Jumat, 14 Desember 2012

Syariat di Mimbar Jumat

Tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (Al Ahzab [[33]: 36)
 
Setiap Jumat, menjelang tengah hari, masjid-masjid di negeri ini selalu penuh dengan jamaah.

Kalau pun tidak penuh, setidaknya, jumlah jamaah ketika itu jauh lebih banyak ketimbang waktu-waktu shalat fardhu.  Rasanya patut kita bersyukur atas fenomena ini meski masih jauh dari sempurna.

Lalu coba simak materi ceramaah yang disampaikan khatib pada setiap Jumat yang dipenuhi jamaah tersebut. Tentang apa mereka berbicara? Pernahkah mereka berbicara soal syariat? Pernahkah mereka berucap tentang kewajiban jihad ? Pernah pulakah mereka bertutur tentang hukum hudud?

Jarang! Bahkan amat sangat jarang!

Penelitian ilmiah memang belum kita dengar mengenai hal ini. Namun, data empiris bisa kita dapatkan dengan mudah. Bukankah kita sendiri sering melakukan shalat Jumat?

Lalu, tentang apa para khatib itu lebih banyak berbicara? Jawabnya, tentang peningkatan takwa dan implementasinya dalam beribadah.

Memang, pesan takwa menjadi salah satu rukun khutbah Jumat. Namun, bukan berarti persoalan syariah tak boleh disampaikan pada saat khutbah Jumat.  Apalagi saat ini kesempatan paling efektif untuk menyampaikan persoalan syariat kepada masyarakat justru ada pada khutbah Jumat.

Lalu mengapa para khatib tersebut seolah-olah enggan berbicara syariat di mimbar Jumat? Kita berbaik sangka bahwa bukan tanpa sebab mereka melakukan itu. Bukan mereka tak mau,  tapi masyarakatlah yang tak siap secara akidah menerima materi tersebut.

Masyarakat Muslim di negeri ini ---entah disengaja atau tidak--- terkondisi untuk menerima ajaran agama yang terasa bersahabat dengan mereka. Mereka tak suka terlalu banyak dilarang, tak pula suka terlalu dibebani oleh kewajiban.

Kondisi seperti ini jauh berbeda dengan keadaan masyarakat semasa Rasulullah SAW dan para Sahabat.  Ketika perintah datang, kaum Muslim saat itu bergegas melaksanakannya meski dalam kondisi darurat.

Ketika perintah menutup aurat datang,  misalnya, para wanita Muslim segera melaksanakannyanya meski harus menyobek tirai-tirai jendela rumah mereka. Begitu juga ketika larangan meminum khamar turun, semua Muslim bergegas menumpahkan seluruh minuman memabukkan tersebut di jalan-jalan meski sebenarnya mereka amat menyukainya.

Lalu bagaimana dengan kita sekarang?

Inilah persoalan yang mesti kita retas. Para dai harus bekerja keras menyiapkan akidah kaum Muslim di negeri ini agar siap menerima syariat dengan segala konsekuensinya sebagaimana masyarakat Islam pada masa lalu.

Jika tidak, mereka akan mencari ideologi lain yang seolah-olah sempurna padahal menggelincirkan.  Naudzubillahi min dzalik!

Wallahu a’lam.

 (Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2012)