Kamis, 11 April 2013

Hentikan Adegan Kekerasan Itu!

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa hak, dan membunuh orang-orang yang menyeru manusia agar berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira, yaitu azab yang pedih. (Ali Imran [3]: 21)

***


Ada lebih dari 30 tokoh dari berbagai organisasi massa Islam berkumpul di kantor PP Muhammadiyah pertengahan Maret lalu. Pertemuan setelah shalat zuhur itu dibuka dengan memutar sebuah video berdurasi 13 menit 55 detik.

Dalam video tersebut terlihat beberapa remaja tanpa mengenakan baju tertelungkup di tanah dengan tangan terikat ke belakang. Polisi berpakaian hitam-hitam, seragam khas Densus 88, dengan senjata laras panjang tergenggam di tangan, berdiri di dekat para remaja itu.

Aroma kengerian kemudian menyeruak ke dalam ruangan rapat dari awal hingga akhir tayangan. Wajah tokoh-tokoh Islam menegang. Sebagian tokoh wanita malah memilih memalingkan wajahnya karena tak kuat lagi menyaksikan siksaan yang diterima para remaja tadi.

Wajarlah bila kemudian di penghujung rapat tersebut para tokoh Islam bersepakat untuk meminta pemerintah mengevaluasi kembali kinerja Densus 88, bahkan bila perlu membubarkan pasukan yang diduga kuat telah menyiksa para remaja yang disangka sebagai teroris tadi.

Jeda sepekan setelah pertemuan tersebut, Komnas HAM menggelar temu wartawan. Dalam pertemuan tersebut mereka membeberkan sejumlah bukti bahwa memang benar pasukan elit bentukan Polri tersebut telah melakukan tindakan pelanggaran HAM di Poso sebagaimana ditayangkan dalam video tersebut.

Desakan agar kinerja Densus 88 segera dievaluasijuga disuarakan wakil rakyat di DPR.  Jika memang terbukti Densus 88 telah melanggar HAM, kata mereka, lembaga ini perlu diganti dengan lembaga lain yang lebih profesional.

Namun anehnya, desakan-desakan ini ditanggapi berlebihan oleh sejumlah pihak. Mereka menuduh ormas-ormas Islam yang menuntut evaluasi ---dan pembubaran--- tersebut telah "merestui" aksi terorisme di negara ini.

Padahal tak ada satu pun ormas Islam yang berkumpul di PP Muhammadiyah pertengahan Maret lalu setuju dengan aksi terorisme. Justru mereka menginginkan agar negara ini segera bebas dari tindakan teror yang mulai marak pasca peledakan gedung WTC 11 tahun lalu.

Hanya saja mereka menilai cara penanganan Densus 88 tidak profesional. Mereka telah melakukan penyiksaan, penculikan, aksi salah tangkap tanpa pemulihan nama baik, dan penyergapan yang berlebih-lebihan.

Tindakan seperti ini membuat masyarakat takut. Mereka khawatir menjadi korban penanganan terorisme yang salah. Di sisi lain, aksi teror justru tak berkurang, malah semakin bertambah.

Satu hal lagi! Pemerintah sejauh ini juga tak pernah bisa mengidentifikasi faktor penyebab munculnya aksi terorisme ini. Malah, istilah Islam radikal dan Islam fundamentalis kerap disebut-sebut sebagai kambing hitam.

Pertanyaannya, pemahaman Islam radikal seperti apa yang dianggap berbahaya? Apakah pemahaman tentang jihad? Faktanya ada jutaan kaum Muslim di dunia ini yang belajar konsep jihad dalam Islam, dan mereka tidak pernah berlaku ekstrim.

Lagi pula, tindakan ekstrim seringkali tidak lahir dari pemahaman yang radikal, justru sebaliknya, kerap muncul dari pemahaman yang dangkal.

Wallahu a'lam.


(Dipublikasikan di Rubrik Salam Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2013)