Belakangan ini kita kerap melihat orang-orang yang kecewa. Wabah kekecewaan itu bahkan telah ada sejak beberapa bulan lalu. Yakni, ketika ribuan orang bersaing memperebutkan kursi di Senayan. Mereka yang kalah, termasuk sanak keluarga dan para pendukungnya, merasa kecewa. Modal telah banyak dikeluarkan, target tak tercapai.
Setelah itu, kekecewaan menular pada orang-orang yang menyimpan hasrat menjadi orang nomor satu di negeri ini. Spanduk telah disebar ke mana-mana, para kerabat dan relawan telah dikerahkan, safari juga telah digelar berhari-hari. Sayangnya, perhelatan itu hanya menyisakan dua kontestan saja. Yang lain, terpaksa gigit jari. Kecewa!
Selanjutnya, dua kontestan yang bersaing di babak final telah habis-habisan mengerahkan daya dan upaya. Apalagi kedua kubu memiliki massa yang fanatik. Pertarungan tak sekadar lewat tebar janji, juga caci maki. Namun, apa boleh buat, perhelatan akbar ini hanya memenangkan satu pasangan saja. Pasangan yang kalah, bersama para pendukungnya, kecewa.
Belum lama ini, kita juga banyak mendengar nama-nama tokoh yang digadang-gadang masuk dalam kabinet presiden baru. Ada yang disorongkan oleh sejumlah partai koalisi, ada juga yang disebut-sebut karena memiliki kedekatan dengan sang presiden. Namun, setelah sang presiden mengumumkan susunan kabinetnya, nama-nama tokoh tersebut banyak yang tak disebut. Lagi-lagi, mereka kecewa.
Bahkan, tak sedikit juga masyarakat yang tadinya mendukung sang presiden, kecewa karena merasa kepentingan politik begitu mendominasi keputusan sang presiden dalam menentukan susunan kabinetnya. Lihatlah di media-media sosial, rasa kecewa itu begitu kental terasa. Tabiat para menteri dipergunjingkan. Mulai dari kebiasaan merokok, bertato, bahkan tudingan bersikap asusila.
Ya … akhir-akhir ini perasaan kecewa telah menghinggapi sebagian penduduk negeri ini. Secara teoritis, rasa kecewa itu muncul jika realitas tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita berharap terjadi begini, namun faktanya begitu. Kita berharap bisa mendapat lebih banyak, ternyata cuma sedikit. Dan biasanya, seberapa besar harapan itu kita gantungkan, maka sebesar itu pula rasa kecewa akan mendera kita.
Nah, sebelum perasaan kecewa itu mewabah ke mana-mana, agaknya kita perlu merenung sejenak. Kita awali perenungan ini dengan fakta bahwa Negara kita telah mengadopsi sistem demokrasi liberal untuk memilih para pemimpin. Sistem ini tentu saja amat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem ini, suara seorang 'alim sama nilainya dengan suara seorang begundal.
Lantas, apa yang kita harapkan dari sistem keropos seperti ini? Apakah kita berharap bakal terpilih wakil-wakil rakyat yang baik? Apakah kita berharap bakal tampil seorang pemimpin yang ideal? Apakah kita yakin sang pemimpin tersebut juga bakal memilih para pembantunya yang berakhlak karimah?
Lantas, bila sejak awal kita sadar bahwa sistem seperti ini amat berpeluang melahirkan wakil-wakil rakyat yang tak peduli, pemimpin yang tak mau memperjuangkan syariat Allah SWT, dan kabinet yang tak ideal, maka tak akan besar pengharapan kita kepadanya.
Lalu, mengapa kita menumpahkan kekecewaan dengan cara yang berlebihan, seperti menyebar fitnah, membuka aib, mempermalukan orang lain, dan mengadu domba? Bukankah semua itu justru bakal menambah panjang daftar dosa kita di hadapan Allah SWT?
Rasa kecewa itu wajar. Allah SWT telah mengaruniakan perasaan itu kepada manusia.
Namun, ketika rasa kecewa itu tak sekadar tersimpan di hati, melainkan telah mengejawantah dalam tindakan, maka ia berpotensi menjadi masalah. Apalagi bila rasa kecewa itu muncul karena kita keliru melihat apa sesungguhnya sumber kekecewaan tersebut.
Jadi, mari kita bijak menyikapi keadaan ini! Wallahu a'lam.