Jumat, 06 Januari 2012

Ulama Selayaknya Bijaksana

”... Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya dari pada membunuh...” (al-Baqarah [2]: 217)


Beberapa hari sebelum Konferensi Media Islam Internasional digelar di Jakarta pada pertengahan Desember lalu, Sekretaris Jenderal Departemen Agama Republik Indonesia mengumpulkan para wartawan di kantornya.
Di hadapan para wartawan dia berkata, konferensi ini ingin mengubah citra negatif yang kerap dilekatkan pada kaum Muslim di negeri ini, termasuk stigma terorisme dan radikalisme.
Ketika konferensi yang diawali dengan bacaan al-Qur`an Surat al-Hujarat [49] ayat 6 ini dibuka, kata-kata radikalisme dan terorisme kembali disebut-sebut. Wakil Presiden Boediono, saat membuka acara tersebut mengatakan ancaman yang masih ada di negeri ini setidaknya ada empat. Satu di antaranya adalah tindakan ekstrim dan radikal yang menjurus kepada aksi teror dan penghancuran seperti bom bunuh diri.
Karena itu, kata Boediono, ulama harus bijaksana memberi informasi kepada masyarakat.
Hampir bersamaan dengan itu, di tempat lain, Ketua PB NU, KH Said Agil Siradj, di hadapan Muslimat NU dan para jurnalis, menyebut 12 organisasi massa Islam di Indonesia yang dianggap berbahaya karena mengusung wacana Negara Islam.
Tudingan Pak Kiai ini kemudian menuai reaksi. Sejumlah tokoh menyayangkan tudingan tersebut karena berpotensi memecah belah umat. Menurut mereka, tudingan tanpa bukti dan klarifikasi berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga dan bisa memecah belah umat. Selayaknya, kata mereka, tudingan seperti ini segera dihentikan.
Memang, tahun-tahun belakangan ini terorisme kerap menghantui bangsa Indonesia. Mulai dari teror fisik hingga teror kata-kata.
Teror fisik, misalnya, aksi bom bunuh diri dan peledakan di tempat-tempat umum dengan tujuan menakut-nakuti pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan sang peneror.
Sedang teror kata-kata, misalnya, ancaman lisan via telefon, penyebaran fitnah, tudingan-tudingan tanpa dasar, serta pencemaran nama baik, dengan tujuan melemahkan pihak-pihak yang tak sepaham dengan mereka.
Semua bentuk teror tersebut jelas meresahkan masyarakat dan sebaiknya segera dihentikan.
Media massa, tanpa disadari, kerap dijadikan sarana untuk meneror, terutama teror kata-kata. Berita-berita yang ditulis para jurnalis bisa menimbulkan dampak negatif bagi pihak yang sedang diberitakan.
Karena itu tepat sekali bila Konferensi Media Islam Internasional yang diikuti 400 peserta ini merekomendasikan sebuah kode etik bagi jurnalis Muslim. Kode etik itulah yang akan memagari karya jurnalistik dari niat para peneror.
Namun jurnalis bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas tersebarnya teror kata-kata. Jangan lupa, di balik berita ada narasumber. Jurnalis tak akan bisa menulis tanpa ada narasumber.
Karena itu kepada para narasumber, khususnya ulama, rasanya tepat sekali ungkapan Wakil Presiden Boediono saat membuka konferensi tersebut untuk dijadikan acuan. Katanya, para ulama selayaknya bijaksana dalam bertutur kata.
Ya, ulama adalah narasumber jurnalis. Ulama yang bijaksana tak akan mengeluarkan tudingan tanpa bukti dan klarifikasi. Ulama yang bijaksana, serta jurnalis yang hati-hati, tak akan menimpakan musibah kepada suatu kelompok karena kecerobohan mereka.
Wallahu a’lam.

Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat