Seorang pria dengan jas hitam itu berdiri tegap di
atas panggung besar yang berada di sisi lapangan Stadion Lebak Bulus, Jakarta
Selatan. Di hadapan sekitar 20 ribu umat Islam yang menghadiri acara Konferensi
Rajab 1432 Hijriyah, pria tersebut memaparkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia
saat ini sudah sangat memprihatinkan. Dalam orasinya yang berapi-api, ia
menyatakan hutang Indonesia saat ini sudah mencapai angka Rp 1.117 triliun.
Berdasarkan hitungan, ia memprediksi hutang Indonesia akan berjuta kali lipat luas lapangan sepak bola Lebak Bulus. “Hutang Indonesia 3.357.504 kali lipat (luas) stadion Lebak Bulus,” urainya. Bahkan akibat cengkraman hutang, tambahnya, maka tiap bayi di Indonesia akan membawa beban hutang sebesar 7,5 juta rupiah.
Ia adalah Dr Ir Rahmat Kurnia, M.Si, salah satu
pimpinan tertinggi gerakan Islam di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sebagai salah satu ketua di DPP HTI, Ustadz Rahmat, demikian ia biasa disapa,
menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berusaha keluar dari jeratan
kapitalisme global yang dikendalikan oleh Amerika Serikat.
Demikianlah gaya khas pria kelahiran 44 tahun silam
ini jika berbicara di muka umum. Selain selalu disertai dengan data-data yang
penuh perhitungan, namun juga tak pernah sungkan untuk menyampaikan kritik
terhadap pemerintah, misalnya saat pemerintah berencana menaikan harga bahan
bakar minyak. Menurutnya, rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah bentuk
dari kebohongan, kezaliman, dan pengkhianatan. “Sehingga menurut akidah, kita
harus menolak kenaikan BBM dan liberalisasi (sektor migas) ini,” tegasnya
seperti dikutip dalam sebuah laman situs berita Islam.
Tapi siapa sangka, meski keras dan tegas mengkritik
pemerintah, Rahmat ternyata masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Ia
tercatat sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bogor, Jawa Barat.
Padahal, bagi banyak orang yang menyandang status tersebut, justru lebih
cenderung diam dan mencari jalan aman. Tapi, Rahmat berbeda. Baginya, meski
sebagai PNS tak berarti ia diam diri dan bungkam terhadap pemerintah.
“Tugas saya mengajar di kampus, dan itu saya lakukan
secara profesional. Tidak ada kewajiban seorang dosen harus mendukung kebijakan
pemerintah, misalnya dalam rencana kenaikan harga BBM,” ujarnya. Jadi saat
pemerintah melakukan kesalahan, tambah pria yang aktif dalam dunia dakwah sejak
kuliah ini, wajib untuk diingatkan.
Memang selain sibuk mengajar di kampus, Rahmat
aktif sebagai Ketua Lajnah Fa’aliyah DPP HTI. Baginya, dakwah adalah jalan
hidup yang telah ia pilih dengan penuh kesadaran. Setiap hari, hampir tak ada
waktu tersisa. “Kalau pagi hingga siang, saya mengajar, bimbing mahasiswa, dan
mempersiapkan bahan kuliah. Sore hingga malam langsung ke Jakarta untuk
kegiatan dakwah dan silaturahim dengan para tokoh,” terangnya. Biasanya sampai
rumah menjelang tengah malam. Itu pun biasanya tidak langsung tidur, “Kadang
masih harus menulis artikel untuk media,” katanya
Ia pun sadar dengan konsekunsi dari pilihan ini,
tak ada lagi waktu untuk mengerjakan proyek-proyek penelitian. Padahal, aku
Rahmat, dari situlah biasanya seorang dosen bisa mendapatkan tambahan
penghasilan. “Mungkin di antara para dosen yang ada, saya dosen yang paling kere.
Tapi saya paham betul, ini pilihan hidup,” tegas Rahmat. Dan, Rahmat tak
pernah sedikit pun menyesali jalan ini. Jalan para Nabi, Sahabat, dan salafus
saleh.
Lantas, bagaimanakah ia mengatur waktu antara
kesibukan profesi dan dakwah. Serta, bagaimana pula ia mulai tertarik pada
dunia dakwah.
Pertengahan bulan lalu, Ustadz Rahmat berkenan
menerima wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Mahladi, serta fotografer,
Muh Abdus Syakur di dua tempat yang berbeda; kantor DPP HTI dan kampus Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Berikut petikan wawancaranya. Selamat menyimak.*
Selain sebagai dosen, apakah Anda juga menduduki
jabatan struktural di kampus?
Tidak. Saya hanya mengajar. Saya merasa tak punya
banyak waktu lagi.
Apakah karena memang belum ada promosi atau ada
alasan lain?
Saya memang tidak minta untuk berada di struktur
IPB. Kalau pun ditawarkan saya tidak mau. Kalau di struktural tidak akan bisa
ke mana-mana. Sementara saya harus menyeimbangkan antara dakwah dan sebagai
dosen. Bahkan, saya juga tidak pernah ikut dalam proyek-proyek penelitian,
sementara dosen lain banyak yang ikut proyek itu. Kalau pun penelitian, itu
memang saya perlukan untuk diteliti dan kebutuhan institusi, tapi bukan untuk
memenuhi permintaan perusahaan.
Apakah karena ada kebijakan dari HTI?
Tidak, ini keputusan pribadi, karena faktor waktu.
Kalau saya mengerjakan proyek yang banyak, bisa berminggu-minggu di daerah
untuk meneliti. Lebih baik saya gunakan untuk dakwah.
Bukankah justru dari proyek itu Anda bisa
mendapatkan tambahan penghasilan?
Iya betul, itu memang konsekuensinya. Tapi alhamdulillah,
saya juga tidak miskin, malah kaya hati (tertawa). Makanya hidup
sederhana saja, insya Allah, rezeki akan datang dari mana saja. Apalagi
sekarang ini gaji dosen juga tidak terlalu buruk.
Tapi bukankah kecenderungannya manusia merasa tidak
puas dengan gaji yang didapatkannya?
Ya memang, tapi saya qanaah (menerima dengan
cukup-red)saja. Kalau kita berbicara kekurangan, pasti kurang. Namun
bagaimana kita memanfaatkan yang kita punya, sedikit tapi berkah. Kalaupun ada
tambahan yang halal.
Selain itu, jika yang lain rumahnya bagus, kalau saya
cukuplah dengan rumah sederhana untuk keluarga. Mungkin saya ini satu-satunya
dosen yang pakai motor, tapi saya tidak malu. Alhamdulillah, baru
setahun ini punya mobil.
Atau Anda merasa bahwa justru mendapatkan
keberkahan dengan melibatkan diri dalam dakwah ini?
Saya memandang keberkahan itu adanya di dalam
keridhaan Allah. Ada orang yang punya uang banyak, tapi tidak berkah. Saya
punya banyak kawan yang kaya, tapi rumah tangganya berantakan, demikian
juga anak-anaknya. Bahkan saya sering jadi tempat curhat. Ada seorang teman
dosen malah kagum pada gaya hidup saya.
Apakah sudah ada upaya untuk mengajak mereka dalam
berjamaah?
Upaya jalan terus, tapi ada yang menerima dan
menolak. Alasan mereka menolak, pertama, belum paham dengan Islam, tapi
hanya memahami sebagai seorang ilmuwan. Padahal seharusnya dipahami, bahwa
selain ilmuwan, kita juga dai. Kedua, karena memang sudah punya mind
set berpikir yang berbeda. Akhirnya, kita jalan masing-masing. Ketiga,
mungkin sudah punya jalan organisasi atau politik tertentu.
Atau barangkali khawatir akan menggangu jabatan?
Saya belum pernah menemukan yang seperti itu.
Buktinya ketika HTI di Bogor mengadakan pertemuan intelektual, sebulan sekali,
kita undang doktor-doktor, mereka semua hadir. Hanya saja, ketika ditawari
tindak lanjut untuk berikutnya, yang mau hanya segelintir orang. Tapi ada juga
yang mendukung dakwah, tapi tetap sebagai orang profesional.
