Senin, 04 Juni 2012

Dr Rahmat Kurnia, Ketua DPP HTI
Sukses Dakwah, Sukses Profesi

Seorang pria dengan jas hitam itu berdiri tegap di atas panggung besar yang berada di sisi lapangan Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di hadapan sekitar 20 ribu umat Islam yang menghadiri acara Konferensi Rajab 1432 Hijriyah, pria tersebut memaparkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan. Dalam orasinya yang berapi-api, ia menyatakan hutang Indonesia saat ini sudah mencapai angka Rp 1.117 triliun. 


Berdasarkan hitungan, ia memprediksi hutang Indonesia akan berjuta kali lipat luas lapangan sepak bola Lebak Bulus. “Hutang Indonesia 3.357.504 kali lipat (luas) stadion Lebak Bulus,” urainya. Bahkan akibat cengkraman hutang, tambahnya, maka tiap bayi di Indonesia akan membawa beban hutang sebesar 7,5 juta rupiah.

Ia adalah Dr Ir Rahmat Kurnia, M.Si, salah satu pimpinan tertinggi gerakan Islam di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebagai salah satu ketua di DPP HTI, Ustadz Rahmat, demikian ia biasa disapa, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berusaha keluar dari jeratan kapitalisme global yang dikendalikan oleh Amerika Serikat.

Demikianlah gaya khas pria kelahiran 44 tahun silam ini jika berbicara di muka umum. Selain selalu disertai dengan data-data yang penuh perhitungan, namun juga tak pernah sungkan untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah, misalnya saat pemerintah berencana menaikan harga bahan bakar minyak. Menurutnya, rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah bentuk dari kebohongan, kezaliman, dan pengkhianatan. “Sehingga menurut akidah, kita harus menolak kenaikan BBM dan liberalisasi (sektor migas) ini,” tegasnya seperti dikutip dalam sebuah laman situs berita Islam.

Tapi siapa sangka, meski keras dan tegas mengkritik pemerintah, Rahmat ternyata masih berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Ia tercatat sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bogor, Jawa Barat. Padahal, bagi banyak orang yang menyandang status tersebut, justru lebih cenderung diam dan mencari jalan aman. Tapi, Rahmat berbeda. Baginya, meski sebagai PNS tak berarti ia diam diri dan bungkam terhadap pemerintah.

“Tugas saya mengajar di kampus, dan itu saya lakukan secara profesional. Tidak ada kewajiban seorang dosen harus mendukung kebijakan pemerintah, misalnya dalam rencana kenaikan harga BBM,” ujarnya. Jadi saat pemerintah melakukan kesalahan, tambah pria yang aktif dalam dunia dakwah sejak kuliah ini, wajib untuk diingatkan. 

Memang selain sibuk mengajar di kampus, Rahmat aktif sebagai Ketua Lajnah Fa’aliyah DPP HTI. Baginya, dakwah adalah jalan hidup yang telah ia pilih dengan penuh kesadaran. Setiap hari, hampir tak ada waktu tersisa. “Kalau pagi hingga siang, saya mengajar, bimbing mahasiswa, dan mempersiapkan bahan kuliah. Sore hingga malam langsung ke Jakarta untuk kegiatan dakwah dan silaturahim dengan para tokoh,” terangnya. Biasanya sampai rumah menjelang tengah malam. Itu pun biasanya tidak langsung tidur, “Kadang masih harus menulis artikel untuk media,” katanya

Ia pun sadar dengan konsekunsi dari pilihan ini, tak ada lagi waktu untuk mengerjakan proyek-proyek penelitian. Padahal, aku Rahmat, dari situlah biasanya seorang dosen bisa mendapatkan tambahan penghasilan. “Mungkin di antara para dosen yang ada, saya dosen yang paling kere. Tapi saya paham betul, ini pilihan hidup,” tegas Rahmat.  Dan, Rahmat tak pernah sedikit pun menyesali jalan ini. Jalan para Nabi, Sahabat, dan salafus saleh.

Lantas, bagaimanakah ia mengatur waktu antara kesibukan profesi dan dakwah. Serta, bagaimana pula ia mulai tertarik pada dunia dakwah.

Pertengahan bulan lalu, Ustadz Rahmat berkenan menerima wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik, Mahladi, serta fotografer, Muh Abdus Syakur di dua tempat yang berbeda; kantor DPP HTI dan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).

Berikut petikan wawancaranya. Selamat menyimak.*

Selain sebagai dosen, apakah Anda juga menduduki jabatan struktural di kampus?

Tidak. Saya hanya mengajar. Saya merasa tak punya banyak waktu lagi.

Apakah karena memang belum ada promosi atau ada alasan lain?

Saya memang tidak minta untuk berada di struktur IPB. Kalau pun ditawarkan saya tidak mau. Kalau di struktural tidak akan bisa ke mana-mana. Sementara saya harus menyeimbangkan antara dakwah dan sebagai dosen. Bahkan, saya juga tidak pernah ikut dalam proyek-proyek penelitian, sementara dosen lain banyak yang ikut proyek itu. Kalau pun penelitian, itu memang saya perlukan untuk diteliti dan kebutuhan institusi, tapi bukan untuk memenuhi permintaan perusahaan.

Apakah karena ada kebijakan dari HTI?

Tidak, ini keputusan pribadi, karena faktor waktu. Kalau saya mengerjakan proyek yang banyak, bisa berminggu-minggu di daerah untuk meneliti. Lebih baik saya gunakan untuk dakwah.

Bukankah justru dari proyek itu Anda bisa mendapatkan tambahan penghasilan?

Iya betul, itu memang konsekuensinya. Tapi alhamdulillah, saya juga tidak miskin, malah  kaya hati (tertawa). Makanya hidup sederhana saja, insya Allah, rezeki akan datang dari mana saja. Apalagi sekarang ini gaji dosen juga tidak terlalu buruk.

Tapi bukankah kecenderungannya manusia merasa tidak puas dengan gaji yang didapatkannya?

Ya memang, tapi saya qanaah (menerima dengan cukup-red)saja. Kalau kita berbicara kekurangan, pasti kurang. Namun bagaimana kita memanfaatkan yang kita punya, sedikit tapi berkah. Kalaupun ada tambahan yang halal.

Selain itu, jika yang lain rumahnya bagus, kalau saya cukuplah dengan rumah sederhana untuk keluarga. Mungkin saya ini satu-satunya dosen yang pakai motor, tapi saya tidak malu. Alhamdulillah, baru setahun ini punya mobil.

Atau Anda merasa bahwa justru mendapatkan keberkahan dengan melibatkan diri dalam dakwah ini?

Saya memandang keberkahan itu adanya di dalam keridhaan Allah. Ada orang yang punya uang banyak, tapi tidak berkah. Saya punya banyak kawan yang  kaya, tapi rumah tangganya berantakan, demikian juga anak-anaknya. Bahkan saya sering jadi tempat curhat. Ada seorang teman dosen malah kagum pada gaya hidup saya.

Apakah sudah ada upaya untuk mengajak mereka dalam berjamaah?

Upaya jalan terus, tapi ada yang menerima dan menolak. Alasan mereka menolak, pertama, belum paham dengan Islam, tapi hanya memahami sebagai seorang ilmuwan. Padahal seharusnya dipahami, bahwa selain ilmuwan, kita juga dai. Kedua, karena memang sudah punya mind set berpikir yang berbeda. Akhirnya, kita jalan masing-masing. Ketiga, mungkin sudah punya jalan organisasi atau politik tertentu.

Atau barangkali khawatir akan menggangu jabatan?

Saya belum pernah menemukan yang seperti itu. Buktinya ketika HTI di Bogor mengadakan pertemuan intelektual, sebulan sekali, kita undang doktor-doktor, mereka semua hadir. Hanya saja, ketika ditawari tindak lanjut untuk berikutnya, yang mau hanya segelintir orang. Tapi ada juga yang mendukung dakwah, tapi tetap sebagai orang profesional.

Tapi saya yakin betul, semua orang fitrahnya sama: akan ikut pada kebenaran, baik dia dosen, guru, pengusaha, atau apa pun.

Bagaimana dengan alasan waktu?

Ya itu memang pilihan, karena ada orang yang harus mengajar, meneliti, pengabdian masyarakat, kemudian proyek. Belum lagi untuk urusan keluarga. Maka bisa habis waktu. Tapi ada juga orang yang memilih lain, seperti saya ini.

Maksud Anda?

Pilihan saya harus bekerja dengan baik, menunaikan kewajiban mengajar, penelitian, pengabdian masyarakat. Tapi untuk mendapatkan pendapatan lebih dari proyek, bukan pilihan saya. Termasuk, ketika banyak orang liburan saat weekend (akhir minggu), saya juga tidak. Saya jarang sekali liburan bersama anak-anak dan istri, justru liburan saya itu ikut pengajian bareng-bareng.

Sebagai manusia, tentu ada keinginan-keinginan untuk mendapatkan tambahan penghasilan seperti yang lain. Bagaimana mengatasinya?

Tentu ada, itu menyangkut masalah gharizah (insting) ingin punya ini dan itu. Makanya harus disalurkan dengan memperkuat ibadah, insya Allah gharizah itu akan hilang. Dulu saya masih sempat menulis buku, sekarang sama sekali tidak sempat, kecuali menulis keperluan kuliah dan artikel untuk majalah Al-Waie. Itu pun mengurangi waktu yang lain. Kalau mestinya waktu tidur jam 12 malam, jika itu dituntut, maka waktu tidurnya mundur lagi.

***

Menjadi dosen adalah keputusan terakhir yang Rahmat ambil setelah berfikir selama dua tahun. Selama dua tahun  itu ia jalani sambil bekerja sebagai trainer di Pan Asia Reseach. Sebagai seorang trainer, ia mendapatkan gaji yang sangat besar. Menurutnya, gaji yang ia dapatkan saat itu mencapai Rp. 150.000 perhari, sementara itu gaji dosen hanya Rp 110.000 per bulan. Namun dengan gaji itu tidak membuatnya merasa betah. “Apakah hidup saya ini dihabiskan hanya untuk uang saja,” katanya membatin.

Akhirnya, Rahmat memutuskan untuk keluar. “Pilihannya dua, jadi dosen atau wartawan,” kenangnya.

Rahmat melihat, kalau jadi wartawan itu mengasyikkan. “Waktunya bisa ke sana-sini. Selain itu saya juga suku menulis,” ujar Rahmat. Namun ia memilih menjadi  dosen. Saat Rahmat menyampaikan keputusan itu kepada kedua orangtuanya, mereka justru senang dan bangga. “Ketika saya bilang, mereka sangat setuju. Mungkin karena mereka juga guru,” terang Rahmat.

Kenangan Rahmat terhadap orangtua; Oon Suhanda dan Tursinah, yang kini telah tiada begitu mendalam. “Sejak saya kecil, ayah sering mengajak ke sawah terutama saat panen. Beliau mengajarkan kepada saya arti kerja keras dan kesungguhan. Nilai itu yang sangat saya rasakan sekarang,” kata suami dari Dedeh Wahidah Achmad ini.  

Sementara ibu, aku Rahmat, adalah sosok yang lembut dan tegas. “Kalau saya tidak belajar, ibu pasti marah. Namun dia lembut, kalau kita nurut,” terang pria yang tahun lalu baru saja menyelesaikan program doktor bidang Pemodelan Ekosistem Perairan dan Biostatistika dan Statistika Terapan.

Ibu juga yang mengajarkan Rahmat soal kepemimpinan. Caranya sederhana. “Sejak kelas 3 SD, saya diberi tugas mengepel di depan rumah, kalau tidak mengepel saya dievaluasi. Saya juga diberi tugas belanja ke warung yang kalau jalan kaki sekitar 20 menit,” paparnya.

Oleh karena itu, ayah lima anak ini menganggap, mereka tak sekedar sebagai orangtua, tapi juga guru.

