Merdeka artinya bebas dari penghambaan, pengekangan, dan penjajahan. Lawannya adalah terjajah atau terkekang.
Merdeka bukan sekadar kita bebas mengibarkan bendera merah putih. Merdeka artinya kita berdaulat. |
Tidak merdeka tentu saja tidak enak. Orang yang kemerdekaannya dirampas, tak akan bisa bebas melakukan banyak hal. Ia tak bisa melakukan apa yang ia yakini, tak bisa juga mendapatkan apa yang ia sukai.
Dulu, bangsa Indonesia terjajah. Ketika itu kita tak bisa mengatur negeri kita sendiri. Kita tak leluasa bergerak. Bahkan, sekadar bersuara pun, kita tak boleh. Moncong senjata Kompeni akan langsung diarahkan ke kita agar kita diam. Saat itu kita tak berdaulat.
Lalu para pejuang tampil ke depan. Mereka melawan dengan senjata seadanya. Jika ada bambu runcing, maka senjata itulah yang mereka pakai untuk tampil ke gelanggang perang. Mereka tak ingin bangsanya dijajah. "Kami cinta perdamaian, tapi lebih mencintai kemerdekaan." Begitulah kata Panglima Besar Jendral Soedirman ketika itu.
Sejumlah wilayah di Indonesia berhasil dibebaskan dari penjajah walau sesaat. Sebutlah, misalnya, Yogyakarta. Pertempuran sengit antara para pejuang Republik Indonesia dengan tentara Belanda yang dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret (1949), berhasil mengusir penjajah dari wilayah itu.
Begitu juga di Surabaya. Takbir yang diteriakkan Bung Tomo mampu memompa semangat masyarakat Surabaya dan sekitarnya untuk melawan penjajah Inggris yang ketika itu hendak merebut kembali Indonesia. Bumi Surabaya berguncang. Para penjajah akhirnya bisa diusir dari tanah Surabaya.
Penjajahan pernah pula dialami oleh Rasulullah saw bersama kaum Muslim yang mengikuti beliau. Ketika Rasulullah saw mulai berdakwah secara terang-terangan di Makkah, maka sejak itu pula gangguang datang bertubi-tubi. Penyiksaan demi penyiksaan harus dialami kaum Muslim yang mempertahankan keyakinannya.
Bilal bin Rabah, salah seorang budak berkulit kelam yang kemudian menjadi sahabat terbaik Rasulullah SAW, disiksa oleh majikannya sendiri. Ia dijemur di tengah gurun pasir yang panas selama berhari-hari. Perutnya ditindih batu besar dan lehernya diikat tali.
Begitu juga keluarga Yasir, budak dari Bani Makhzum. Dalam sejarah Islam, keluarga Yasir adalah contoh kaum lemah yang amat sabar menerima segala siksaan dari kaum kafir Quraisy.
Rasulullah SAW pernah melintas di depan keluarga Yasir yang sedang disiksa. Beliau ketika itu tak kuasa membantu keluarga itu. Beliau hanya bisa berkata kepada keluarga Yasir, sebagaimana dikisahkan oleh Ahmad dalam al-Musnad dan Hakim al-Naisaburi dalam al-Mustadrak, "Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga."
Ketika itu, Rasulullah saw tidak berusaha melawan. Bahkan, ketika jumlah kaum Muslim perlahan-lahan mulai membanyak, dan sejumlah tokoh berpengaruh juga ikut menjadi Muslim, Rasulullah saw tetap tak mau melawan. Mengapa? Karena perintah untuk berperang dari Allah Ta'ala ketika itu memang belum turun.
Bahkan, ketika kaum kafir Quraisy hampir kewalahan memadamkan dakwah Rasulullah saw di Makkah, mereka sempat menawarkan kepada beliau kekuasaan, sesuatu yang seharusnya bisa menjadi modal utama untuk merdeka. Bahkan, bukan sekadar kekuasaan, juga harta yang banyak.
Tersebutlah dalam sejarah, sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa pada suatu hari salah seorang pemuka Quraisy, Utbah bin Rabi'ah, yang juga terbilang paman bagi Rasulullah saw, menghampiri Rasulullah saw yang sedang duduk di Masjidil Haram sendirian.
Utbah berkata, "Wahai anak saudaraku, engkau termasuk golongan kami. Dari segi keluarga dan keturunan, aku juga tahu kedudukanmu. Engkau telah membawa satu urusan yang besar kepada kaummu, yang dengan urusan itu engkau memecah belah persatuan mereka, memupuskan harapan mereka, mencela sesembahan mereka, dan mengingkari golongan leluhur mereka. Sekarang dengarkanlah, aku akan menawarkan beberapa hal kepadamu dan engkau bisa memeriksanya, siapa tahu engkau mau menerima sebagian di antaranya.''
Rasulullah SAW menjawab, ''Katakanlah Utbah, biar kudengarkan.''
''Wahai anak saudaraku, jika engkau menginginkan harta kekayaan sebagai pengganti apa yang engkau bawa ini (Islam), maka kami siap menghimpun harta kami untukmu. Jika engkau ingin kedudukan, maka kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami. Jika engkau ingin kerajaan, maka kami siap mengangkatmu sebagai raja kami.''
Rasulullah SAW kontan menolak semua yang ditawarkan Utbah. Namun, kaum Quraisy belum berputus-asa. Beberapa tawaran lain mereka sodorkan kepada Rasulullah, di antaranya kaum kafir Quraisy siap meninggalkan sebagian dari apa yang ada pada diri mereka, dan begitu pula Rasulullah SAW, mereka minta untuk meninggalkan sebagian dari Islam.
Tawaran ini digambarkan dalam al-Qur'an surat Al-Qalam [68] ayat 9:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
wadduu lau tud-hinu fa yud-hinuun
"Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula)."
Lagi-lagi Rasulullah saw menolak tawaran ini. Bahkan, setelah berkali-kali kaum kafir Quraisy memberi tawaran, Rasulullah saw pun membuat pernyataan tegas kepada Utbah, "Wahai Paman, Demi Allah, kalaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (menyampaikan risalah) sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya.”
Begitulah keteguhan Rasulullah saw. Rupanya, kemerdekaan yang diinginkan Rasulullah saw bukanlah kemerdekaan yang diberikan dengan syarat. Tak ada gunanya merdeka tapi tidak berdaulat.
Kemerdekaan yang diinginkan Rasulullah saw adalah kemerdekaan yang benar-benar merdeka. Dan, kemerdekaan seperti itu harus diperjuangkan oleh Rasulullah saw lewat sebuah fase yang harus beliau lalui. Fase itu bernama "hijrah".
Lalu, atas petunjuk Allah Ta'ala, Rasulullah saw dan kaum Muslim di Makkah pergi ke Madinah secara bergelombang dan diam-diam. Mereka hijrah ke Madinah bukan karena takut, bukan pula karena menyerah kalah. Ini semua karena petunjuk Ilahi. Pada saatnya, mereka akan pulang untuk memerdekakan tanah airnya dari kejahiliahan.
Memang benar! Delapan tahun kemudian, atau tahun ke-8 hijriah, Makkah berhasil dibebaskan oleh kaum Muslim tanpa darah tertumpah. Saat itu, Rasulullah berpidato dengan mengutip surat al-Hujarat [49] ayat 13.
يٰٓأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَأُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقٰىكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
yaaa ayyuhan-naasu innaa kholaqnaakum ming zakariw wa ungsaa wa ja'alnaakum syu'uubaw wa qobaaa`ila lita'aarofuu, inna akromakum 'ingdallohi atqookum, innalloha 'aliimun khobiir
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."
Mari kita isi kemerdekaan Bangsa Indonesia yang telah diproklamasikan sejak 79 tahun yang lalu ini dengan terus berjuang, sehingga kita bisa menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, bukan negara yang tergantung kepada pihak lain.
Wallahu a'lam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat