Minggu, 24 April 2011

Segera Bangkit dari Keterpurukan

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (al-Mukminun [23]: 115)


Saat sejumlah praktisi media Malaysia bertandang ke kantor Media Hidayatullah di Jakarta pertengahan Maret lalu, sebuah pertanyaan menarik mereka ajukan. ”Mengapa oplah media-media Islam di Indonesia kecil sekali dibanding jumlah penduduk Indonesia yang demikian banyak?”
Pertanyaan itu terdengar wajar manakala kita membandingkan rasio oplah media Islam dengan jumlah penduduk di Indonesia dan Malaysia.
Di Indonesia, hampir pasti tak ada media Islam yang beroplah melebihi 60 ribu eksemplar. Padahal, jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Sementara di Malaysia, oplah terbesar media Islam mencapai 150 ribu eksemplar per bulan. Padahal, jumlah penduduknya hanya 26,79 juta jiwa atau hampir 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Dalam hal kualitas sajian, sang praktisi media Malaysia ini mengaku, media Islam di Indonesia masih lebih baik. Atas alasan itu pula ia dan rekan-rekan praktisi media Islam dari Malaysia merasa perlu melakukan studi banding ke Indonesia.
Lalu, mengapa rasio oplah dan jumlah penduduk Indonesia sangat kecil? Jawabnya, karena daya beli masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak. Sampai akhir tahun 2010, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia yang terkategori miskin ---berpendapatan kurang dari Rp 7.500 per hari--- ada 31 juta jiwa.
Bahkan, bila kita mengacu pada kategori miskin menurut standar PBB ---berpenghasilan 2 dolar AS (atau sekitar Rp 18 ribu) per hari--- maka hampir setengah penduduk Indonesia terkategori miskin.
Karena itu tak mengherankan bila kemampuan penduduk Indonesia untuk membeli bahan bacaan bermutu masih sangat rendah. Jangankan untuk membeli bahan bacaan, menyekolahkan anaknya saja sudah tak ada biaya.
Lihatlah, angka putus sekolah di negara ini masih sangat tinggi! Menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 50 persen penduduk Indonesia hanya lulusan SD. Angka Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pun, pada akhir 2010 lalu, terjungkir di urutan 108, kalah jauh dibanding Malaysia yang menempati urutan 57.
Sebenarnya kita bisa segera bangkit sebagaimana Malaysia. Kita bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Kita bisa mengetaskan kemiskinan.
Perangkat yang kita punya sudah memadai. Ada Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Sosial, bahkan di seluruh propinsi dan kabupaten atau kota punya dinas dan instansi yang bergerak di bidang pengentasan kemiskinan.
Perusahaan swasta pun diwajibkan memiliki program CSR (corporate social responsibility). Perguruan tinggi negeri dan swasta diwajibkan memiliki program pengabdian pada masyarakat (PPM). Apa lagi yang kurang?
Lalu, mengapa sampai saat ini setengah dari penduduk Indonesia masih terpuruk? Sementara pada saat yang bersamaan –tepatnya di penghujung 2010— majalah Forbes merilis daftar 40 orang terkaya di Indonesia, yang total kekayaannya mencapai 71 miliar dollar AS.
Jika total kekayaan itu dibagi-bagikan kepada setengah penduduk Indonesia yang terkatagori miskin menurut PBB, maka selama lebih dari 100 tahun tidak akan ada lagi masyarakat Indonesia yang miskin menurut versi PBB.
Rupanya kita semua ---pemerintah dan masyarakat--- belum benar-benar serius untuk bangkit. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala tak membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Wallahu a’lam.


Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat