Tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (Al Ahzab [[33]: 36)
Setiap Jumat, menjelang tengah hari, masjid-masjid di
negeri ini selalu penuh dengan jamaah.
Kalau pun tidak penuh, setidaknya, jumlah jamaah ketika
itu jauh lebih banyak ketimbang waktu-waktu shalat fardhu. Rasanya patut kita bersyukur atas fenomena
ini meski masih jauh dari sempurna.
Lalu coba simak materi ceramaah yang disampaikan khatib
pada setiap Jumat yang dipenuhi jamaah tersebut. Tentang apa mereka berbicara?
Pernahkah mereka berbicara soal syariat? Pernahkah mereka berucap tentang
kewajiban jihad ? Pernah pulakah mereka bertutur tentang hukum hudud?
Jarang! Bahkan amat sangat jarang!
Penelitian ilmiah memang belum kita dengar mengenai hal
ini. Namun, data empiris bisa kita dapatkan dengan mudah. Bukankah kita sendiri
sering melakukan shalat Jumat?
Lalu, tentang apa para khatib itu lebih banyak berbicara?
Jawabnya, tentang peningkatan takwa dan implementasinya dalam beribadah.
Memang, pesan takwa menjadi salah satu rukun khutbah
Jumat. Namun, bukan berarti persoalan syariah tak boleh disampaikan pada saat
khutbah Jumat. Apalagi saat ini
kesempatan paling efektif untuk menyampaikan persoalan syariat kepada
masyarakat justru ada pada khutbah Jumat.
Lalu mengapa para khatib tersebut seolah-olah enggan
berbicara syariat di mimbar Jumat? Kita berbaik sangka bahwa bukan tanpa sebab mereka
melakukan itu. Bukan mereka tak mau, tapi
masyarakatlah yang tak siap secara akidah menerima materi tersebut.
Masyarakat Muslim di negeri ini ---entah disengaja atau
tidak--- terkondisi untuk menerima ajaran agama yang terasa bersahabat dengan
mereka. Mereka tak suka terlalu banyak dilarang, tak pula suka terlalu dibebani
oleh kewajiban.
Kondisi seperti ini jauh berbeda dengan keadaan masyarakat
semasa Rasulullah SAW dan para Sahabat.
Ketika perintah datang, kaum Muslim saat itu bergegas melaksanakannya
meski dalam kondisi darurat.
Ketika perintah menutup aurat datang, misalnya, para wanita Muslim segera
melaksanakannyanya meski harus menyobek tirai-tirai jendela rumah mereka. Begitu
juga ketika larangan meminum khamar turun, semua Muslim bergegas menumpahkan
seluruh minuman memabukkan tersebut di jalan-jalan meski sebenarnya mereka amat
menyukainya.
Lalu bagaimana dengan kita sekarang?
Inilah persoalan yang mesti kita retas. Para dai harus
bekerja keras menyiapkan akidah kaum Muslim di negeri ini agar siap menerima
syariat dengan segala konsekuensinya sebagaimana masyarakat Islam pada masa
lalu.
Jika tidak, mereka akan mencari ideologi lain yang
seolah-olah sempurna padahal menggelincirkan. Naudzubillahi min dzalik!
Wallahu a’lam.
(Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2012)