Jumat, 17 Maret 2023

Komunikasi Transendental

Suatu ketika, saya membuat janji dengan seorang ustadz yang bertugas di Bali untuk wawancara tentang kiprah dakwahnya yang menurut saya luar biasa. 

Kunci sukses berkomunikasi secara horizontal adalah komunikasi secara vertikal yang terjaga.

Ia memenuhi undangan saya untuk bertemu di Denpasar. Ia sendiri saat itu sedang dalam perjalanan dari kampung halamannya di Tanah Jawa menuju tempat tugasnya di daerah terpencil di sebelah timur Propinsi Bali.

Ustadz yang telah menginjak usia lebih dari 50 tahun ini sangat bersahaja. Perjalanan dari kampung halamannya ke wilayah dakwahnya tidak ditempuh dengan menumpang mobil, melainkan dengan sepeda motor butut yang ia peroleh dari pemberian orang-orang yang ikhlas. Dengan motor itu pula ia biasanya mendatangi masyarakat binaannya yang tinggal di lereng Gunung Batur, Bali.

Malam itu, sesuai janji, kami bertemu. Setelah memarkirkan motornya, ia pun mendatangi kamar tempat saya menginap. Setelah saling bertegur sapa, ia meminta izin sebentar untuk keluar. Rupanya, ia mendatangi masjid yang terletak di sebelah tempat saya menginap. Di masjid itu, ia shalat dua rakaat.

Awalnya, saya menduga ia sedang menunaikan shalat wajib. Namun, setelah saya tanyakan, ternyata bukan! 

"Itu shalat sunnah," katanya malu-malu.

Ia sengaja melakukan shalat sunnah dua rakaat, lalu berdoa meminta kepada Allah Ta'ala agar menjaganya dari perkataan yang salah saat nanti menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.


Saya tercenung mendengar pengakuannya. Inilah yang dinamakan komunikasi transendental. Ia berkomunikasi terlebih dahulu kepada Allah Ta'ala, Rabb Yang Maha Mengatur hati dan perbuatan manusia, sebelum berkomunikasi kepada saya. Ia meyakini bahwa sukses atau tidaknya komunikasi dia dengan saya sangat tergantung kepada komunikasinya kepada Rabb-nya.

Cara berkomunikasi seperti ini bukan sekadar ia lakukan ketika berbincang-bincang dengan saya. Setiap kali ia mau berceramah, atau bertemu dengan orang-orang yang tak biasa ia jumpai, ia selalu shalat dua rakaat terlebih dahulu. Ia memohon kepada Allah Ta'ala agar dituntun dalam berkomunikasi, dijauhkan dari perkataan yang tidak tepat, atau meminta agar Allah Ta'ala melunakkan hati komunikannya sehingga mau menerima kebenaran yang ia sampaikan.

Saya juga pernah mendengar cerita bahwa dulu, ketika Allahuyarham KH Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, akan menulis naskah untuk dimuat di rubrik Kajian Utama Majalah Suara Hidayatullah, beliau selalu berwudhu terlebih dahulu. Bahkan beliau juga shalat sunnah dua rakaat, baru beliau menulis. Sering pula beliau menulis setelah menunaikan shalat malam.  

Itulah bentuk komunikasi transendental beliau kepada Sang Pencipta, sebelum beliau berkomunikasi secara horizontal kepada para pembaca Majalah Suara Hidayatullah. Tak heran bila tulisan-tulisan beliau seperti hidup, begitu kuat menghujam di hati pembaca-pembacanya. Beliau meyakini bahwa suksesnya sesorang berkomunikasi secara horizontal amat tergantung kepada komunikasi seseorang secara vertikal kepada Sang Penciptanya.

Cara-cara seperti ini, dalam teori komunikasi Barat, mungkin tak didapati. Para pemikir Barat cenderung memisahkan antara komunikasi horizontal dengan komunikasi vertikal atau transendental. Mereka menganggap keduanya tak saling berhubungan.

Perhatikanlah trik sukses berkomunikasi menurut mereka. Adakah mereka memasukkan poin komunikasi transendental yang terjaga di dalamnya? Tidak! Kebanyakan trik yang mereka kemukakan berhubungan dengan skill. Misal, kemampuan mengolah kata, raut wajah, gerak tubuh, intonasi suara, dan penguasaan bahan.

Semua skill itu memang penting. Namun, tanpa komunikasi yang terjaga dengan Sang Pencipta, maka komunikasi dengan sesama manusia akan terasa mati: hanya kepura-puraan, jauh dari sikap ikhlas, serta tak sesuai antara ucapan dan tindakan. Komunikasi seperti ini biasanya tidak akan bertahan lama. Begitu pun sebaliknya.

Karena itu tak heran bila kita sering mendapati seseorang yang sederhana dalam berucap namun mempesona dalam berkata-kata. Sampai-sampai kita terheran-heran mengapa kita senang sekali mendengarkan ia bicara padahal tak ada yang istimewa dengan cara ia berkomunikasi. 

Orang-orang yang seperti itu biasanya mampu menjaga komunikasinya dengan Allah Ta'ala sebelum berkomunikasi dengan sesama manusia. Itulah yang menyebabkan tutur katanya terasa hidup dan kita betah berlama-lama mendengarkannya.

Wallahu a'lam. ***    

3 komentar:

  1. Masyaa Allah tabaarakallah..... Menguatkan keyakinan dan mencerahkan disaat mulai meredup. Ijin istifadah......

    BalasHapus

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat