sampai membahayakan diri Anda?

Pernah, sepulang dari Mesir ternyata Hb saya sudah rendah sekali: 5,1. Dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat, saya berobat ke RS Cipto Mangunkusumo. Di rumah sakit itu saya harus mondar-mandir untuk mengurus jaminan asuransi. Saking tak tahan lagi, saya pingsan. Setelah sadar saya sudah berada di ruang UGD, dan ternyata gelang dan uang saya hilang. Alhamdulillah, dompet dan kartu ATM masih ada.

Selama dua malam di rumah sakit saya sempat menulis sebuah tulisan berjudul Orang Jual Ginjal, Saya Jual Rumah untuk Pengobatan. Anak-anak pun tidak ada yang tahu saya dirawat di rumah sakit. Baru setelah selesai, saya minta dijemut Butet (Anak kedua Pipiet). Dia menangis melihat saya dirawat.

Jadi benar Anda menjual rumah untuk biaya pengobatan?

Alhamdulillah sudah terjual, sisanya dijadikan uang muka rumah di Cibubur. Sekarang pun masih perlu dana untuk pengobatan, sebab jantung saya menurut dokter harus dioperasi.

Anda pernah menulis buku tentang Anda sendiri?

Pernah, buku pertama berisi memoar hidup saya berjudul Dalam Semesta Cinta. Sudah ada produser film yang meminta karya saya itu untuk dijadikan film. Tapi saya tolak. Saya bilang, “Karena ini memoar, tunggu dulu kalau saya sudah meninggal ya!

Ada juga buku perjalanan karir menulis saya yang diberi judul Orang Bilang Aku Teroris. Istilah teroris ini dari teman-teman TKW, yang maksudnya tukang teror menulis. Ha..ha..ha.  

Dalam kondisi seperti ini, berapa kali dalam sebulan Anda beraktivitas ke luar kota?

Rata-rata 2 sampai 3 kali. Dalam waktu dekat ini sudah ditunggu di Banyuanyar, Yogya, dan Kuala Lumpur. Alhamdulillah.

Lalu, kapan biasanya Anda menulis?

Saya sudah terbiasa mulai beraktivitas jam 02.00. Karena itu, jam 20.00 saya sudah tidur. Jam 02.00 itu saya gunakan untuk shalat dan mengaji. Nah, mulai jam 03.00 hingga subuh saya gunakan untuk menulis. Selesai shalat Subuh, saya masak dan mengurus cucu. Kalau tidak ke mana-mana saya di kamar saja untuk menulis.

Alhamdulillah, dalam sehari semalam saya bisa menyelesaikan satu buku anak-anak. Sekarang sedang bikin buku anak tentang lintas keajaiban dunia, yang saya mulai tentang air zam-zam.

Dari seluruh karya Anda, mana yang Anda rasakan berat?

Buku Jejak-jejak Sevila dan Dalam Semesta Cinta. Dalam buku Jejak-jejak Sevila berawal dari kehidupan anak-anak saya yang pernah mengalami KDRT, hanya saja saya fiksikan. Ketika menulisnya saya sampai bercucuran air mata dan tak henti-henti menyebut asma Allah.

Apa yang Anda lakukan pada saat keadaan berat itu?

Biasanya saya shalat. Kalau shalat saya bisa tenang. Kita curhat kepada Allah, juga curhat lewat buku. Akhirnya, bagi saya menulis itu sebagai terapi jiwa dan menghindari kepikunan dini.

Ke depan apa obsesi Anda dalam dunia penulisan?

Saya tetap ingin mewujudkan “Sejuta Buku Anak” dan “Gerakan Santri Menulis”. Hanya saja saya memerlukan dana untuk mewujudkannya. Harapannya sih ada institusi atau perusahaan yang bisa membantu program itu. Kebutuhannya mendesak. Alhamdulillah, sudah banyak naskah yang masuk. Sementara banyak penerbit nasional yang tidak menerimanya karena melihat siapa penulisnya. Tapi bagi saya, yang penting nilai yang ingin disampaikan. Dan, isinya sungguh luar biasa. Mohon doa ya!*


(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2015)

(Lihat pula kisah sebelumnya di Pipiet Senja, Sang Penebar Virus Menulis)