Selasa, 15 Agustus 2023

Meng-Qur'an-kan Nusantara dari Rumah-rumah Sederhana

Bila mendengar kata "jihad", apa yang Anda bayangkan? Pernahkah terbayang dalam benak Anda emak-emak yang sedang berkumpul di sebuah ruangan ber-AC?

Muhammad Agung Tranajaya sedang memberi arahan di salah satu RQH di Trenggalek, Jawa Timur.

Yup!
Sebagian dari kita mungkin tertawa bila ada yang mencoba menghubungkan dua hal itu. Sebab, di ruang ber-AC yang sejuk, mana mungkin ada suara desingan peluru, atau derap kaki kuda di jalan-jalan berdebu, atau rintihan kesakitan orang yang terkena besi bermesiu.

Kalau pun ada yang bisa dilihat atau didengar, paling air putih segar yang terhidang di dalam botol kemasan dan siap diteguk kapan saja, ditimpali oleh suara emak-emak yang bersahut-sahutan. 

Tapi jangan keliru. Pertengahan Juli 2023, penulis benar-benar melihat emak-emak tengah serius mempersiapkan jihad di dalam ruangan ber-AC. Pemandangan itu penulis jumpai di sebuah rumah di Jalan Raya Trenggalek Ponorogo km 03, Karangan, Jawa Timur.

Di tangan mereka memang tak ada senjata AK 47 atau pistol glock 17 yang dipakai Sambo menghabisi anak buahnya. Yang ada hanya buku tentang cara belajar membaca al-Qur'an yang benar. Kelak, setelah mereka menguasainya, mereka diminta mengajarkan kepada emak-emak yang lain tentang hal yang sama. Begitulah seterusnya.

"Allah menyerukan kepada kita untuk melakukan jihad yang besar, yakni berjihad dengan al-Qur'an," jelas Muhammad Agung Tranajaya, Ketua Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Quran (atau GranD MBA) Hidayatullah, mengutip makna dari al-Qur'an surat al-Furqon [25] ayat 52.  

Ayat tersebut berbunyi, yang artinya: Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (al-Qur'an) dengan perjuangan (jihad) yang besar.

"Jadi ketahuilah kita ini sedang berjihad," jelas Agung lagi di hadapan emak-emak berjilbab lebar tersebut.

Rumah tempat emak-emak itu belajar dinamai Rumah Qur'an Hidayatullah atau biasa disingkat RQH. Di Trenggalek, jumlah RQH tak hanya satu, tapi ada lima. Terakhir, diresmikan pemakaiannya pada awal Agustus 2023 lalu.

Dalam satu RQH, ada tiga sampai empat kelompok belajar. Sedang dalam satu kelompok belajar berisi 15 peserta. Saat ini, kata Agung, secara keseluruhan di Indonesia sudah ada 1.088 RQH dengan jumlah santri lebih dari 29 ribu orang. Jumlah ini akan terus bertambah seiring kian membesarnya gerakan ini.

Lalu bagaimana awal mula munculnya Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Quran ini? Bagaimana konsepnya dan apa yang diharapkan dari gerakan ini? Bagaimana pula jika ada yang ingin ikut serta dalam gerakan ini? Ingin tahu lebih jauh? Mari kita lanjutkan cerita ini.


Belajar dari RQH Trenggalek

Kita awali kisah ini pada tahun 2010. Ketika itu Ust Said Mukmin, dai Hidayatullah asal Ngawi, Jawa Timur, menerima tugas berdakwah ke Trenggalek, Jawa Timur. Dai muda kelahiran 1976 ini memulai gerakan dakwahnya dengan hal sederhana, yakni mengajar cara membaca al-Qur'an yang baik dan benar. 

Para santri dewasa di salah satu RQH di Trenggalek.

"Kami ingin masyarakat ini (bacaan) Qur'annya bagus," kata Said saat dihubungi penulis pada pertengahan Juli 2023.  Jika bacaannya sudah bagus, maka pembinaan selanjutnya tidak akan sulit. Sebab, mereka sudah dekat dengan al-Qur'an.  

Saat itu konsep RQH belum ada. Begitu pula Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al Quran, masih sederhana dan belum disosialisasikan secara luas. Sasaran dakwah Said pada awalnya adalah anak-anak. Tentu saja Said tidak menemukan kesulitan karena ketika itu Hidayatullah Trenggalek sudah memiliki madrasah.

Tahun 2012, Said mengirim anak-anak didiknya untuk ikut MTQ se-Jawa Timur. "Alhamdulillah anak-anak kami tembus sampai tingkat provinsi," cerita Said. 

Sejak saat itu, Said dan madrsah Hidayatullah semakin dikenal masyarakat. Bahkan, para wali murid berencana membuka pesantren tahfidz agar kegiatan belajar dan mengajar al-Qur'an lebih formal. 

Said tentu menyambut baik rencana ini. Ia segera merumuskan kurikulum dan aturan belajar. Bahkan, untuk membantu biaya operasional, para orang tua tak keberatan dipungut biaya.

"Kami ingin pesantren tahfidz ini tidak dibuat seadanya. Kami ingin profesional. Ada kurikulumnya, ada targetnya, ada standarnya, dan berbayar," jelas Said.

Rupanya peminat pesantren ini tak hanya murid madrasah Hidayatullah. Masyarakat sekitar juga banyak yang memasukkan anaknya untuk belajar di pesantren ini. Bahkan, kata Said, ada anak yang berasal dari kecamatan tetangga.  

Setelah itu, permintaan mengajar tahsin al-Qur'an mulai berdatangan dari beberapa masjid. Ada yang satu kali dalam sepekan, ada pula yang dua kali. Permintaan bahkan datang juga dari perumahan di sekitar tempat itu. 

Banyaknya permintaan ini membuat Said harus mengatur waktunya agar semua bisa terlayani dengan baik. Pagi ia mengajar di pesantren, sore sampai malam ia mengajar di masjid-masjid dan perumahan.

Namun, Said merasakan ada hal yang kurang sempurna saat mengajar jamaah masjid atau warga perumahan. Mengajar Qur'an di masjid dan perumahan, kata Said, tak seketat di pesantren. Di masjid, tak ada target dan tak ada kurikulum. Peserta bisa datang dan pergi begitu saja. Pembinaan menjadi tidak tuntas!

Karena itu, Said menawarkan kepada jamaah masjid untuk ikut dalam program belajar Qur'an bertarget. "Kalau selama ini bapak-bapak belajar bertahun-tahun, tapi gak ada target, kami tawarkan bagaimana kalau ikut belajar Qur'an ala santri. Tidak lama lagi kami akan membuka Rumah Qur'an. Bapak-bapak bisa belajar di sana," kata Said.

Para santri akan dibagi dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri atas 15 orang. Santri baru tak boleh bergabung di tengah jalan. Ia harus ikut sejak awal. 

Said merancang jumlah pertemuan untuk masing-masing kelompok ada 108 kali. Dalam sepekan, ada dua kali pertemuan. Jadi, diperkirakan, selama 1 tahun selesai. Namun, para santri harus ikut dari awal hingga tuntas.

Tawaran untuk mendirikan Rumah Qur'an Hidayatullah (RQH) ini rupanya didengar juga oleh para wali murid di madrasah Hidayatullah. Mereka justru lebih bersemangat menyambut ajakan untuk mendirikan Rumah Qur'an ini. 

"Kami katakan kepada mereka, RQH akan kami buka kalau pesertanya sudah cukup dan tempatnya ada," kata Said. Rupanya, dalam waktu delapan jam setelah diumumkan, langsung terbentuk dua kelompok, lengkap dengan tempat belajar berupa sebuah kantor yang kosong.

Pada November 2021, RQH pertama di Trenggalek resmi berdiri. Biaya pendaftaran Rp 100 ribu, sedang biaya pembelian peralatan mengaji seperti meja dan kursi Rp 1 juta per peserta. Adapun iuran bulanan Rp 100 ribu.  "Ada juga yang membayar lebih," jelas Said.

Said Mukmin tengah mengajar di salah satu RQH di Trenggalek

Dalam dua pekan setelah dibuka, langsung terbentuk 5 kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah 15 orang, dan dalam satu pekan dua kali pertemuan. Kelompok ibu-ibu belajar sore, sedang bapak-bapak belajar malam. 

Beberapa bulan setelah RQH pertama berdiri, salah seorang peserta menawarkan agar rumahnya dijadikan RQH juga. Lalu terbentuklah RQH kedua. 

Bahkan, di RQH kedua ini, semua peralatan disediakan oleh pemilik rumah. Pengajar di RQH kedua ini adalah santri-santri di RQH pertama yang mulai mahir membaca Qur'an.  

Setelah itu terbentuk juga RQH ketiga. Seorang wali murid, cerita Said, ingin rumahnya dijadikan RQH. Begitulah seterusnya hingga terbangun 5 RQH di Trenggalek. "Sekarang seluruh murid di RQH ada 135 orang," jelas Said. Adapun TPA tetap berjalan dengan jumlah santri mencapai 145 orang.

Secara keseluruhan di Jawa Timur, telah ada 64 RQH, ditambah 30 MQH (Majelis Qur'an Hidayatullah). Jumlah ini tentu akan terus bertambah seiring kian banyaknya masyarakat yang ingin belajar dan mengajar al-Qur'an di provinsi ini.


Dari Rumah Hantu Menjadi Rumah Qur'an

Awalnya, rumah dua lantai yang terletak di jalan Watu Lawang Timur II no 23, Papandayan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah itu menakutkan. Cerita-cerita angker kerap datang dari rumah itu.

"Dulu rumah itu sepi sekali," cerita seorang warga yang tinggal di sekitar rumah itu. "Setiap cucu saya lewat selalu menangis," cerita warga itu lagi kepada dai muda Hidayatullah, Robiul Ngalim. 

Robiul Ngalim, guru sekaligus pendiri RQH Al-Fath, Semarang.

Robi lalu berinisiatif mengubah rumah angker itu menjadi Rumah Qur'an. Awalnya, dai muda kelahiran tahun 1994 ini mendatangi sejumlah tokoh masyarakat di sekitar tempat itu. "Saya minta restu dan minta doa kepada mereka," jelas Robi.

Setelah masyarakat sekitar merestui, "rumah angker" itu pun ia bersihkan dan ia sulap menjadi tempat belajar al-Qur'an. Namanya Rumah Qur'an Hidayatullah (RQH) Al-Fath.

Luas lahan RQH Al-Fath sekitar 500 meter persegi. Masih ada sedikit lahan kosong di bagian depan. Sebuah gazebo kecil berdiri di salah satu pojok lahan.  

Menurut Robi, sebelum berdirinya RQH Al-Fath, dakwah kepada masyarakat di wilayah itu tidak mudah. Ada kultur yang terasa berbeda.

Namun, setelah RQH berdiri, dakwah menjadi lancar. Menurut Robi, mengajarkan al-Qur'an tidak menimbulkan resistensi. "Alhamdulillah, al-Qur'an menjadi wasilah bagi kami untuk berdakwah di tengah masyarakat," jelas pria kelahiran Blora, Jawa Tengah ini.

Setelah RQH berdiri tahun 2020, Robi mempromosikan programnya lewat stutus WhatsApp (WA). "Alhamdulillah datang satu anak yang ingin diajari mengaji," cerita Robi mengenang masa lalunya. Anak tersebut masih duduk di kelas 3 SD.

Robi mulai mengajar anak tersebut setiap bakda magrib. Meskipun hanya satu anak, Robi tetap bersemangat mengajarinya. Keadaan seperti ini bahkan berjalan hampir satu bulan. Setelah itu baru datang satu murid lagi.
 
