Tanpa terasa kita sudah berada di bulan Agustus, bulan yang penuh makna bagi bangsa Indonesia. Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa kita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemerdekaan adalah nikmat besar dari Allah yang patut kita syukuri. Namun, sebagai seorang Muslim, kita perlu merenungkan kembali: apa sebenarnya makna kata MERDEKA? Apakah sekadar terbebas dari penjajahan fisik oleh bangsa lain?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas atau tidak terikat. Lawan dari merdeka adalah terjajah, atau terbelenggu. Artinya, seseorang yang tidak merdeka berarti tidak bebas melakukan sesuatu karena ada yang membelenggu atau menjajahnya.
Umumnya, ketika kita meyebut kata terjajah, yang terbayang dalam pikiran kita adalah adanya kekuatan dari luar diri manusia yang menyebabkan ia tidak bebas. Contohnya, seseorang yang diancam atau dikurung, tentu tak bisa berbuat apa-apa atau bergerak ke mana-mana.
Tapi rupanya ada pula penjajahan yang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Bahkan, penjajahan jenis ini kerap luput dalam perhatian kita, padahal bahaya penjajahan jenis ini justru lebih besar.
Perhatikanlah manusia, ketika baru lahir, berada dalam keadaan fitrah. Hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya tetap dalam keadaan fitrah atau menyelisihi fitrah. Hal ini diungkap oleh Rasulullah saw. sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah r.a:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Mā min mawlūdin illā yūladu ‘ala al-fithrah, fa-abawāhu yuhawwidzānihi, aw yunashshirānihi, aw yumajjisānihi.
"Tiada seorang anak pun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi," (Riwayat Bukhari).
Namun, ketika sang anak sudah menginjak baligh, mampu berpikir secara kritis dan logis, orang tua bukan lagi menjadi satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan jiwanya. Ada lingkungan lain di sekitar sang anak yang justru lebih dominan. Apalagi, ia mulai memiliki keinginan. Dan, yang lebih berbahaya, ia mulai dipermainkan nafsu. Peran orang tua lama kelamaan menjadi semakin kecil.
Sebenarnya, manusia yang baligh memiliki kebebasan untuk berpikir. Seruan agar berpikiiir ini bahkan menjadi perintah pertama ang xitunkan Allah Ta'ala kepada Muhammad saw. di Gua Hiro. "Iqra!" (Bacalah).
Di dalam al-Qu'an, seruan agar manusia selalu menggunakan akal dan hati banyak sekali muncul. Beberapa bentuk seruan tersebut muncul dalam frasa yang berbeda dan berulang-ualng. Para ulama serta ahli tafsir merangkumnya menjadi sembilan jenis seruan, di antaranya Afala ta‘qilun yang berarti: Apakah kalian tidak berakal?. Ada juga Afala tatafakkarun, yang berarti: Apakah kalian tidak berpikir?
BACA JUGA: Mari Senantiasa Gunakan Akal dan Hati
Ini semua menunjukkan bahwa Islam memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk berpikir dan merenung. Sejatinya, kebebasan berpikir tersebut akan berujung pada pemahaman mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tak boleh, mana yang baik xan mana yang buruk. Lalu, pemahaman ini seharusnya akan disertai dengan perbuatan (amal) yang selaras dengan pemahaman tadi.
Tapi sayangnya, hawa nafsu telah mengekang manusia untuk tidak berbuat sebagaimana buah pikirnya. Hawa nafsu telah mengikat manusia untuk memilih perbuatan yang bertentangan dengan akal dan hatinya. Inilah penjajahan jenis kedua yang tadi telah disebutkan. Penjajahan jenis ini menjadikan kita jauh dari fitrah manusia, yakni Islam.
Salah satu kisah masyur bagaimana hati manusia masih terjajah meskipun akalnya sudah bebas berpikir adalah kisah Kaisar Heraclius, sang pemimpin Imperium Romawi, imperium terbesar di dunia kala itu.
Heraklius adalah sosok kaisar yang pintar. Ia paham bahwa suatu hari nanti, akan datang seorang Nabi dengan ciri-ciri yang jelas, dan ia bersama para pendeta yang mengelilinginya percaya akan hal itu. Bahkan, di tengah kecamuk perang antara Romawi dan Persia ketika itu, ia menanti-nantikan datangnya Nabi tersebut.
Ketika Heraklius berhasil mengalahkan Persia pada tahun 627 M, ia menepati nazarnya untuk berjalan kaki dari Konstantinopel ke Baitul Maqdis. Di tengah perjalanan di Negeri Syam, datanglah surat dari Rasulullah saw kepadanya. Isinya sangat jelas, meminta Heraklius agar beriman kepada Allah.
Heraklius bertanya kepada pendeta yang menyertai perjalanannya dari Konstantinopel ke Baitul Maqdis, siapa orang yang berkirim surat ini? Sang pendeta bercerita bahwa telah menjadi buah bibir masyarakat tentang datangnya Nabi baru dengan ciri yang sangat jelas. Pendeta itu berkata, "Dialah nabi yang kita tunggu-tunggu kedatangannya selama ini. Aku sendiri akan mengikutinya."
Rupanya Heraklius masih ingin mencari tahu siapa penulis surat tersebut. Maka, ia meminta agar surat yang akan diserahkan kepadanya, diserahkan terlebih dahulu kepada Uskup Dhughaathir, uskup besar di wilayah Romawi Timur. Heraclius punya alasan mengapa surat tersebut harus dibaca oleh Uskup Dhughaathir. "Ia lebih 'alim dariku. Ia lebih tahu tentang Nabi yang akan datang ini," kata Heraclius sebagaimana diungkap dalam kitab karya Ibnu Katsir, al-Bidaayah wa an-Nihaayah.
Rupanya, setelah menerima surat dari Rasulullah saw, Uskup Dhughaathir langsung mengimaninya. Bahkan, ia menyatakan ke-Islam-annya kepada para pengikutnya. Iini menyebabkan para pengikutnya marah dan membunuh Uskup Dhughaathir.
Ketika kisah ini sampai ke telinga Heraklius, dia berkata, "Beginilah nasib orang yang lebih berani dan aku dalam menyatakan kebenaran," sebagaimana tertulis dalam al-Bidaayah wa an-Nihaayah. Jelas terlihat bahwa Heraklius, sang kaisar, tak berdaya menghadapi penjajahan hawa nafsu atas hati dan akalnya.
Sebagai langkah pamungkas, Heraklius memanggil para pedagang Arab yang ketika tengah berniaga di Negeri Syam. Qadarullah, orang yang dipanggil tersebut adalah Abu Sofyan, pemimpin kaum Quraisy, orang yang nasabnya dekat dengan Rasulullah.
Setelah berdialog dengan Abu Sufyan, Heraklius berkata "Jika apa yang kamu katakan itu benar, maka dia akan menguasai tempat yang ada di bawah kedua kakiku saat ini. Aku tahu dia akan muncul, tetapi aku tidak menyangka dia berasal dari kalangan kalian.”
Jika Heraklius, sang kaisar, penguasa nomor satu Romawi, imperium paling besar di dunia saat itu, tak mampu melepaskan jiwanya dari penjajahan nafsu, apalah lagi kita manusia biasa. Namun, beruntunglah kita yang di siang Jumat ini, masih dijaga oleh Allah untuk tetap berada di jalan fitrah, jalan keselamatan, jalan Islam.
Semoga kita terhindar dari penjajahan nafsu sebagaimana terjadi pada Heraklius. *
(Disampaikan dalam khutbah Jumat di Masjid An-Nahl, Tanah Baru, Beji, Depok pada 8 Agustus 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat