Kamis, 20 November 2014

Maju Selangkah Jaminan Halal

"Maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya." (Abasa [80]: 24)

Kamis terakhir bulan September 2014, Rancangan Undang-undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) akhirnya disahkan setelah delapan tahun sempat terkatung-katung. Alhamdulillah, meski amat lama, kita patut bersyukur.

Mungkin, buat sebagian besar orang Indonesia, disahkannya RUU ini bukan perkara penting. Sebab, persoalan halal dan haramnya makanan, buat mereka, juga bukan perkara penting.

Coba perhatikan para pengunjung mall dan supermarket, ada berapa orang yang mencari-cari tanda halal di kemasan makanan yang mereka beli? Mungkin cuma satu atau dua orang saja

Coba pula bandingkan, lebih banyak mana orang yang mencari-cari tanda kadaluarsa dalam kemasan makanan atau tanda halal? Jelas lebih banyak konsumen yang mencari-cari tanda kadaluarsa.

Coba simak, apakah pembeli akan rewel jika produk makanan yang dibelinya tak mencantumkan tanda kadaluarsa? Apakah kerewelan yang sama akan mereka tunjukkan ketika mendapati produk makanan yang dibelinya tak mencantumkan label halal?

Mungkin bagi mereka, raga yang terancam akibat mengonsumsi makanan kadaluarsa jauh lebih penting untuk dilindungi ketimbang iman yang terancam akibat mengonsumsi makanan haram.

Kita harus jujur mengakui bahwa di negeri ini masih banyak masyarakat Muslim yang menempatkan aturan agama bukan di urutan pertama, termasuk urusan kehalalan makanan. Padahal, menurut data Lembaga Pengawasan Pangan Obat dan Makanan (LPPOM) MUI, saat ini negara kita telah dikepung oleh makanan haram, baik karena prosesnya yang salah, maupun bahan-bahannya yang memang haram.

Makanan-makanan inilah yang menjadi sebab tertolaknya doa-doa kaum Muslim di Negara ini. Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Thabrani, berkata kepada sahabatnya, Sa'ad bin Abi Waqash. "Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu, niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya."

Makanan-makanan ini pula yang akan mengeraskan hati kaum Muslim di negara ini. Imam Ahmad, pada suatu hari, pernah ditanya perihal apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran. Jawab beliau, " Makanlah makanan yang halal."

Undang-undang jaminan produk halal ini memang belum sempurna. Tapi setidaknya ada beberapa kemajuan dibandingkan aturan sebelumnya. Misalnya, kata Nadratuzzaman Hosen, mantan direktur LPPOM MUI, saat berkunjung ke kantor Majalah Suara Hidayatullah awal Oktober lalu, pihak yang melakukan penelitian atas keharaman produk makanan, tidak lagi dimonopoli oleh LPPOM MUI, tapi bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga profesional lainnya.

Dan, yang tak kalah penting, undang undang ini kelak ---secara bertahap--- akan mewajibkan seluruh produk makanan dan obat-obatan di negeri ini untuk mendapatkan kejelasan status: halal atau tidak.

Kita berdoa mudah-mudahan semua upaya ini akan mengundang keberkahan Allah SWT atas negeri yang kita cintai ini. Amin!


Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2014