Tapi saya yakin betul, semua orang fitrahnya sama:
akan ikut pada kebenaran, baik dia dosen, guru, pengusaha, atau apa pun.
Bagaimana dengan alasan waktu?
Ya itu memang pilihan, karena ada orang yang harus
mengajar, meneliti, pengabdian masyarakat, kemudian proyek. Belum lagi untuk
urusan keluarga. Maka bisa habis waktu. Tapi ada juga orang yang memilih lain,
seperti saya ini.
Maksud Anda?
Pilihan saya harus bekerja dengan baik, menunaikan
kewajiban mengajar, penelitian, pengabdian masyarakat. Tapi untuk mendapatkan
pendapatan lebih dari proyek, bukan pilihan saya. Termasuk, ketika banyak orang
liburan saat weekend (akhir minggu), saya juga tidak. Saya jarang sekali
liburan bersama anak-anak dan istri, justru liburan saya itu ikut pengajian bareng-bareng.
Sebagai manusia, tentu ada keinginan-keinginan
untuk mendapatkan tambahan penghasilan seperti yang lain. Bagaimana
mengatasinya?
Tentu ada, itu menyangkut masalah gharizah
(insting) ingin punya ini dan itu. Makanya harus disalurkan dengan memperkuat
ibadah, insya Allah gharizah itu akan hilang. Dulu saya masih
sempat menulis buku, sekarang sama sekali tidak sempat, kecuali menulis
keperluan kuliah dan artikel untuk majalah Al-Waie. Itu pun mengurangi
waktu yang lain. Kalau mestinya waktu tidur jam 12 malam, jika itu dituntut,
maka waktu tidurnya mundur lagi.
***
Menjadi dosen adalah keputusan terakhir yang Rahmat
ambil setelah berfikir selama dua tahun. Selama dua tahun itu ia jalani
sambil bekerja sebagai trainer di Pan Asia Reseach. Sebagai seorang trainer, ia
mendapatkan gaji yang sangat besar. Menurutnya, gaji yang ia dapatkan saat itu
mencapai Rp. 150.000 perhari, sementara itu gaji dosen hanya Rp 110.000 per
bulan. Namun dengan gaji itu tidak membuatnya merasa betah. “Apakah hidup saya
ini dihabiskan hanya untuk uang saja,” katanya membatin.
Akhirnya, Rahmat memutuskan untuk keluar.
“Pilihannya dua, jadi dosen atau wartawan,” kenangnya.
Rahmat melihat, kalau jadi wartawan itu
mengasyikkan. “Waktunya bisa ke sana-sini. Selain itu saya juga suku menulis,”
ujar Rahmat. Namun ia memilih menjadi dosen. Saat Rahmat menyampaikan
keputusan itu kepada kedua orangtuanya, mereka justru senang dan bangga.
“Ketika saya bilang, mereka sangat setuju. Mungkin karena mereka juga guru,”
terang Rahmat.
Kenangan Rahmat terhadap orangtua; Oon Suhanda dan
Tursinah, yang kini telah tiada begitu mendalam. “Sejak saya kecil, ayah sering
mengajak ke sawah terutama saat panen. Beliau mengajarkan kepada saya arti
kerja keras dan kesungguhan. Nilai itu yang sangat saya rasakan sekarang,” kata
suami dari Dedeh Wahidah Achmad ini.
Sementara ibu, aku Rahmat, adalah sosok yang lembut
dan tegas. “Kalau saya tidak belajar, ibu pasti marah. Namun dia lembut, kalau
kita nurut,” terang pria yang tahun lalu baru saja menyelesaikan program doktor
bidang Pemodelan Ekosistem Perairan dan Biostatistika dan Statistika Terapan.
Ibu juga yang mengajarkan Rahmat soal kepemimpinan.
Caranya sederhana. “Sejak kelas 3 SD, saya diberi tugas mengepel di depan
rumah, kalau tidak mengepel saya dievaluasi. Saya juga diberi tugas belanja ke
warung yang kalau jalan kaki sekitar 20 menit,” paparnya.
Oleh karena itu, ayah lima anak ini
menganggap, mereka tak sekedar sebagai orangtua, tapi juga guru.
