Rabu, 21 Maret 2012

Islam Mewanitakan Wanita

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) ...” (Annisaa’ [4]: 34)



Kewajiban seorang wanita tentu berbeda dengan kewajiban seorang laki-laki. Perbedaan ini sudah sangat jelas disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam banyak ayat di al-Qur`an. Kewajiban berbusana, misalnya, wanita diwajibkan menutup rambutnya, sedang laki-laki tidak.

Logikanya, bila kewajiban berbeda, maka hak pun berbeda. Wanita berhak memperoleh nafkah dari laki-laki, dan sebaliknya, laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada wanita.

Itulah keseimbangan yang sudah diatur oleh Allah Ta'ala lewat ajaran Islam yang amat indah, sebagaimana Allah Ta'ala juga mengatur tata surya melalui sistem keseimbangan yang sempurna.

Bila keseimbangan itu diganggu, terjadilah kekacauan. Bulan, misalnya, janganlah menuntut untuk dikelilingi bumi, dan sebaliknya, bumi pun jangan merasa enggan dikelilingi oleh bulan.

Begitu pula seharusnya laki-laki dan wanita. Wanita selayaknya diwanitakan, jangan dilaki-lakikan. Biarkan wanita menjalankan kewajibannya sebagai wanita, dan mendapatkan haknya pula sebagai wanita. Karena begitulah fitrah yang ditetapkan oleh Allah Ta'ala.

Pada masa lalu, Rasulullah saw sangat mewanitakan wanita. Dalam peperangan, misalnya, wanita diposisikan di barisan belakang untuk memperkuat tim medis atau membantu logistik. Sementara laki-laki berada di front terdepan.

Hanya saja, pada kondisi memaksa, wanita boleh maju ke depan. Simak kisah Shafiyah Binti Abdul Muththalib pada Perang Uhud. 

Semula Shafiyah membantu logistik di barisan belakang. Namun, ketika pasukan Muslim kacau balau akibat memperebutkan ghanimah (harta rampasan perang) yang ditinggal kaum kafir, Shafiyah langsung tampil ke depan. Ia kenakan baju zirah (baju besi), naik kuda dengan pedang terhunus, meninggalkan garis belakang, menerobos musuh-musuhnya, menyabet ke kanan dan ke kiri.

Begitulah Islam! Segala sesuatu tidak diukur dengan nafsu, namun ditujukan semata mencari ridho Ilahi. Jika menjadi ibu rumah tangga bisa mengantarkan seorang wanita kepada kemuliaan, maka pekerjaan itulah yang akan dipilihnya. 

Sebaliknya, jika keadaan memaksa seorang wanita harus mencari nafkah di luar rumah, maka itu dilakukannya dengan ikhlas untuk mencari ridho Allah Ta'ala, bukan demi persamaan hak atas kaum laki-laki.

Sayangnya sekarang ini tengah gencar gerakan mengganggu keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala. Gerakan ini mengajak kaum wanita untuk memberontak atas nama ketidakadilan dan hak azazi manusia, menuntut kesamaan hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki, utamanya kesamaan kondisi, sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang Undang (RUU) mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender.

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) ini sudah lama dibuat oleh pemerintah. Pada 2011 lalu RUU ini sudah diserahkan kepada DPR. Jika semua berjalan mulus, mereka menargetkan pada April 2012 RUU ini akan disyahkan menjadi undang-undang.

Kita perlu mewaspadai gerakan ini. Kita perlu pula mengantisipasi pengesahan RUU ini. Kita tak ingin tatanan sosial yang indah dalam aturan yang Islami menjadi berantakan hanya karena ingin memenuhi keinginan nafsu, bukan ridho Sang Khaliq. Kita harus berbuat, bukan diam saja!

Wallahu a’lam. ***

(Dipublikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat