Beberapa hari sebelum saya menulis artikel ini, saya bertemu seorang laki-laki tua yang baru pulang dari umroh.
Saya bersilaturahim ke rumahnya, berharap mendapat cerita-cerita menarik
seputar ritual amat dahsyat yang pengaruhnya bisa membuat iman
seseorang terisi penuh kembali.
Dugaan saya keliru. Bila kebayakan orang menceritakan perasaan takjub luar biasa saat melihat Ka’bah, perasaan haru yang memuncak manakala mengunjungi makam Rasulullah SAW dan para Sahabat, atau perasaan kian dekat kepada Sang Khaliq manakala memanjatkan doa di Masjidil Haram, maka lain dengan cerita orang tua tadi.
Cerita-cerita yang keluar dari mulutnya lebih banyak keluhan. Mulai dari perjalanan di atas pesawat yang terlalu lama, petugas badara yang berkelakuan kasar, harga-harga barang yang terlalu mahal, pelayanan pihak penyelenggara (travel) yang buruk, para jamaah yang tak peduli, hingga penyakit flu yang selalu datang selama ia berada di Makkah.
Saat thawaf mengelilingi Ka’bah, cerita laki-laki tua itu lagi, ia kerap disenggol oleh jamaah-jamaah lain. Bahkan, dalam satu kesempatan putaran, ia nyaris tersungkur. “Ada orang Afrika tinggi besar menabrak saya,” katanya bersungut-sungut.
Akhirnya, cerita laki-laki itu ditutup dengan tarikan nafas pajang dan kepala yang digeleng-gelengkan. Naudzubillah.
Sepulang dari bersilaturahim tersebut, saya merenung. Mengapa laki-laki tua itu tak mendapatkan pencerahan selayaknya didapat kaum Muslim sepulang dari Rumah Allah? Mengapa pula laki-laki tua itu menganggap “terlalu mengganggu” kepada ujian-ujian kecil yang sebetulnya dialami juga oleh ribuan jamaah lain?
Teringatlah saya kepada anak muda paling progresif sepanjang sejarah manusia. Dia adalah Nabi Ismail AS.
Amat tak seimbang apabila kita bandingkan ujian-ujian yang dihadapi laki-laki tua tadi dengan ujian-ujian yang dihadapi oleh Ismail AS dan keluarganya.
Sejak masih bayi, Ismail sudah ditinggal oleh ayahnya Nabi Ibrahim AS, atas petunjuk Allah SWT, di tengah padang tandus, berdua dengan ibunya Hajar. Daerah itulah yang kemudian didatangi laki-laki tua tadi dengan segudang keluhannya meski keadaannya sudah amat berbeda.
Menginjak remaja, ketika kerinduannya kepada sang ayah, Nabi Ibrahim AS, begitu memuncak, justru sang ayah datang dengan membawa perintah dari Allah SWT untuk menyembelihnya.
“Hai anakku,” kata Ibrahim kepada putra kesayangannya itu manakala mereka bertemu kembali setelah bertahun-tahun tak bertemu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat Ash-Shaffaat [37] ayat 102, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Apakah Ismail mengeluh setelah mendengar perintah ini? Tidak! Kata-kata yang keluar dari mulutnya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang sama, sungguh amat memukau.
“Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Jadi, kunci menghadapi segala bentuk cobaan adalah sabar. Ismail bukan sekadar harus menerima ujian dari Allah SWT berupa kehilangan waktu, harta, kesempatan, atau pelayanan, sebagaimana dialami laki-laki tua tadi, namun juga terancam kehilangan nyawa di tangan ayah yang dirindukannya.
Cobaan apa lagi yang lebih berat ketimbang demikian? Allah SWT berfirman, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Manusia memang perlu "bergerak ke depan". Namun, tanpa disertai sabar, akan terasa berat rasanya mencapai finis, sebagaimana beratnya langkah laki-laki tua tadi saat melaksanakan thawaf.
Orang beriman pasti diuji oleh Allah SWT. “Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga,” kata Allah SWT dalam al-Qur`an surat al-Baqarah [2] ayat 214, “… padahal belum datang kepadamu ujian sebagaimana dialami orang-orang terdahulu.”
Bila kita tak sabar menghadapi semua ujian itu, bukan mustahil kita akan tumbang di tengah jalan.
Memang perlu melatih “cara melawan” agar kita tetap bisa melangkah. Namun, jangan lupa latih pula “cara bertahan” agar kita tak tersungkur.
Wallahu a’lam.
Dugaan saya keliru. Bila kebayakan orang menceritakan perasaan takjub luar biasa saat melihat Ka’bah, perasaan haru yang memuncak manakala mengunjungi makam Rasulullah SAW dan para Sahabat, atau perasaan kian dekat kepada Sang Khaliq manakala memanjatkan doa di Masjidil Haram, maka lain dengan cerita orang tua tadi.
Cerita-cerita yang keluar dari mulutnya lebih banyak keluhan. Mulai dari perjalanan di atas pesawat yang terlalu lama, petugas badara yang berkelakuan kasar, harga-harga barang yang terlalu mahal, pelayanan pihak penyelenggara (travel) yang buruk, para jamaah yang tak peduli, hingga penyakit flu yang selalu datang selama ia berada di Makkah.
Saat thawaf mengelilingi Ka’bah, cerita laki-laki tua itu lagi, ia kerap disenggol oleh jamaah-jamaah lain. Bahkan, dalam satu kesempatan putaran, ia nyaris tersungkur. “Ada orang Afrika tinggi besar menabrak saya,” katanya bersungut-sungut.
Akhirnya, cerita laki-laki itu ditutup dengan tarikan nafas pajang dan kepala yang digeleng-gelengkan. Naudzubillah.
Sepulang dari bersilaturahim tersebut, saya merenung. Mengapa laki-laki tua itu tak mendapatkan pencerahan selayaknya didapat kaum Muslim sepulang dari Rumah Allah? Mengapa pula laki-laki tua itu menganggap “terlalu mengganggu” kepada ujian-ujian kecil yang sebetulnya dialami juga oleh ribuan jamaah lain?
Teringatlah saya kepada anak muda paling progresif sepanjang sejarah manusia. Dia adalah Nabi Ismail AS.
Amat tak seimbang apabila kita bandingkan ujian-ujian yang dihadapi laki-laki tua tadi dengan ujian-ujian yang dihadapi oleh Ismail AS dan keluarganya.
Sejak masih bayi, Ismail sudah ditinggal oleh ayahnya Nabi Ibrahim AS, atas petunjuk Allah SWT, di tengah padang tandus, berdua dengan ibunya Hajar. Daerah itulah yang kemudian didatangi laki-laki tua tadi dengan segudang keluhannya meski keadaannya sudah amat berbeda.
Menginjak remaja, ketika kerinduannya kepada sang ayah, Nabi Ibrahim AS, begitu memuncak, justru sang ayah datang dengan membawa perintah dari Allah SWT untuk menyembelihnya.
“Hai anakku,” kata Ibrahim kepada putra kesayangannya itu manakala mereka bertemu kembali setelah bertahun-tahun tak bertemu, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an surat Ash-Shaffaat [37] ayat 102, “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Apakah Ismail mengeluh setelah mendengar perintah ini? Tidak! Kata-kata yang keluar dari mulutnya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang sama, sungguh amat memukau.
“Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."
Jadi, kunci menghadapi segala bentuk cobaan adalah sabar. Ismail bukan sekadar harus menerima ujian dari Allah SWT berupa kehilangan waktu, harta, kesempatan, atau pelayanan, sebagaimana dialami laki-laki tua tadi, namun juga terancam kehilangan nyawa di tangan ayah yang dirindukannya.
Cobaan apa lagi yang lebih berat ketimbang demikian? Allah SWT berfirman, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Manusia memang perlu "bergerak ke depan". Namun, tanpa disertai sabar, akan terasa berat rasanya mencapai finis, sebagaimana beratnya langkah laki-laki tua tadi saat melaksanakan thawaf.
Orang beriman pasti diuji oleh Allah SWT. “Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga,” kata Allah SWT dalam al-Qur`an surat al-Baqarah [2] ayat 214, “… padahal belum datang kepadamu ujian sebagaimana dialami orang-orang terdahulu.”
Bila kita tak sabar menghadapi semua ujian itu, bukan mustahil kita akan tumbang di tengah jalan.
Memang perlu melatih “cara melawan” agar kita tetap bisa melangkah. Namun, jangan lupa latih pula “cara bertahan” agar kita tak tersungkur.
Wallahu a’lam.