***
Pernah anak-anak menuntut Anda, sementara Anda
sangat sibuk?
Iya pernah, tapi saya selalu kerjasama dengan istri
dalam mendidikan anak. Kalau ada waktu meski sebentar, saya akan sempatkan
untuk anak-anak, misalnya: menemani anak belajar matematika atau belanja ke supermarket.
Saya juga selalu sempatkan mengontrol bacaan dan hafalan al-Qur’an anak-anak,
serta shalatnya.
Bagaimana jika saat Anda sedang bertugas di luar
kota?
Kalau saya di luar kota, istri saya yang
bertanggung jawab terhadap anak-anak, dan saya selalu menelepon bertanya
perkembangan anak-anak.
Anda dan istri sama-sama sibuk dengan dakwah.
Bagaimana cara mendidik anak?
Biasanya dua hari sekali menjelang tidur, saya dan
istri selalu melakukan evaluasi perkembangan anak. Dari anak pertama sampai
kelima semua dievaluasi. Pada saat evaluasi itu juga ada pembagian tugas dalam
mengatasi masalah anak-anak. Hal itu selalu saya sempatkan, meskipun ketika itu
posisi saya berada di luar kota.
Bagaimana membagi waktu antara kesibukan Anda dan
istri yang sama-sama sibuk?
Setiap satu bulan sekali, saya dan istri selalu ada
rapat terbatas. Dalam rapat itu kami mengatur perencanaan saya dan istri.
Saya menyampaikan jadwal mengajar, ke luar kota, agenda dakwah ketemu tokoh.
Begitu juga dengan istri. Nanti akan ketahuan jadwal yang bentrok, kita cari
solusinya bersama.
Siapa yang lebih banyak mengalah?
Kadang-kadang saya atau istri, tergantung
urgensitas acaranya. Tolak ukurnya adalah mana yang wajib dilakukan, misalnya
saya harus kerja dan istri ada jadwal keluar, maka saya yang harus tetap kerja,
karena ini kewajiban. Tapi kalau misalnya hari Sabtu, saya tidak ada acara dan
istri harus keluar, maka anak-anak dengan saya. Tapi kalau dua-duanya harus
keluar, maka satu anak sama saya dan satu anak sama istri. Jadi ada komunikasi
dengan keluarga, sehingga kerja enjoy, dakwah enjoy, karena tujuan kita ini
adalah mencari ridha Allah.*
"Status PNS Hukumnya Mubah"
Rahmat Kurnia merupakan anak keempat dari lima
bersaudara. Pria kelahiran Bandung, 28 September 1968 ini tumbuh di Desa Sapan,
Kab Bandung, Jawa Barat. Sejak SMP, Rahmat nyantri kalong (santri tak
tetap) di Pesantren Al-Misbah Bandung pimpinan KH Muhammad Nuh. “Kalau
pagi saya sekolah, sorenya mengaji di pesantren,” kenang Rahmat yang ketika itu
harus berjalan kaki selama satu jam menuju pesantren. Setelah itu, usai
Maghrib, ia harus mengajar ngaji di mushalla yang ada di samping
rumahnya. Menurutnya, kegiatan itu terus berlangsung hingga SMA.
Ketertarikan Rahmat mendalami Islam mendapat
dukungan dari orangtua. Saat SMA, ayahnya menitipkan Rahmat secara khusus
kepada KH Muhammad Nuh agar bisa mendalami Islam. “Ketika itu hanya saya
sendiri yang pulang pergi mengaji, yang lainnya mereka tinggal di pesantren
itu,” kata Rahmat.
Sebenarnya, Rahmat pun ingin sekali tinggal di
pesantren. Tapi keinginan itu ditentang oleh dua orangtuanya. Menurut mereka
kalau nanti tinggal di pesantren prestasi yang selama ini diraihnya akan
menurun. “Saya berusaha meyakinkan orangtua bahwa meski tinggal di pesantren,
prestasi saya akan tetap baik,” ujar Rahmat. Akhirnya, sebagai jalan tengah,
Rahmat diperbolehkan mengaji di pesantren, namun tetap pulang ke rumah.
Pengalaman belajar di pesantren, membuat Rahmat
semakin antusias mempelajari Islam. Demikian juga ketika ia berhasil masuk
perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Bahkan,
kenang Rahmat, ketika itu pengajian ada di mana-mana. Gairah mahasiswa untuk
mengikuti pengajian pun sangat tinggi. Begitu juga Rahmat.
Rahmat sering menghadiri pengajian dhuha dan
pengajian Sabtu-Ahad. “Semenjak itu saya banyak berkenalan dengan aktivis Islam
di kampus,” kata Rahmat yang juga mengikuti pengajian di beberapa harakah. Baru
pada tahun berikutnya, ia bertemu dengan aktivis Hizbut Tahrir di kampus.
Rahmat pun mengikuti pengajian di harakah tersebut.
Pada perjalanan waktu, Rahmat harus dihadapkan pada
situasi memilih. Hizbut Tahrir atau harakah lain. “Saya lebih memilih HT,
berdasarkan pertimbangan pemahaman saya. Ini yang paling baik untuk berjuang,”
akunya. Selain itu, kata Rahmat, dari segi pemikiran ia lebih terpuaskan.
Begitu pun juga dari konsep pemahaman fakta, ruhiyah, dan ibadah.
“Saya juga menilai, dari segi pemahaman politik,
baik nasional maupun internasional, saya lebih mendapatkan dari teman-teman
yang ada di HT. Begitu juga argumen teman-teman lebih cocok dengan saya,” aku
Rahmat yang pernah menjadi ketua Badan Kerohanian Islam di tahun kedua kuliah.
Selama kuliah, apakah Anda sudah masuk dalam
struktural HTI?
Belum. Pertama kali masuk struktur sebagai ketua
Mahlilyah Bogor tahun 1993, setelah selesai kuliah. Sementra saat kuliah saya
hanya belajar saja. Selesai Mahliyah, saya langsung menjadi fungsional di
Lajnah Siyasi di DPP HTI. Ketika itu posisi tingkat propinsi belum ada.
Selain Anda, berapa orang yang langsung masuk ke
tingkat pusat?
Macam-macam, sampai sekarang juga angkatan saya
masih ada di tingkat Bogor.
Tahun 1993 Anda sudah menjadi pegawai negeri.
Apakah ada masalah dengan status Anda sebagai pengurus HTI?
Alhamdulillah, tidak ada masalah. Kita ini
Muslim dan harus berdakwah, dakwah itu bisa dimana saja, termasuk juga ketika
kita bekerja. Bekerjanya apa saja, termasuk ketika jadi dosen. Sekarang di IPB
banyak dosen yang juga menjadi ustadz. Jadi khusus untuk IPB, kultur itu memang
sudah biasa.
Pimpinan Anda mengetahui bahwa Anda aktif di HTI?
Mereka semua tahu, tapi tidak mempermasalahkan
kegiatan saya.
Apakah ada resistensi dari mahasiswa yang berbeda
harakah, misalnya?
Tidak ada. Pertama, ketika mengajar saya
profesional, tanpa membedakan suku, agama, apalagi harakah. Saya ingin
membagikan ilmu ke semua orang. Saya ingin ilmu yang saya miliki bermanfaat
untuk semua orang. Jadi praktis tidak ada resistensi sama sekali. Dalam
hal penilaian, saya juga sangat-sangat objektif. Tidak karena Muslim, lalu
diberi nilai lebih bagus. Kalau memang tidak bisa, ya tidak bisa.
Apakah Anda juga menyampaikan ide-ide HTI kepada
mahasiswa?
Dari segi ide, saya tetap menyampaikan, kalau ada
yang menerima ya alhamdulillah, kalau tidak ya mereka berhak untuk
memilih. Tapi, biasanya hal itu saya sampaikan kalau diskusi di luar kelas.
Kalau di dalam kelas, saya hanya mengajarkan materi kuliah. Namun di dalam
kelas saya selalu menanamkan nilai-nilai Islam, itu adalah bagian dari mendidik
moral, kedisiplinan, dan kepatuhan.
Saya mencoba mengimplementasikan proses pendidikan
itu berbasis akidah yang saya yakini, yaitu Islam. Sehingga saya seringkali
mengajak teman-teman diskusi, misalnya tentang waktu. Saya memaparkan tentang
bagaimana Nabi mencontohkan tentang waktu dan bagamana al-Qur’an bicara
mengenai waktu.
Penolakannya seperti apa?
Biasa saja, kampus itu masyarakat ilmiah. Kalau
tidak setuju ya sudah. Tapi, hubungannya baik-baik saja.
Bagaimana dengan sikap HTI terhadap kadernya yang
berstatus PNS seperti Anda?
HTI memandang pemerintahan itu ada dua: Al-Hukmu
dan Idarah. Al-Hukmu berarti pihak-pihak yang menerapkan sistem
yang bukan Islam, contoh: kepala negara, gubernur, polisi, dan sebagainya.
Sebab hukum yang diterapkan saat ini masih menggunakan sistem kapitalisme.
Haram hukumnya.
Kalau Idarah dia hanya pegawai dari negara
atau PNS yang tugasnya bukan menerapkan hukum, tetapi sebagai ajir
(buruh) dari negara, di antaranya: dosen, guru. Itu hukumnya mubah.
HTI cukup keras dalam mengkritik pemerintah, misal
tentang BBM. Tapi satu sisi Anda sebagai PNS masih menerima gaji dari
pemerintah?
Bagi saya itu tidak ada hubungannya. Status sebagai
dosen tugasnya adalah mengajar. Ketika kita tidak mengajar, maka kita sudah
menyimpang dari akad, hukumnya menjadi haram. Tapi tidak ada kewajiban seorang
guru/dosen harus mendukung kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM. Itu
bukan kewajiban.
Tapi ada sebagian yang menganggap haram menerima
uang dari pemerintah. Menurut Anda?
Ini bukan uang pemerintah, tapi uang rakyat. Amal
kita untuk rakyat. Dalam hal ini, pandangan kita berbeda dengan sebagian umat
Islam. Kita harus detail dalam melihat setiap fakta aktivitas. Tidak bisa
semuanya dianggap haram, harus detail dalam menghukumi sesuatu.
Makanya kadang-kadang, sekarang kita setuju karena
benar, kadang tidak setuju. Misalnya saat isu BBM, jelas HTI berseberangan.
Tapi ketika isu Papua mau lepas, HTI setuju dengan sikap pemerintah tidak ingin
melepaskan.
Di HTI, kita mengembangkan konsep qiyadah
fikriyah (kepemimpinan berfikir). Makanya, kadang sama dengan orang ,
kadang beda. Sebab yang kita pegang adalah kebenaran, kalau benar kita dukung,
kalau salah kita kritik.
Kalau ada kesamaan dengan pemerintah, bentuk dukungan
seperti apa?
Hanya fikiran saja sama, tidak ada dalam bentuk
sikap dukungan.
Bisa Anda jelaskan tentang tugas Anda sebagai
Ketua Lajnah Fa’aliyah DPP HTI?
Tugasnya kontak tokoh, ketemu tokoh, berdiskusi
dengan tokoh untuk menyampaikan ide-ide Islam; aqidah, syariah, khilafah, dan
berbicara masalah umat untuk mendapatkan solusi. Tugas saya memenej tim yang
berjumlah lima orang. Kalau saya biasanya ketemu tokoh pada sore atau malam
hari.
Bagaimana respon para tokoh yang Anda datangi?
Beraneka ragam, ada yang menyatakan tegas-tegas
tidak setuju dengan syariah dan khilafah. Menganggap khilafah itu berbahaya.
Ada juga tokoh yang setuju, tapi belum mendukung perjuangan ini. Tapi, ada juga
yang setuju mendukung, tapi inginnya berjalan masing-masing. Dengan yang tidak
setuju, kami masih sering menjalin kontak.
Selain dukungan, apa target dari ketemu tokoh?
Ya kita mengajak mereka untuk turut berjuang. Agar
kami tidak berdosa karena tidak menyampaikan hal ini, sebab ini bukan hanya
kewajiban HT, tapi juga kewajiban seluruh umat Islam.*