***

Pernah anak-anak menuntut Anda, sementara Anda sangat sibuk?

Iya pernah, tapi saya selalu kerjasama dengan istri dalam mendidikan anak. Kalau ada waktu meski sebentar, saya akan sempatkan untuk anak-anak, misalnya: menemani anak belajar matematika atau belanja ke supermarket. Saya juga selalu sempatkan mengontrol bacaan dan hafalan al-Qur’an anak-anak, serta shalatnya.

Bagaimana jika saat Anda sedang bertugas di luar kota?

Kalau saya di luar kota, istri saya yang bertanggung jawab terhadap anak-anak, dan saya selalu menelepon bertanya perkembangan anak-anak.

Anda dan istri sama-sama sibuk dengan dakwah. Bagaimana cara mendidik anak?

Biasanya dua hari sekali menjelang tidur, saya dan istri selalu melakukan evaluasi perkembangan anak. Dari anak pertama sampai kelima semua dievaluasi. Pada saat evaluasi itu juga ada pembagian tugas dalam mengatasi masalah anak-anak. Hal itu selalu saya sempatkan, meskipun ketika itu posisi saya berada di luar kota.

Bagaimana membagi waktu antara kesibukan Anda dan istri yang sama-sama sibuk?

Setiap satu bulan sekali, saya dan istri selalu ada rapat terbatas.  Dalam rapat itu kami mengatur perencanaan saya dan istri. Saya menyampaikan jadwal mengajar, ke luar kota, agenda dakwah ketemu tokoh. Begitu juga dengan istri. Nanti akan ketahuan jadwal yang bentrok, kita cari solusinya bersama. 

Siapa yang lebih banyak mengalah?

Kadang-kadang saya atau istri, tergantung urgensitas acaranya. Tolak ukurnya adalah mana yang wajib dilakukan, misalnya saya harus kerja dan istri ada jadwal keluar, maka saya yang harus tetap kerja, karena ini kewajiban. Tapi kalau misalnya hari Sabtu, saya tidak ada acara dan istri harus keluar, maka anak-anak dengan saya. Tapi kalau dua-duanya harus keluar, maka satu anak sama saya dan satu anak sama istri. Jadi ada komunikasi dengan keluarga, sehingga kerja enjoy, dakwah enjoy, karena tujuan kita ini adalah mencari ridha Allah.*



"Status PNS Hukumnya Mubah"

Rahmat Kurnia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Pria kelahiran Bandung, 28 September 1968 ini tumbuh di Desa Sapan, Kab Bandung, Jawa Barat. Sejak SMP, Rahmat nyantri kalong (santri tak tetap) di Pesantren Al-Misbah Bandung pimpinan KH Muhammad Nuh. “Kalau  pagi saya sekolah, sorenya mengaji di pesantren,” kenang Rahmat yang ketika itu harus berjalan kaki selama satu jam menuju pesantren. Setelah itu, usai Maghrib, ia harus mengajar ngaji di mushalla yang ada di samping rumahnya. Menurutnya, kegiatan itu terus berlangsung hingga SMA.

Ketertarikan Rahmat mendalami Islam mendapat dukungan dari orangtua. Saat SMA, ayahnya menitipkan Rahmat secara khusus kepada KH Muhammad Nuh agar bisa mendalami Islam. “Ketika itu hanya saya sendiri yang pulang pergi mengaji, yang lainnya mereka tinggal di pesantren itu,” kata Rahmat.

Sebenarnya, Rahmat pun ingin sekali tinggal di pesantren. Tapi keinginan itu ditentang oleh dua orangtuanya. Menurut mereka kalau nanti tinggal di pesantren  prestasi yang selama ini diraihnya akan menurun. “Saya berusaha meyakinkan orangtua bahwa meski tinggal di pesantren, prestasi saya akan tetap baik,” ujar Rahmat. Akhirnya, sebagai jalan tengah, Rahmat diperbolehkan mengaji di pesantren, namun tetap pulang ke rumah.

Pengalaman belajar di pesantren, membuat Rahmat semakin antusias mempelajari Islam. Demikian juga ketika ia berhasil masuk perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Bahkan, kenang Rahmat, ketika itu pengajian ada di mana-mana. Gairah mahasiswa untuk mengikuti pengajian pun sangat tinggi. Begitu juga Rahmat.

Rahmat sering menghadiri pengajian dhuha dan pengajian Sabtu-Ahad. “Semenjak itu saya banyak berkenalan dengan aktivis Islam di kampus,” kata Rahmat yang juga mengikuti pengajian di beberapa harakah. Baru pada tahun berikutnya, ia bertemu dengan aktivis Hizbut Tahrir di kampus. Rahmat pun mengikuti pengajian di harakah tersebut.

Pada perjalanan waktu, Rahmat harus dihadapkan pada situasi memilih. Hizbut Tahrir atau harakah lain. “Saya lebih memilih HT, berdasarkan pertimbangan pemahaman saya. Ini yang paling baik untuk berjuang,” akunya. Selain itu, kata Rahmat, dari segi pemikiran ia lebih terpuaskan. Begitu pun juga dari konsep pemahaman fakta, ruhiyah, dan ibadah.

“Saya juga menilai, dari segi pemahaman politik, baik nasional maupun internasional, saya lebih mendapatkan dari teman-teman yang ada di HT. Begitu juga argumen teman-teman lebih cocok dengan saya,” aku Rahmat yang pernah menjadi ketua Badan Kerohanian Islam di tahun kedua kuliah.

Selama kuliah, apakah Anda sudah masuk dalam struktural HTI?

Belum. Pertama kali masuk struktur sebagai ketua Mahlilyah Bogor tahun 1993, setelah selesai kuliah. Sementra saat kuliah saya hanya belajar saja. Selesai Mahliyah, saya langsung menjadi fungsional di Lajnah Siyasi di DPP HTI. Ketika itu posisi tingkat propinsi belum ada.

Selain Anda, berapa orang yang langsung masuk ke tingkat pusat?

Macam-macam, sampai sekarang juga angkatan saya masih ada di tingkat Bogor.

Tahun 1993 Anda sudah menjadi pegawai negeri. Apakah ada masalah dengan status Anda sebagai pengurus HTI?

Alhamdulillah, tidak ada masalah. Kita ini Muslim dan harus berdakwah, dakwah itu bisa dimana saja, termasuk juga ketika kita bekerja. Bekerjanya apa saja, termasuk ketika jadi dosen. Sekarang di IPB banyak dosen yang juga menjadi ustadz. Jadi khusus untuk IPB, kultur itu memang sudah biasa.

Pimpinan Anda mengetahui bahwa Anda aktif di HTI?

Mereka semua tahu, tapi tidak mempermasalahkan kegiatan saya.

Apakah ada resistensi dari mahasiswa yang berbeda harakah, misalnya?

Tidak ada. Pertama, ketika mengajar saya profesional, tanpa membedakan suku, agama, apalagi harakah. Saya ingin membagikan ilmu ke semua orang. Saya ingin ilmu yang saya miliki bermanfaat untuk semua orang. Jadi  praktis tidak ada resistensi sama sekali. Dalam hal penilaian, saya juga sangat-sangat objektif. Tidak karena Muslim, lalu diberi nilai lebih bagus. Kalau memang tidak bisa, ya tidak bisa.

Apakah Anda juga menyampaikan ide-ide HTI kepada mahasiswa?

Dari segi ide, saya tetap menyampaikan, kalau ada yang menerima ya alhamdulillah, kalau tidak ya mereka berhak untuk memilih. Tapi, biasanya hal itu saya sampaikan kalau diskusi di luar kelas. Kalau di dalam kelas, saya hanya mengajarkan materi kuliah. Namun di dalam kelas saya selalu menanamkan nilai-nilai Islam, itu adalah bagian dari mendidik moral, kedisiplinan, dan kepatuhan.

Saya mencoba mengimplementasikan proses pendidikan itu berbasis akidah yang saya yakini, yaitu Islam. Sehingga saya seringkali mengajak teman-teman diskusi, misalnya tentang waktu. Saya memaparkan tentang bagaimana Nabi mencontohkan tentang waktu dan bagamana al-Qur’an bicara mengenai waktu.

Penolakannya seperti apa?

Biasa saja, kampus itu masyarakat ilmiah. Kalau tidak setuju ya sudah. Tapi, hubungannya baik-baik saja.

Bagaimana dengan sikap HTI terhadap kadernya yang berstatus PNS seperti Anda?

HTI memandang pemerintahan itu ada dua: Al-Hukmu dan Idarah. Al-Hukmu berarti pihak-pihak yang menerapkan sistem yang bukan Islam, contoh: kepala negara, gubernur, polisi, dan sebagainya. Sebab hukum yang diterapkan saat ini masih menggunakan sistem kapitalisme. Haram hukumnya.

Kalau Idarah dia hanya pegawai dari negara atau PNS yang tugasnya bukan menerapkan hukum, tetapi sebagai ajir (buruh) dari negara, di antaranya: dosen, guru. Itu hukumnya mubah.

HTI cukup keras dalam mengkritik pemerintah, misal tentang BBM. Tapi satu sisi Anda sebagai PNS masih menerima gaji dari pemerintah?

Bagi saya itu tidak ada hubungannya. Status sebagai dosen tugasnya adalah mengajar. Ketika kita tidak mengajar, maka kita sudah menyimpang dari akad, hukumnya menjadi haram. Tapi tidak ada kewajiban seorang guru/dosen harus mendukung kebijakan pemerintah dalam menaikan harga BBM. Itu bukan kewajiban.

Tapi ada sebagian yang menganggap haram menerima uang dari pemerintah. Menurut Anda? 

Ini bukan uang pemerintah, tapi uang rakyat. Amal kita untuk rakyat. Dalam hal ini, pandangan kita berbeda dengan sebagian umat Islam. Kita harus detail dalam melihat setiap fakta aktivitas. Tidak bisa semuanya dianggap haram, harus detail dalam menghukumi sesuatu.

Makanya kadang-kadang, sekarang kita setuju karena benar, kadang tidak setuju. Misalnya saat isu BBM, jelas HTI berseberangan. Tapi ketika isu Papua mau lepas, HTI setuju dengan sikap pemerintah tidak ingin melepaskan.

Di HTI, kita mengembangkan konsep qiyadah fikriyah (kepemimpinan berfikir). Makanya, kadang sama dengan orang , kadang beda. Sebab yang kita pegang adalah kebenaran, kalau benar kita dukung, kalau salah kita kritik.

Kalau ada kesamaan dengan pemerintah, bentuk dukungan seperti apa?

Hanya fikiran saja sama, tidak ada dalam bentuk sikap dukungan.

Bisa Anda jelaskan tentang tugas Anda sebagai Ketua  Lajnah Fa’aliyah DPP HTI?

Tugasnya kontak tokoh, ketemu tokoh, berdiskusi dengan tokoh untuk menyampaikan ide-ide Islam; aqidah, syariah, khilafah, dan berbicara masalah umat untuk mendapatkan solusi. Tugas saya memenej tim yang berjumlah lima orang. Kalau saya biasanya ketemu tokoh pada sore atau malam hari.

Bagaimana respon para tokoh yang Anda datangi?

Beraneka ragam, ada yang menyatakan tegas-tegas tidak setuju dengan syariah dan khilafah. Menganggap khilafah itu berbahaya. Ada juga tokoh yang setuju, tapi belum mendukung perjuangan ini. Tapi, ada juga yang setuju mendukung, tapi inginnya berjalan masing-masing. Dengan yang tidak setuju, kami masih sering menjalin kontak.

Selain dukungan, apa target dari ketemu tokoh?

Ya kita mengajak mereka untuk turut berjuang. Agar kami tidak berdosa karena tidak menyampaikan hal ini, sebab ini bukan hanya kewajiban HT, tapi juga kewajiban seluruh umat Islam.*



Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Juni 2012