Senin, 02 April 2012

Ikutilah Islam Jika Ingin Selamat

Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. (Riwayat Malik)

 
Cerita ini berawal dari kegundahan Aisyah (Machicha) Mochtar yang pernah menikah siri (diam-diam) dengan Moerdiono, mantan menteri pada masa Orde baru.  Pernikahan ini kemudian melahirkan seorang anak.
 
Ketika sang suami sudah meninggal, sang isteri menutut hak waris atas anak mereka. Namun sayang, keluarga besar sang suami tak mau mengakui pernikahan siri tersebut.  Sebab, menurut Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya memiliki hubungan perdata dengan si ibu dan keluarganya. Sedang dengan si ayah tidak!
 
Aisyah mengadukan kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Anehnya, MK malah mengabulkan uji materiil atas undang-undang tersebut.
 
Aisyah patut girang dengan keputusan MK ini. Apalagi secara hukum fiqh Islam, pernikahannya sah, meskipun tidak sesuai sunnah (tidak diumumkan).
 
Aisyah bukan satu-satunya wanita yang girang dengan keputusan MK ini. Ada puluhan, mungkin ratusan, wanita di Indonesia yang menikah diam-diam dan telah memiliki anak. Begitu pula pasangan yang menikah di bawah tangan (tak dicatat oleh negara meski diumumkan kepada masyarakat) dan telah memiliki anak.
 
Namun masalah kemudian muncul manakala pasangan yang telah melakukan zina dan memiliki anak ikut gembira mendengar keputusan ini. Keputusan MK ini ibarat memberi lampu hijau kepada para pezina untuk leluasa melakukan kemaksiatan yang amat dibenci oleh Allah SWT.  Terlebih lagi undang-undang di negeri ini ”membolehkan” perzinaan bila dilandasi suka sama suka. Apabila mereka punya anak, maka anak ini pun akan ”diakui” oleh negara.
 
Ini pula yang kemudian menimbulkan reaksi penolakan atas keputusan tersebut.  ”Putusan MK (sudah) terlalu jauh,” ungkap Jaih Mubarok, guru besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, Jawa Barat.
 
Kita tahu, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bukan dibuat atas landasan hukum Islam. Karena itu wajar jika UU tersebut memiliki banyak kelemahan. 
 
Bayangkan, dalam hal waris, anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah secara Islam bisa dianggap sama oleh UU ini dengan anak dari hasil hubungan zina.  Ini jelas zalim.
 
Kelemahan ini kemudian ingin ditutupi oleh MK lewat putusan mereka mengabulkan uji materiil atas UU ini. Namun, alih-alih menutup lubang kelemahan, malah MK telah membuat lubang baru. Bahkan, lubang baru ini menganga lebih lebar lagi.
 
Lagi-lagi, inilah akibat dari tidaksempurnanya perundang-undangan di negeri ini. Biar dibolak-balik seperti apa, tetap saja lobang akan muncul.
 
Nah, bagaimana kaum Muslim di negeri ini harus bersikap? Tentu saja kita tak perlu bingung dengan carut marut itu. Kita sudah punya aturan yang jauh lebih sempurna ketimbang undang-undang yang dipakai oleh negeri ini, yaitu al-Qur`an dan Hadits.
 
Bila al-Qur’an menyatakan, ”Jauhi zina,” maka jauhilah, meskipun negara tak pernah menghukum pelaku hubungan zina atas dasar suka sama suka. Takutlah pada azab Allah SWT yang jauh lebih pedih.
 
Jika Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk mengumumkan pernikahan, maka umumkanlah, agar kita terbebas dari fitnah.
 
Jadi, ikuti saja aturan Allah SWT, maka kita akan selamat dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishshawab

 
(Dimuat di Rubrik Salam Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat