Rabu, 15 November 2023

Mengoreksi Adab Bahasa Jurnalistik

Suatu ketika saya pernah diprotes pembaca. Dalam sebuah karya jurnalistik yang saya buat, saya tidak memberi embel-embel "kyai" atau "ustadz" pada nama seseorang yang dianggap tokoh. Saya langsung menulis namanya, di judul pula!


"Kurang adab kepada orang-orang yang berilmu." Begitu protes seseorang kepada saya. Saya tidak menerima langsung protes tersebut. Seorang sahabat yang memberitahu kepada saya.

Saya lalu mengajak sahabat itu berselancar ke beberapa media nasional. Saya ajak dia melihat bagaimana media-media nasional menuliskan nama Kyai Ma'ruf Amin, Wakil Presiden RI, di judul mereka. 

Ternyata media-media yang telah terstandar Dewan Pers tersebut langsung menulis "Ma'ruf Amin" tanpa embel-embel kyai, atau kyai haji, atau ustadz. Padahal, kurang apa pada diri seorang Kyai Ma'ruf? Beliau ulama senior di Nahdlatul Ulama, bahkan ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Beliau juga seorang wakil presiden, orang kedua tertinggi di negara ini.

Tapi, adakah yang protes dengan judul berita-berita tersebut? Adakah yang menyebut sang wartawan "kurang adab?" Tentu tidak! Sebab, standar penulisan dalam bahasa jurnalistik, ya begitu. Seorang presiden dan seorang ketua RT sama saja. Tak ada embel-embel "Pak" di depan namanya.

Mungkin saja orang-orang akan bertanya, mengapa bahasa jurnalistik harus menggunakan standar seperti itu? Jawabnya simpel, supaya tidak ada unsur subjektivitas saat menulis. 

Sebagai contoh, jika terhadap orang-orang berilmu kita harus menulis kata "kyai" atau "ustadz" di depan namanya, maka apa standarnya seseorang disebut berilmu? Tentu jawabnya akan subjektif. Begitu juga jika seorang tokoh harus dikasih embel-embel "pak" di belakang namanya, maka apa standarnya seseorang disebut tokoh? Lagi-lagi jawabnya akan subjektif.

Di sisi lain, bahasa jurnalistik adalah bahasa publik, bukan bahasa kelompok. Bahasa jurnalistik berbeda dengan bahasa santri. Bahasa jurnalistik juga berbeda dengan bahasa ilmiah. Dalam bahasa jurnalistik, efektivitas dalam penulisan menjadi sesuatu yang penting. Lagi pula penyebutan pak, kyai, nyai, atau ustadz, seringkali menimbulkan gap (kesenjangan) antara pembaca dan narasumbernya. 

Lembaga, Bukan Perorangan

Dulu, saya pernah bertanya-tanya, mengapa Dewan Pers mensyaratkan status perusahaan atau koperasi pada media yang menerbitkan karya pers? Mengapa sebuah karya yang memenuhi kode etik jurnalistik tak terdefinisi sebagai karya jurnalistik hanya karena media yang memuatnya bukan berupa perusahaan atau koperasi?

Lama-lama saya menjadi paham bahwa karya jurnalistik pada prinsipnya bukanlah karya perorangan, namun karya sebuah lembaga bernama redaksi media. Karena itulah ketika seorang jurnalis tidak menyebut kata ustadz atau kyai pada nama guru ngajinya ketika sang guru ngaji menjadi narasumbernya, maka hal itu bukan karena ia kurang adab. Itu karena karya yang ia tulis sejatinya bukan karya dia semata, namun karya lembaga pers di tempat ia bernaung yang memiliki aturan dalam penulisan.

Adapun lembaga pers yang menaungi para jurnalis ini seharusnya bukan lembaga asal-asalan, namun lembaga yang paham soal etika jurnalistik dan mau menerapkan sanksi kepada jurnalis yang melanggar kode etik tersebut. 

Teknologi Mengubah Adab

Kembali kepada persoalan adab. Harus kita akui bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini memang telah mengubah adab masyarakat, terutama dalam hal berkomunikasi. Mengapa? Karena saat ini semua masyarakat yang memegang smart phone adalah wartawan. Ia bisa memublikasikan karya yang ia buat.

Di sisi lain, tak ada etika yang mengatur soal konten publikasi yang mereka buat. Mereka bebas bicara apa saja. Mereka bersuara atas nama diri sendiri, bukan lembaga atau perusahaan pers. Mereka tak khawatir ditegur, dipecat, atau dikenakan sanksi. Toh mereka tak terikat oleh lembaga apa pun.  

Selagi tak ada yang mau menyeret mereka ke meja hijau, ya terus saja. Fitnah dibalas fitnah, cacian dibalas cacian, bersahut-sahutan! Karena itulah perlakuan kurang adab di media sosial menjadi sangat marak di era digital sekarang ini, jauh lebih parah ketimbang sekadar tak adanya sebutan "pak, ustadz, atau kyai" di depan nama orang-orang yang kita hormati.

Teknologi benar-benar telah mengubah adab kita! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat