Senin, 13 Mei 2013

Kontes Sia-sia Para Wanita

Menghilangkan mafsadat lebih diutamakan ketimbang mengambil sebuah maslahat (kaidah ushul fiqh)

Apa yang diharapkan dari sebuah kontes para wanita? Andai pertanyaan ini diajukan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, jawaban mereka sudah bisa ditebak. Pertama, kontes tersebut akan menguntungkan pariwisata.

Atas alasan itulah Gubernur Jawa Barat pada awal April lalu menyatakan siap mendukung acara tersebut.  Kontes itu, kata Sang Gubernur, bisa menjadi ajang promosi Jawa Barat kepada dunia internasional. “Pariwisata di sini layak untuk dinikmati,” kata Pak Gubernur ketika menerima kedatangan panitia kontes ketika itu.

Alasan kedua, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan negara yang anti kebudayaan Barat yang cenderung bebas dan “terbuka”. Para penggiat leberalisme tentu tak ingin kasus penolakan terhadap penyanyi fenomenal Lady Gaga beberapa waktu lalu terulang kembali. Sang penyanyi, meski sudah berjanji akan mengenakan pakaian “tertutup”, tetap saja ditolak oleh kebayakan masyarakat Muslim negeri ini.

Tak akan lama lagi, sebuah kontes para wanita berkelas dunia akan di gelar di Indonesia. Inilah kali pertama negara yang memiliki jumlah Muslim terbesar di dunia ini akan menjadi tuan rumah ajang kontes bernama Miss World. Kontes tersebut akan digelar di Bali, sedang finalnya akan digelar di Jawa Barat.

Nah, bila kontes ini sukses digelar di Indonesia, maka akan runtuhlah anggapan bahwa masyarakat Muslim Indonesia anti budaya Barat. Rasa sakit hati kaum liberal atas gagalnya konser Lady Gaga akan terobati.
Apalagi, final acara tersebut diselenggarakan di propinsi dengan masyarakat yang agamis, dipimpin juga oleh seorang Ustadz. Terang saja, kontes ini benar-benar menjadi ajang pembuktian bahwa liberalisme telah diterima baik di Indonesia.

Namun ---kembali ke pertanyaan semula-- jika pertanyaan di awal tadi kita balik, apa yang tidak diharapkan dari kontes para wanita bertajuk Miss World ini? Maka alasan yang dikemukakan bisa jauh lebih banyak.  Jangankan ulama, intelektual umum dan masyarakat kebanyakan pun bisa mengeluarkan segudang alasan.

Daoed Joesoef, mantan menteri P dan K di era Orde Baru, misalnya, mengaku bosan bersuara menolak acara kontes wanita seperti ini karena menilai keburukannya jauh lebih banyak ketimbang kebaikannya. Bahkan, ia meyakini, kontes seperti ini akan berujung pada bisnis birahi.

Lain lagi diungkap Tere Liye, penulis novel. “Kontes putri-putrian adalah produk industri artifisial. Itu bisnis. Tidak pernah ada logika kontes putri-putrian itu memuliakan wanita,” ungkapnya. Karena itu, jangan pernah berharap bisa melihat wanita pendek, gempal, dan berjalan seperti robot, terpilih sebagai peserta kontes meski hatinya baik setengah mati.

Apalah lagi bila pertanyaan tadi diajukan kepada ulama, jawaban mereka pasti lebih banyak lagi. Bukan sekadar jawaban logis, bahkan juga jawaban ideologis dengan segala hujjahnya.

Nah, bila kita menghitung-hitung faktor manfaat dan mudhorat terselenggaranya kontes para wanita ini, rasanya pantas jika kita menyatakan sikap tak setuju.  Moral bangsa jauh lebih penting untuk di selamatkan ketimbang sekadar berharap kunjungan pariwisata. Apalagi bila kita tergolong kaum yang takut akan azab Allah SWT, maka rasa-rasanya tak ada alasan lagi untuk tidak menolak kontes ini.

Wallahu a’lam.