Heraklius pernah bernazar, "Jika Tuhan memberinya kemenangan, ia akan berjalan kaki menuju Yerusalem (Baitul Maqdis) untuk mengembalikan Relik Salib Suci (True Cross)." Nazar ini ia ungkapkan ketika Bizantium hampir runtuh karena serangan Persia.
Rupanya Romawi Timur benar-benar bisa menaklukkan Persia dalam pertempuran Nineveh tahun 627 M. Maka, pada tahun 630 M, Heraklius benar-benar melaksanakan nazarnya. Ia berjalan kaki ke Yerusalem dari kota Tiberias (tak jauh dari Palestina).
Ada pula yang berpendapat Heraklius berjalan dari Konstantinopel ke Yerusalem. Namun pendapat ini kurang logis karena jarak Konstantinopel ke Yerusalem sekitar 1.500 km, sangat jauh untuk seorang raja seperti Heraklius. Apalagi ia tak berjalan sendiri. Ia diiringi para pendeta dan sejumlah pasukan.
BACA JUGA: Bukti Kebenaran Surat Muhammad kepada Kisra
Ketika tengah berjalan dari Konstantinopel ke al-Quds, datanglah surat dari Rasulullah saw kepadanya. Surat tersebut dibawa oleh utusan Rasulullah saw bernama Dihya al Qalbi. Isinya seperti ini:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun; dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka. "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
Dalam beberapa riwayat seperti al-Ṭabarī, Ibnu Katsīr, dan al-Suyūṭī, dikisahkan bahwa setelah menerima surat tersebut Heraklius bermusyawarah dengan para pendeta, uskup, dan pembesar Romawi. Sebagian pendeta --yang disebut sebagai "alim besar dari Romawi” menyatakan bahwa ciri-ciri Muhammad ﷺ sesuai dengan nubuat para nabi terdahulu, sehingga meyakini beliau adalah utusan Allah. Bahkan, dalam riwayat yang lebih populer di kalangan ulama tafsir, disebutkan bahwa seorang pendeta atau uskup menegaskan kepada Heraklius, “Inilah nabi yang telah dijanjikan. Ia muncul di tanah Arab.”
Ada beberapa pendeta/uskup yang disebut-sebut dimintai pendapatnya oleh Heraklius setelah menerima surat dari Rasulullah saw. Salah satunya, Patriark Sofronius (Patriarch Sophronius, † 638 M), seorang teolog besar, pemimpin rohani Kristen tertinggi saat Heraklius berada di Syam. Dalam beberapa sumber Arab dan Kristen Timur, disebut bahwa Sofronius mengetahui nubuat tentang Nabi akhir zaman, dan dianggap salah satu tokoh gereja yang condong mengakui kerasulan Nabi ﷺ.
Ada pula beberapa riwayat tafsir dan kisah sirah yang menyebut nama Pendeta “Abu Rāfiʿ” atau “al-ʿĀlim ar-Rūmī”, seorang uskup besar Romawi. Heraklius dikisahkan mengundang uskup tersebut untuk menafsirkan isi surat Nabi ﷺ. Uskup itu menjawab bahwa Muhammad ﷺ adalah utusan Allah sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab mereka. "Inilah nabi yang telah dijanjikan. Ikutilah dia!" katanya.
Ada juga nama Patriark Modestus (Patriarch Modestus, 630 M). Ia menjadi Patriark Yerusalem sementara (617–630 M), saat Sofronius belum menjabat. Ia dikenal sebagai tokoh gereja yang menyambut Heraklius ketika Salib Suci dikembalikan ke Yerusalem. Beberapa ulama Muslim berpendapat Modestus inilah yang mendampingi Heraklius dalam perenungan atas surat Nabi ﷺ.
Kisah yang lain tentang Uskup Dhughāthir sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa sirah seperti al-Ṭabarī, Ibnu Katsīr, dan al-Suyūṭī. Dhughāthir langsung beriman kepada Nabi ﷺ setelah mendengar isi surat Rasulullah saw kepada Heraklius. Namun, ia dilawan dan dibunuh oleh kaumnya sendiri karena keimanannya itu.
Ketika kabar tentang Uskup Dhughāthir ini sampai kepada Heraklius, ia semakin khawatir akan penentangan rakyatnya kepada agama yang dibawa Rasulullah saw. "Beginilah nasib orang yang lebih berani dan aku dalam menyatakan kebenaran," ujarnya sebagaimana tertulis dalam al-Bidaayah wa an-Nihaayah. Jika seorang uskup saja bisa dibunuh oleh rakyatnya, apalagi seorang kaisar kalau terang-terangan masuk Islam.
Namun ketika Heraklius mengajak para pembesar kekaisaran untuk beriman, mereka tidak mau. Hanya sebagian pendeta dan unskup saja yang bersedia. Ia sendiri akhirnya menyembunyikan keyakinannya. Ia menghentikan diskusi terbuka tentang surat tersebut karena takut kehilangan dukungan politik.
Kisah yang lebih masyhur adalah tentang dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy yang saat itu masih musyrik. Kisah ini diutarakan dalam Shahih Bukhari (Kitab Bad’ul Wahy).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa setelah Heraklius menerima surat dari Rasulullah ﷺ ia memanggil kafilah dagang Bangsa Arab yang saat itu tengah berniaga di Negeri Syam untuk dimintai keterangan tentang Nabi ﷺ. Qadarallah yang dipanggil adalah Abu Sufyan dan rombongannya.
Setelah berdialog dan mendengar jawaban Abu Sufyan, Heraklius berkata, “Kalau yang kamu katakan benar, maka dia (Muhammad) benar-benar seorang nabi. Dan aku tahu dia akan menguasai bumi tempat kakiku berpijak ini.”
Heraklius sebenarnya sosok kaisar yang pintar. Ia paham bahwa suatu hari nanti akan datang seorang Nabi dengan ciri-ciri yang jelas. Bahkan, di tengah kecamuk perang antara Romawi dan Persia ketika itu, ia menanti-nantikan datangnya Nabi tersebut. Sayangnya, ketika Nabi yang dinanti-nantikannya benar-benar datang dan memberitahu jalan keselamatan kepadanya, ia justru mengingkarinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat