Katakanlah, “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula)," (al-Kahfi [18]: 109)
Sejak duduk di bangku sekolah, kita sudah diajarkan ilmu logika. Mungkin kita masih ingat pelajaran “jika” dan “maka”, atau “sebab” dan “akibat”.
Ilmu logika bahkan juga dipakai sebagai salah satu instrumen dalam mempelajari ilmu fiqih. Ada beberapa masalah kekinian yang tak dijumpai pada masa Rasulullah SAW dahulu dan harus ditentukan hukumnya. Para ulama kemudian membuat perbandingan dengan menggunakan metode “jika” dan “maka”.
Namun, logika manusia tak selamanya harus dikedepankan dalam menyikapi sebuah fenomena. Sebab, adakalanya matematika Allah SWT berbeda dengan logika manusia. Nah, dalam kondisi bertentangan seperti ini, tentu saja matematika Allah SWT pasti benar dan logika manusia salah
Fenomena sedekah, misalnya. Dalam logika manusia, sedekah akan mengurangi isi dompet. Semakin sering bersedekah, semakin terkuras pundi-pundi uang.
Namun matematika Allah SWT tidak begitu. Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Titmizi, menyatakan, “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan akan bertambah, akan bertambah, dan akan bertambah.” Ali bin Abi Thalib RA juga berkata, “Pancinglah rezeki dengan bersedekah.”
Contoh lain, logika tentang banyaknya anak dan banyaknya rezeki. Manusia beranggapan, banyak anak akan mengurangi rezeki. Alasannya, menghidupi tiga anak tentu lebih berbiaya ketimbang menghidupi satu anak saja.
Matematika Allah SWT ternyata tidak seperti itu. Setiap anak, menurut Islam, memiliki rezekinya masing-masing. Jangankan manusia, binatang pun telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Dalam al-Qur'an disebutkan, "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya ,” (Hud [11]: 6). Jadi, banyak anak justru banyak rezekinya.
Nah, agar manusia mengetahui fenomena apa saja yang harus didekati dengan matematika Allah SWT dan bukan logika manusia maka manusia harus berilmu. Jika tidak, manusia akan terjerumus ke dalam sikap sombong, merasa diri paling pintar, dan mengesampingkan Allah SWT.
Soal isteri, misalnya. Baru-baru ini seorang politikus di Jakarta mengemukakan bahwa pejabat yang beristeri banyak cenderung melakukan korupsi. Alasannya, kata sang politikus, semakin banyak isteri maka semakin banyak kebutuhan hidup. Jika kemampuan terbatas sementara kebutuhan kian bertambah, menurut sang politikus, seseorang akan terjerumus melakukan tindakan tercela.
Logika manusia seperti ini tentu saja keliru. Poligami ia dijadikan kambing hitam atas tindakan korupsi. Akibatnya, seseorang akan merasa takut berpoligami dengan logika seperti ini. Padahal, Allah SWT saja tak pernah menakut-nakuti hamba-Nya untuk berpoligami. Bahkan, Allah SWT menganjurkan untuk menikahi satu, dua, atau tiga wanita bila mampu bersikap adil. Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Dailami, juga mengatakan, "Carilah rezeki lewat jalan menikah."
Muslim yang memiliki ilmu tentang Islam, serta iman yang kokoh dalam dadanya, akan berhati-hati bila hendak melontarkan pendapat yang semata didasarkan atas logika manusia. Sebab, ia sadar, pengetahuan yang dimiliki manusia amat tak sebanding dengan kalimat-kalimat Allah SWT. Perbandingannya jauh melebihi setetes air di tengah lautan.
Wallahu a'lam
(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2013)
Sejak duduk di bangku sekolah, kita sudah diajarkan ilmu logika. Mungkin kita masih ingat pelajaran “jika” dan “maka”, atau “sebab” dan “akibat”.
Ilmu logika bahkan juga dipakai sebagai salah satu instrumen dalam mempelajari ilmu fiqih. Ada beberapa masalah kekinian yang tak dijumpai pada masa Rasulullah SAW dahulu dan harus ditentukan hukumnya. Para ulama kemudian membuat perbandingan dengan menggunakan metode “jika” dan “maka”.
Namun, logika manusia tak selamanya harus dikedepankan dalam menyikapi sebuah fenomena. Sebab, adakalanya matematika Allah SWT berbeda dengan logika manusia. Nah, dalam kondisi bertentangan seperti ini, tentu saja matematika Allah SWT pasti benar dan logika manusia salah
Fenomena sedekah, misalnya. Dalam logika manusia, sedekah akan mengurangi isi dompet. Semakin sering bersedekah, semakin terkuras pundi-pundi uang.
Namun matematika Allah SWT tidak begitu. Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Titmizi, menyatakan, “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan akan bertambah, akan bertambah, dan akan bertambah.” Ali bin Abi Thalib RA juga berkata, “Pancinglah rezeki dengan bersedekah.”
Contoh lain, logika tentang banyaknya anak dan banyaknya rezeki. Manusia beranggapan, banyak anak akan mengurangi rezeki. Alasannya, menghidupi tiga anak tentu lebih berbiaya ketimbang menghidupi satu anak saja.
Matematika Allah SWT ternyata tidak seperti itu. Setiap anak, menurut Islam, memiliki rezekinya masing-masing. Jangankan manusia, binatang pun telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Dalam al-Qur'an disebutkan, "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya ,” (Hud [11]: 6). Jadi, banyak anak justru banyak rezekinya.
Nah, agar manusia mengetahui fenomena apa saja yang harus didekati dengan matematika Allah SWT dan bukan logika manusia maka manusia harus berilmu. Jika tidak, manusia akan terjerumus ke dalam sikap sombong, merasa diri paling pintar, dan mengesampingkan Allah SWT.
Soal isteri, misalnya. Baru-baru ini seorang politikus di Jakarta mengemukakan bahwa pejabat yang beristeri banyak cenderung melakukan korupsi. Alasannya, kata sang politikus, semakin banyak isteri maka semakin banyak kebutuhan hidup. Jika kemampuan terbatas sementara kebutuhan kian bertambah, menurut sang politikus, seseorang akan terjerumus melakukan tindakan tercela.
Logika manusia seperti ini tentu saja keliru. Poligami ia dijadikan kambing hitam atas tindakan korupsi. Akibatnya, seseorang akan merasa takut berpoligami dengan logika seperti ini. Padahal, Allah SWT saja tak pernah menakut-nakuti hamba-Nya untuk berpoligami. Bahkan, Allah SWT menganjurkan untuk menikahi satu, dua, atau tiga wanita bila mampu bersikap adil. Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Dailami, juga mengatakan, "Carilah rezeki lewat jalan menikah."
Muslim yang memiliki ilmu tentang Islam, serta iman yang kokoh dalam dadanya, akan berhati-hati bila hendak melontarkan pendapat yang semata didasarkan atas logika manusia. Sebab, ia sadar, pengetahuan yang dimiliki manusia amat tak sebanding dengan kalimat-kalimat Allah SWT. Perbandingannya jauh melebihi setetes air di tengah lautan.
Wallahu a'lam
(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2013)