Minggu, 08 Januari 2023

Wasathiyah Itu Pertengahan, Bukan Ekstrim

Wasathiyah menjadi salah satu karakter peradaban Islam. Ia memang bukan karakter utama, namun penting untuk kita pahami. 

Masjid Ar-Riyadh Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Kalimantan Timur.

Peradaban Islam, sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, bukan sekadar wilayah sebagaimana Kota Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah. Peradaban Islam lebih kepada nilai-nilai Islam yang dibangun di dalam wilayah tersebut.  Itulah yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya hingga terbangun peradaban Madinah.

Al-Wasathiyah, sebagai salah satu karakter peradaban Islam, memiliki banyak makna. Beberapa makna yang disebut para ulama antara lain: berkeseimbangan (at-tawazun), mengambil jalan tengah (at-tawassuth), adil (al-i’tidal), toleransi (at-tasamuh), setara (al-musawah), berkembang (at-tathawwur), maju dan inovatif (at-taqaddum wal ibtikar), bermusyawarah (as-syura), reformis (al-ishlah), berskala prioritas (al-aulawiyah), dan berkeadaban (at-tahaddhur).

Dengan demikian, manusia yang berperadaban Islam, bukanlah manusia yang ekstrim atau berlebih-lebihan. Sebaliknya, manusia yang berperadaban Islam bukan pula mereka yang gemar mengurangi atau mengubah ajaran Islam sebagaimana kaum liberal.

Manusia yang berperadaban Islam juga selalu seimbang (tawazun) dalam menjalani hidup sebagaimana tertulis dalam al-Qur'an surat Al Hadid [57] ayat 25 dengan sebutan mizan. Keseimbangan dalam hal ini adalah seimbang antara hak dan kewajiban, spiritual dan material, rohani dan jasmani, ilmu dan amal, kemaslahatan pribadi (fardiyah) dan kolektif (jama’iyah), dan lain-lain. 

Seorang yang hidupnya seimbang haruslah berani namun tidak sewenang-wenang terhadap orang lain. Ia seorang pemurah namun tidak berfoya-foya atau mubazir. Ia  bersikap tegas tetapi tetap sopan dan beretika, waspada tetapi tidak takut, bertawakkal namun tetap berikhtiar. Dan, yang terpenting, ia selalu menyiapkan diri untuk kehidupan akhirat, namun tidak mengabaikan kebutuhannya di dunia.  

Kemudian, masyarakat yang berperadaban Islam, senantiasa bersikap lurus dan adil (i'tidal), yakni menghindari segala bentuk penyimpangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, serta bersikap adil dan proporsional dalam menghadapi setiap masalah.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah [5]: 8)

Adapaun terhadap perbedaan, khususnya dalam masalah agama yang bersifat furu’iyah atau khilafiyah maupun masalah sosial kemasyarakatan, manusia yang berperadaban Islam akan menyikapinya dengan toleransi (tasamuh). Bahkan, terhadap kaum kafir yang tidak memusuhi kaum Muslim sekalipun, Islam memerintahkan untuk berlaku adil.

Dalam kisah Nabi Musa AS, Allah Ta'ala berfirman:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى Ѻ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى} [طه: 43، 44]

"Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir'aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut," (Taha [20]: 43-44) 

Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
 
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ   
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al Mumtahanah [60]: 7)

Peradaban Islam akan menempatkan kaum Muslim dalam derajat yang sama dalam kacamata syariah, baik dari hukumnya atau pun kewajibannya. Islam adalah agama yang tidak mengenal perbedaan kasta. Tak ada perbedaan antara tokoh masyarakat dengan orang biasa. Tidak pula antara laki-laki dan perempuan. Setiap orang akan diganjar sesuai amal perbuatannya. 

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ 

"Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) yang mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) yang mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya.’

Demikian pula terhadap kaum kafir, Islam menempatkannya sama di mata hukum. Kisah tentang baju perang khalifah Ali RA yang dicuri seorang Yahudi dan dikalim sebagai miliknya adalah salah satu bukti bahwa Islam tidak membedakan siapa pun di mata hukum. Di pengadilan, Ali RA tak bisa menghadirkan saksi yang menguatkan bahwa baju perang itu miliknya. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa baju perang itu milik Sang Yahudi. Ali RA pun menerima keputusan hakim meskipun ia tetap yakin bahwa baju perang itu miliknya yang dicuri. 

Demikianlah uraian tentang karakter peradaban Islam. Uraian ini tentu hanya secuil saja. Bila bangunan peradaban Islam ini akan dikupas secara tuntas, maka perlu pembahasan secara khusus lewat buku yang berlembar-lembar. 

Namun, bangunan peradaban Islam pada hakikatnya adalah al-Qur'an yang diperjelas dengan hadits Rasulullah SAW dan ijma' ulama. Bangunan peradaban Islam adalah akhlak Rasulullah SAW sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, "Akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur'an." Itulah rujukan arsitektur bangunan peradaban Islam. 

Wallahu a'lam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat