Kamis, 18 Juli 2013

Polwan Berjilbab, Mengapa Tidak?

"Barang siapa menyeru kepada kesesatan, kemudian seruannya diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari dosa mereka. (Riwayat Ibnu Majah)

Jilbab di negeri ini sudah bukan barang aneh. Di banyak tempat di negeri ini justru kita jumpai lebih banyak wanita Muslim berjilbab ketimbang tidak.

Di beberapa perguruan tinggi negeri, misalnya, wanita berjilbab sudah mendominasi. Begitu juga di beberapa instansi pemerintah. Apalagi di sekolah-sekolah Islam yang sekarang tengah menjamur, pakaian penutup aurat ini menjadi wajib dikenakan.

Bahkan di arena "tak biasa" sekalipun, jilbab sudah bukan barang yang tabu untuk dikenakan.  Di Pekan Olahraga Nasional, misalnya, banyak atlet wanita yang mengenakan jilbab. Iddah Milawati adalah contohnya. Atlet berjilbab asal Jawa Barat ini berhasil meraih medali perunggu di PON XVIII tahun 2012 lalu.

Lebih hebat lagi, panitia olahraga kelas dunia, olimpiade, juga tak melarang atlet wanita mengenakan jilbab selama bertanding. Tahun lalu, ketika perhelatan akbar ini dilangsungkan di London, Inggris, setidaknya ada 16 atlet berjilbab yang berjibaku di lapangan olahraga.

Namun anehnya, di lingkungan kepolisian di negeri ini, jilbab masih dianggap "barang terlarang" (kecuali di Aceh). Larangan itu termaktub dalam surat keputusan kapolri nomor Skep/702/IX/2005.  Surat itulah yang tidak memberi peluang kepada polisi wanita untuk mengenaikan jilbab sebagai pelengkap pakaian dinas.

Apa alasannya? Setidaknya, media massa mecatat tiga alasan yang kerap dikemukakan pihak kepolisian. Pertama, menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, karena masalah anggaran. Pihak kepolisian tak cukup dana untuk menyediakan pelengkap pakaian dinas tersebut.

Bila benar sekadar masalah anggaran, rasa-rasanya terlalu gampang untuk dicari solusinya. Bukankah dulu pada awalnya alasan yang sama dikemukakan pihak sekolah, kantor-kator pemerintah, dan perusahaan-perusahaan swasta ketika mereka ramai-ramai menolak jilbab di era 80-an? Nyatanya, alasan tersebut terbukti mengada-ada. Tak ada masalah dengan anggaran sampai sekarang.

Kalau pun kinerja yang dipersoalkan, faktanya sampai saat ini tak ada masalah dengan polwan Aceh yang diwajibkan mengenakan jilbab setelah penerapan syariat Islam di sana. Beruntunglah Aceh yang diberi hak otonomi khusus untuk menerapkan syariat Islam, sehingga Polri tak bisa ikut campur dalam mengatur busana aparat yang bertugas di sana.

Alasan ketiga,  menurut Kapolri, seragam polwan yang berlaku saat ini memang sudah demikian aturannya dari dulu. Aturan ini mengikat kepada semua anggota Polri, dari pangkat terendah sampai tertinggi. Tak ada deskriminasi.

Kalau memang itu masalahnya, rasa-rasanya tak terlalu sulit mencari solusi. Tinggal ubah saja aturannya, gampang kan? Toh, aturan tersebut dikeluarkan oleh Kapolri, berarti bisa diubah juga oleh Kapolri.

Nah, pertanyaannya, maukah Pak Timur Pradopo mengubahnya? Allah SWT telah menganugerahkan kesempatan amat berharga ini kepada Pak Timur sebelum tampuk kepemimpinan tertinggi kepolisian dicabut oleh-Nya. Kesempatan ini tak mungkin terualng dua kali.Dan, tak semua pejabat tinggi dianugerahi kesempatan seperti ini.

Mumpung kesempatan itu ada, mumpung nyawa belum dicabut dari raga, dan mumpung matahari masih terbit dari timur (kiamat), ambillah kesempatan ini, Pak Timur!

Jangan sampai kelak, ketika para polwan Muslimah itu ditanya di akherat mengapa mereka tak mengenakan busana yang disyariatkan oleh Islam, telunjuk mereka menuding kepada Anda sebagai orang yang ikut bertanggungjawab atas semua itu.

Wallahu a’lam


(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2013)