Lama-lama kedua anak yang sudah diajari mengaji oleh Robi ini bercerita kepada teman-temannya. Orang tua kedua anak ini juga merasa sangat senang melihat kemajuan anak-anaknya dalam mengaji. Ini yang membuat santri baru mulai berdatangan. Apalagi setelah ada santri yang hafal 1 juz.

Para santri ini tidak bermukim di RQH. Mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap sore mereka datang ke RQH dan pulang ketika menjelang magrib. 

Bahkan, ada santri yang tinggal di kecamatan lain. Waktu tempuh dari rumahnya menuju RQH mencapai 45 menit. Namun, ia rajin datang setiap sore ke RQH Al-Fath. 

Ada santri yang mata kirinya sudah tidak bisa melihat sama sekali, sedang mata kanannya kabur. Usianya sekitar 12 tahun. Rumahnya tak begitu jauh dari RQH Al-Fath. 

Setiap sore ia datang berjalan kaki untuk mengaji. "Alhamdulillah, sekarang dia sudah hafal 5 juz dan 100-an hadits," kata Robi

Ada juga santri yang tuna rungu. Semangat belajarnya tinggi. Hafalannya kini sudah hampir selesai juz 30.

Awalnya, cerita Robi, santri yang belajar di RQH ini anak-anak usia SD. Padahal, sasaran yang diinginkan adalah para orang tua. 

Pada suatu kesempatan, Robi berkata kepada para orang tua bahwa semangat mengaji anak-anak harus didukung oleh mereka. Caranya, mereka juga harus belajar mengaji, sama seperti anak-anak mereka. 

"Syukurlah para orang tua bersedia ikut mengaji," jelas Robi. Mereka belajar mengaji setiap hari Sabtu dan Ahad. Sementara anak-anak belajar setiap sore pada hari Senin hingga Jumat.

Kini, jumlah keseluruhan santri yang belajar di RQH Al-Fath, baik anak-anak maupun orang tua, ada 90-an. Adapun jumlah pengajar 5 orang, terdiri atas 3 perempuan dan 2 laki-laki. 

Sebagian besar para pengajar diikutkan daurah mualim di Pesantren Hidayatullah Semarang, Jawa Tengah. Selain itu, mereka dibina setiap dua pekan sekali. 

Untuk materi, selain tahsin dan terjemah, Robi juga mengajarkan tahfidz (hafalan) dan bahasa Arab.  Bagi santri yang baru masuk, harus mengikuti masa i'dad (persiapan) selama 6 bulan. Di masa ini, mereka akan diajar mengaji iqra 1 sampai 6. Setelah itu mereka masuk kelas pra al-Qur'an. Setelah lancar, baru masuk kelas al-Qur'an atau tahfidz dewasa.

Tahun 2022, Robi pernah mengikutkan para santri RQH Al-Fath dalam olimpiade pengetahuan umum dan agama tingkat Kota Semarang. Yang mengejutkan, para santri RQH Al-Fath tak sekadar menyabet juara 1 lomba tahfidz, tapi juga juara 1 lomba matematika dan bahasa Inggris.

Rupanya, istri Robi pernah mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar di Kota Semarang. Pengalaman mendidik anak-anak inilah yang ia terapkan di RQH Al-Fath. 

RQH Al-Fath, Semarang

Soal biaya belajar, jelas Robi lagi, tidak dikasih patokan. Sebab, ada orang tua yang dhuafa, ada juga yang mampu. Ada yang berprofesi sebagai polisi, pegawai negeri, atau wirausaha. 

Jadi, Robi mempersilahkan para orang tua memilih apakah mau membayar Rp 50 ribu per bulan atau lebih. Ternyata, ada juga yang membayar Rp 100 ribu, bahkan ada l yang  Rp 200 ribu per bulan. 

Seluruh uang yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RQH, termasuk gaji para guru. "Alhamdulillah selama ini mencukupi," jelas Robi.

Tadinya, cerita Robi, jumlah pengajar ada 6 orang. Namun, satu orang ditugaskan untuk membuka RQH kedua yang terletak agak jauh dari RQH Al-Fath. Sama seperti sebelumnya, rumah yang dijadikan RQH kedua ini juga angker.

"Rumah itu milik (seorang) polisi yang bertugas di sini. Rumahnya sudah lama kosong, letaknya di pojokan, rumput dan alang-alang sudah tinggi," cerita Robi.

Awalnya, sang pemilik minta agar rumah itu ditempati dulu seraya dibersihkan. Setelah itu, barulah digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar Qur'an.   

Kedua RQH yang didirikan Robi dan para guru mengaji di Kota Semarang ini hanyalah sedikit dari seluruh RQH di Jawa Tengah yang jumlahnya mencapai 45 ini. Bahkan, selain RQH, juga ada 30 Majelis Qur'an Hidayatullah di Jawa Tengah.

Jumlah ini, lagi-lagi, akan terus bertambah. Demikian juga jumlah RQH di provinsi-provinsi yang lain. Pada saatnya kelak, lewat rumah-rumah sederhana ini, Qur'an akan menggema di seluruh Nusantara. Insya Allah.


Bukan Sekadar Kursus Mengaji

Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Qur'an, atau GranD MBA, pertama kali tercetus saat Musyawarah Nasional Hidayatullah ke-2 di Asrama Haji, Jakarta, tahun 2005. 

Agung Tranajaya saat memberikan pembekalan di RQH Trenggalek

Awalnya, jelas Muhammad Agung Tranajaya, ketua Grand MBA, gerakan ini hanya menerjemahkan al-Qur'an lafdziyyah dan tafsiriyyah. 

Namun, pada tahun 2012, PosDai Pusat menyempurnakan konsep gerakan ini, lalu menggelar pelatihan-pelatihan untuk para guru dan istruktur di sejumlah daerah.

Mengapa gerakan ini dinakaman Grand MBA? "Ini bukan tanpa sebab. Kita mengambil pelajaran dari Firman Allah di surat Ali Imran (surat ke 3) ayat 79," kata Agung lagi.

Ayat tersebut berbunyi, yang artinya: Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, "Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah," tetapi (dia berkata), "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah (Rabbani), karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!"

Generasi Rabbani, sebagai mana disebutkan dalam ayat di atas, kata Agung, hanya bisa dibangun lewat kegiatan mengajarkan (tu'alimu) dan mempelajari (tadrasun) al-Qur'an.

Dalam ayat di atas, kata "mengajarkan" ditulis lebih dulu dibanding "mempelajari" atau "belajar". "Ini hikmahnya luar biasa," jelas Agung. 

Jika kita ingin menguasai suatu ilmu maka ajarkanlah ilmu itu. Bila kita sudah mengajarkannya maka Allah Ta'ala akan membukakan pemahaman kepada kita. Tapi jika kita menahan ilmu itu maka Allah Ta'ala tidak akan membukakannya.

Wujud dari Grand MBA ini, jelas Agung lagi, adalah Rumah Qur'an Hidayatullah (RQH) dan Majelis Qur'an Hidayatullah (MQH). Rumah Qur'an adalah rumah yang dijadikan tempat pelaksanaan GranD MBA, sedang Majelis Qur'an pada dasarnya mirip dengan Rumah Qur'an, hanya saja pelaksanaannya bukan di rumah, tetapi di masjid, perkantoran, kebun, bahkan pasar. Jumlah Majelis Qur'an Hidayatullah di seluruh Indonesia hingga kini, jelas Agung, memcapai 428

Spirit dari gerakan mengajar dan belajar Qur'an ini adalah dakwah. Ini yang harus dijaga oleh semua pengajar. "RQH bukan tempat kursus. RQH adalah tempat untuk menjalankan gerakan dakwah mengajar dan belajar al-Qur'an. Tujuan akhir dari gerakan ini adalah terbangunnya peradaban Islam," kata Agung.

Membangun peradaban Islam, jelas Agung lagi, tidak mungkin jauh dari al-Qur'an. Sebab, masyarakat yang berperadaban Islam adalah masyarakat yang hidup terbimbing dan terpimpin di bawah naungan al-Qur'an.

Cikal bakal berdirinya RQH, jelas Agung, dimulai tahun 2014. Ketika itu, Hidayatullah telah membentuk lembaga bernama Majelis Ta'lim Hidayatullah (MTH). Lembaga ini menjadi wujud pelaksanaan program GranD MBA yang kala itu sudah dirumuskan.

Pada tahun 2017, MTH berubah menjadi Majelis Qur'an Hidayatullah (MQH) sebagai wujuf pelaksanaan GranD MBA berbasis komunitas. Sampai saat ini MQH tetap ada, namun pada tahun 2021 wujud pelaksanaan GranD MBA ditambah satu lagi, yakni RQH, yang berbasis di rumah.

RQH di Trenggalek, Jawa Timur, menurut Agung, sudah tepat dalam hal sasaran, yakni masyarakat dewasa dan orang tua. Adapun RQH Al-Fath di Kota Semarang, juga melibatkan orang tua setiap akhir pekan. 

Selain itu, model kaderisasi di RQH Trenggalek, di mana murid yang belajar di salah satu RQH ditunjuk sebagai guru di RQH yang lain, juga diapresiasi oleh Agung. Menurut Agung, program GranD MBA harus melahirkan kader. Artinya, gerakan ini harus melibatkan banyak orang. 

Apalagi bila banyak masyarakat yang ingin menjadikan rumahnya sebagai RQH. Otomatis diperlukan tenaga pengajar yang banyak.

Namun, Agung mengakui, masih ada RQH di sejumlah daerah di Indonesia yang belum pas menjalankan program ini. Misalnya, ada RQH yang memposisikan dirinya seperti pesantren di mana para santri harus menginap di sana. 

RQH seperti ini, kata Agung, akan terkesan ekslusif. Masyarakat sekitar tidak mendapat manfaat dari keberadaan RQH tersebut.

Ada juga RQH yang memfokuskan diri pada pembinaan anak-anak saja. Ini juga keliru. Sebab, sasaran utama RQH sebetulnya adalah masyarakat dewasa dan orang tua.

Karena itulah, agar spirit dakwah terjaga, Agung telah menyusun standarisasi RQH. Ada tiga aspek yang distandarkan. Pertama, uniformnya, baik logo, plang nama, maupun pakaian seragam. 

Kedua, aspek mualim (guru)-nya, baik kualifikasi, maupun pemahaman yang utuh tentang gerakan ini. Untuk itu para guru harus ikut dauroh mualim sehingga terstandar, baik penguasaan materi, maupun cita-cita yang sama. Mereka juga bersedia  melibatkan banyak pihak dan tidak bersifat ekslusif.

Ketiga, aspek materi yang diajarkan. Khusus materi ajar ini, Agung meminta agar menggunakan buku-buku GranD MBA dan bukan buku lain. "Bukan buku lain tidak bermanfaat, tetapi karena ini sebuah gerakan maka materi juga harus standar," jelas Agung.

Saat ini Agung yang juga ketua badan koordinasi pembinaan tilawah Qur'an Hidayatullah sedang mengupayakan agar satu propinsi terdapat minimal satu guru ngaji bersanad. Ini juga upaya untuk menstandarkan bacaan para mualim.

Perkembangan gerakan ini memang tidak secepat perubahan gaya hidup akibat kemajuan teklogi dan budaya. Perkembangan gerakan ini bergerak perlahan namun pasti. Sebab, gerakan membangun peradaban Islam memang tak bisa dilakukan tergesa-gesa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat