Belum lama ini saya menyaksikan pemandangan tak biasa di atas commuter line (KRL). Seorang lelaki paruh baya membaca koran sambil berdiri. Asyik sekali ia menyingkap lembar demi lembar koran tersebut.
Seorang penumpang commuter line (KRL) tengah asyik membaca koran. Pemandangan seperti ini sudah langka dalam beberapa tahun terakhir. |
Dulu, pemandangan seperti ini lumrah saja. Penjaja koran bisa kita dapati dengan mudah di hampir semua stasiun kereta api. Bahkan, saat tiket KRL masih berupa kertas berlubang, para penjaja koran banyak yang hilir mudik di atas kereta.
Sekarang, pemandangan seperti itu amat langka. Jarang sekali kita menyaksikan orang membaca koran di atas kereta atau kendaraan umum. Semua penumpang lebih asyik membaca dengan gadgetnya. Sedangkan koran, satu persatu telah hilang. Pamit dari peredaran.
Karena itulah, ketika menyaksikan pemandangan langka tersebut, naluri jurnalis saya segera muncul. Saya bergeser ke belakang laki-laki paruh baya tersebut, lalu klik, saya abadikan dengan hp. Hasilnya bisa Anda lihat pada foto di atas.
o0o
Sekira hampir satu bulan lalu berhembus kabar kalau Koran Republika akan pamit dari peredaran. Kabarnya, mereka tak kuat lagi menanggung biaya produksi yang amat besar. Berhenti terbit adalah langkah yang dianggap benar ketimbang hari demi hari menanggung rugi.
Saya masih setengah tak percaya dengan isu tersebut. Tak lama lagi tahun politik akan tiba. Koran Republika yang telah punya nama keren di mata publik, pasti amat dibutuhkan dalam pesta demokrasi tersebut. Rasanya tak mungkin Koran Republika akan pamit mundur ketika pesta baru akan dimulai.
Namun, sekitar dua pekan lalu, cerita seorang teman yang lama berkecimpung di Koran Republika, justru semakin menguatkan kebenaran isu tersebut. Teman tersebut berkata bahwa dia baru saja mengundurkan diri dari Republika. Pihak menejemen menawarkan kepadanya --juga kepada para karyawan yang lain-- untuk mengambil program pensiun dini. "Saya ambil tawaran itu."
Lalu, Rabu sore, 14 Desember 2022, seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia mem-forward sebuah surat kepada saya. Surat tersebut terbit pada tanggal itu juga dan ditandatangani langsung oleh Arys Hilman, Direktur PT Republika Media Mandiri. Isinya, mereka mengumumkan "pamit mundur". Terhitung 31 Desember 2022, Koran Republika tak lagi terbit.
Sebetulnya, dalam surat tersebut, tak ada kata "pamit" atau "mundur" atau "berhenti". Yang ada justru kata-kata yang menyiratkan bahwa perjalanan terus berlanjut, misalnya kata "transformasi, langkah kanan," dan "rencana perjalanan." Bahkan, ada pula kalimat, "Ini bukan perpisahan."
Ya, meskipun Koran Republika berhenti terbit sejak awal 2023, bukan berarti mereka berhenti menyapa pembacanya. Mereka tidak bubar, hanya "ganti baju", dari semula cetak menjadi online.
Namun, apa pun itu, hilangnya Koran Republika telah menambah deretan fakta bahwa menerbitkan media cetak semakin tak mudah. Terlebih di era teknologi informasi yang kian berkembang seperti sekarang ini. Ongkos produksi terlalu tinggi.
Tingginya biaya produksi ini dipicu oleh harga kertas yang meroket, sementara bahan baku kertas mulai langka. Bahkan, saat ini, bahan baku kertas diperoleh dari daur ulang kertas-kertas bekas yang sudah tak terpakai. Tragisnya, menurut sejumlah praktisi percetakan, itu pun sulit didapat. Akibatnya, banyak mesin cetak yang menganggur karena kesulitan bahan baku.
Belum lagi biaya distribusi yang jelas tidak murah. Untuk wilayah timur dan barat, lembar-lembar koran ini harus diantar dengan pesawat udara. Jika diantar lewat darat atau laut, bisa-bisa koran hari ini akan dibaca pekan depan.
Di awal tahun 2000-an, sebelum teknologi internet berkembang pesat seperti sekarang, Koran Republika sudah kesulitan biaya cetak. Untunglah Erick Thohir, dengan kelompok Mahaka-nya, datang memberi suntikan dana meskipun lama kelamaan kepemilikan saham terbesar koran ini bergeser dari ICMI kepada Mahaka.
Ala kulli hal, langkah yang diambil Republika sudah tepat. Transformasi adalah keniscayaan. Sebab, teknologi informasi akan terus bergerak maju. Siapa yang tak mampu menyesuaikan diri maka ia akan tergilas.
Saya teringat dengan perkataan pakar Teknologi Informasi sekaligus Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Ismail Fahmi, dalam suatu obrolan akhir September 2022. Begini kira-kira perkataannya:
"Apa alasan kita harus mempertahankan media cetak? Apakah karena kita suka dengan fisik produknya, atau isinya? Kalau kita suka dengan fisik produknya maka saya terpaksa harus mengatakan itu keliru. Sebab, media cetak akan mati. Tapi kalau kita suka pada isinya maka gantilah fisiknya dengan online. Sebab, media online akan segera menggeser media cetak."
Jadi, tak perlu khawatir bila Anda mendapati koran menjadi langka di atas commuter line (KRL). Sebab, ia tidak hilang, hanya bertransformasi menjadi digital. Dan, Republika tetap bisa ikut meramaikan pesta demokrasi meski dengan baju yang berbeda.
Wallahu a'lam. ***
Catatan
* Artikel ini dimuat oleh Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat