Selasa, 27 Mei 2014

Legislatif

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (al-Maidah [5]: 44).

Saat artikel ini belum tuntas ditulis, pada awal April 2014, pertarungan memperebutkan kursi legislatif di Senayan, Jakarta, sedang mencapai puncaknya. Boleh jadi ketika tulisan ini sudah sampai ke tangan Anda, pada awal Mei, pertarungan tersebut sudah usai dan negara ini telah memiliki wakil-wakilnya di parlemen.

Para wakil rakyat tersebut tentu saja cerminan dari rakyatnya.  Karena mereka diangkat oleh seluruh rakyat berdasarkan suara terbanyak. Tak ada bedanya atara suara seorang dosen dan mahasiswa, majikan dan pembantu, laki-laki dan perempuan, bahkan pelacur dan ulama. Semua bobotnya sama.

Jadi, bila kebanyakan rakyat di negeri ini suka lagu dangdut, maka para pedangdut ternama berpeluang besar terpilih menjadi anggota legislatif. Begitu pula bila rakyatnya suka menerima uang sogokan, maka mereka yang gemar menyogok dan memiliki harta bejibun berpeluang besar untuk menang.

Terpilihnya para wakil rakyat dengan beragam tabiat ini tentu tak akan terlalu bermasalah bila fungsi mereka hanya sekadar mengontrol dan memberikan nasehat kepada penguasa agar tidak berbuat zalim kepada rakyat yang mereka wakili.  Namun, bila lebih dari itu, masalah akan muncul. Apalagi bila mereka diberikan kewenangan luar biasa untuk membuat undang-undang yang mengatur negara dan bangsa ini.

Dengan latar yang beraneka ragam tersebut, mereka tentu akan menyusun undang-undang berdasarkan apa yang mereka sukai dan mereka yakini. Boleh jadi mereka akan membolehkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT karena mereka tidak menyukainya. Atau sebaliknya, mereka melarang hal-hal yang diperintahkan oleh Allah SWT karena mereka tidak menyukainya.  Fakta-fakta ini terlihat amat jelas pada anggota legislatif periode sebelumnya.

Saat ini, pemilihan anggota dewan sudah usai. Mereka akan segera menyusun dan mengesahkan undang-undang untuk mengatur Negara ini. Dasar pengaturan dan pengesahan Undang-undang tersebut jelas bukan al-Qur`an dan as-Sunnah. Sebab, Indonesia bukan Negara Islam.

Bila menyimak kembali saat-saat Rasulullah SAW berdakwah secara terang-terangan di Arab Saudi pada masa dahulu kala, kita tahu bahwa pihak yang paling marah dengan aktivitas dakwah Rasulullah SAW saat itu adalah kaum Quraisy. Dan, di antara seluruh kaum Quraisy, orang-orang yang paling benci dengan dakwah Rasulullah SAW adalah para pemukanya. Mengapa? 

Karena mereka sadar kehadiran Muhammad SAW dengan dakwahnya perlahan-lahan bakal mengambil alih kewenangan mereka sebagai pembuat aturan di wilayah itu. Kewenangan legislatifnya. 

Meski pada periode awal Rasulullah SAW hanya mendakwahkan tauhid dan meneladankan akhlak, namun para pemuka Quraisy sadar bahwa risalah yang dibawa Muhammad SAW suatu saat kelak bakal mengganti aturan yang selama ini mereka buat.

Indikasi kuatnya terdapat pada kalimat Laa ilaaha illallah. Para pemuka Quraisy sangat paham bahwa kalimat ini memiliki konsekuensi yang berat.  Orang yang mengucapkan kalimat ini berarti ia telah bersaksi bahwa tiada hukum yang akan ia patuhi kecuali hukum Allah SWT semata.

Kemarahan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh kaum Quraisy sesungguhnya dirasakan pula olah manusia-manusia yang gemar memanjakan hawa nafsu pada generasi berikutnya, hingga saat ini. Mereka tak suka dibelenggu oleh undang-undang yang akan mengekang hawa nafsunya. Mereka akan berupaya mati-matian untuk mempertahankannya dengan cara berlindung di balik isu hak azazi, kesetaraan, liberalisme , dan sekulerisme.

Mereka adalah orang-orang yang tak takut pada azab Allah SWT di hari pembalasan kelak. Layakkah orang-orang seperti ini menjadi wakil kita?

Wallahu a'lam.

(Dipublikasikan oleh majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2014)