Rabu, 12 Juni 2013

Sabar dalam Dakwah

Demi Allah sesungguhnya Allah akan menyempurnakan agama ini hingga ada seseorang yang berjalan kaki dari Shan'a ke Hadhramaut dengan rasa aman tanpa ada yang ditakuti melainkan Allah seperti takut kambing atas serigala. Tetapi kalian terburu-buru,” (Riwayat Bukhari)

Hari Rabu, 8 Mei, adalah hari istimewa bagi jajaran kepolisian. Mereka tiba-tiba "panen" mangsa perburuan. Mangsa yang ditangkap pun bukan mangsa kelas teri, melainkan kelas kakap. Karenanya, mereka tidak menurunkan polisi sembarangan, melainkan polisi khusus.

Hari itu, mereka berhasil melumpuhkan 20 terduga teroris. Bahkan tujuh di antaranya berhasil mereka tembak mati. Sungguh tragis nasib terduga teroris. Baru diduga, telah meregang nyawa.

Sebenarnya, mangsa-mangsa ini tidaklah betul-betul istimewa. Mereka hanya anak-anak muda sipil, bahkan beberapa di antaranya masih berusia remaja, yang tengah galau.

Kalau pun ada yang pernah berlatih senjata, itu sekadar latihan memegang dan menembakkan senjata, atau merakit bom. Mereka tidak dilatih secara profesional sebagaimana pasukan Densus Antiteror 88, atau pasukan siluman yang menyerang penjara Cebongan, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Hanya saja mereka orang-orang yang tidak takut mati. Mereka justru menyambut kematian itu. Karena sikap itulah mereka ditakuti, sekalipun oleh pihak kepolisian.

Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi mereka melakukan aksi-aksi tersebut? Rasanya, jawaban paling tepat adalah karena mereka muak dengan ketidakadilan di negeri ini.  Ketidakadilan yang menumbuhsuburkan aksi kriminalitas, korupsi, kesenjangana sosial, krisis kepercayaan, dan dekadensi moral di tengah masyarakat.

Saat ini, pelaku kejahatan tak lagi kapok dengan penjara.  Banyak alumni Hotel Prodio yang kembali melakukan aksi kriminal.  Bahkan, bertambah sadis sebagaimana aksi Ketua Geng Motor, Klewang, yang sebelumnya sempat keluar masuk penjara.

Celakanya, dalam banyak kasus, aparat yang seharusnya memerangi para pelaku kejahatan, malah ikut-ikutan berbuat jahat. Hukum yang berlaku di negara ini rupanya tak membuat mereka takut.

Korupsi juga merajalela. Dari tingkat paling bawah hingga paling atas. Bahkan maling berdasi ini tidak sekadar bekerja sendiri, mereka bekerja berjamaah.

Moral masyarakat juga anjlok. Tayangan televisi kerap keluar dari batas-batas kewajaran, apalagi batas-batas syariat Islam. Aurat dipertontonkan amat berani. Pergaulan bebas tak lagi menjadi barang tabu.

Belum lagi masalah kenaikan harga yang kian memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin. Soal harga rumah, misalnya. Menurut data BPS, sebagaimana dilansir Kompas pada 15 Mei, jumlah rumah seharga kurang dari Rp 400 juta di Jakarta hanya 2 persen, sedangkan jumlah rumah seharga lebih dari 2 miliar ada 52 persen. Betapa mirisnya kita mendengar data ini.

Nah, kondisi inilah yang menyebabkan sekelompok anak muda tadi merasa muak. Mereka ingin sekali mengganti sistem yang ada di negara ini dengan sistem yang betul-betul dipercaya mampu mengubah keadaan ini menjadi lebih baik. Itulah sistem Islam.

Sampai di sini mereka benar. Setiap kaum Muslim di negeri ini pasti percaya bahwa Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mengubah keadaan dari jahiliah menjadi berperadaban.

Hanya saja, ketika mereka tidak sabar ingin segera mewujudkan perubahan tersebut dengan cara-cara yang ekstrim, maka jangan-jangan mereka justru kian jauh dari cita-cita yang diharapkan. Ketika kita terlalu memaksakan diri, terlebih dengan ilmu yang belum memadai, maka jangan-jangan justru kita menjadi boneka pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari tindakan kita.

Wallahu a’lam.


(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Juni 2013)