Jumat, 02 November 2012

Negara Bangkrut

"Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya agama Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah [5]: 56).
 
Jepang boleh saja bangga dengan predikat sebagai negara berekonomi terbesar ketiga di dunia. Ini setidaknya bila dilihat dari nilai Gross Domestic Product (GDP), atau total penjualan barang dan jasa di negara itu dalam satu tahun. Tahun lalu, Jepang mencatatkan nilai GDP sebesar Rp 55.700 triliun.

Namun, siapa sangka, di balik predikat itu, Jepang justru menjadi negara dengan rasio utang terhadap GDP tertinggi di dunia.  Badan keuangan dunia (IMF) mencatat pada Juli 2012 lalu, Jepang menorehkan rasio utang sebesar 230 persen. Itu berarti nilai utang negara tersebut jauh di atas nilai GDP-nya.

Mengapa Jepang bisa seperti itu? Para ekonom menilai,  petaka ini disebabkan karena Jepang kecanduan berutang. Bahkan, lebih candu ketimbang masyarakat Eropa yang konon kondisi ekonominya juga mulai terancam bangkrut.

Amerika Serikat juga mengalami kondisi tak jauh berbeda. Meski nilai GDP-nya tertinggi di dunia, namun rasio utangnya juga di atas 100 persen. Lagi-lagi petaka ini terjadi karena mereka gemar berutang. Pemerintah AS sendiri sudah kewalahan mengatasi kondisi ini. Mereka bahkan berencana menaikkan pajak bagi orang-orang kaya untuk menutupi utang tersebut.

Adapun Perancis, Belanda, Jerman, Yunani, dan beberapa negara Eropa lainnya telah menaikkan pajak penghasilan masyarakatnya sebesar 50 persen, bahkan lebih. Bayangkan jika separuh dari penghasilan bulanan Anda harus Anda serahkan kepada negara. Bagaimana rasanya?

Persoalan utama utang tentu ada pada bunganya. Kewajiban membayar bunga pada akhirnya membuat pihak yang "kuat" leluasa mencekik "pihak yang "lemah".  Riba membuat hutang tak pernah bisa terselesaikan. Bayangkan, Jepang sendiri harus memangkas separuh dari pemasukan negara mereka hanya untuk membayar bunganya saja, belum pokok utangnya.

Wajar jika kemudian ada negara yang bangkrut karena riba. Yunani, misalnya, kesulitan memenuhi anggaran rutin mereka, termasuk membayar gaji pegawai negeri. Wajar! Karena mereka memiliki rasio utang 161 persen, urutan kedua terbesar di dunia setelah Jepang.

Bahkan, tak sekadar itu, pemerintah Yunani berencana memangkas gaji pegawai mereka. Sungguh tragis! Sudahlah mereka dikenakan pajak tinggi, gaji mereka dipangkas pula.

Perusahaan swasta pun tak luput dari pengaruh buruk ini. Mereka ramai-ramai mem-PHK karyawannya. Angka pengangguran meningkat tajam. Gelombang demonstrasi bermunculan di mana-mana. Negara ini betul-betul terancam bangkrut.

Bila negara saja bisa bangkrut akibat riba, apalagi pribadi dan keluarga. Banyak orang yang terpaksa menjual diri karena tak sanggup membayar bunga yang mencekik.

Di Arab, pada masa sebelum turunnya Islam, banyak orang menjadi budak bukan karena kalah dalam perang, melainkan karena tak sanggup membayar utang di rentenir.

Tak heran bila Islam amat meninstakan kaum pemberi pinjaman berbunga ini. Bahkan, lebih hina ketimbang pemerkosa. Nabi Muhammad SAW berkata, dosa paling ringan dari mereka yang memakan riba adalah menzinai ibu kandungnya sendiri.

Mari hindari kebangkrutan karena riba sebagaimana Allah SWT telah mengingatkan kaum Muslim akan hal ini.  Mari menggapai ridho Ilahi dengan cara mematuhi segala perintah-Nya dan meninggalkan segala sesuatu yang bukan bersumber dari-Nya agar pribadi, keluarga, dan negara kita terlepas dari bencana.

Wallahu a’lam.