Biasanya, jika seseorang tahu akan suatu hal, maka ia akan yakin dengan hal tersebut. Jika ia tidak yakin, maka ia tak akan berani mengaku kalau ia sudah tahu.
Seorang jamaah Masjid Baitul Karim, Jakarta Timur, tengah khusuk membaca Qur'an. |
Contoh sederhana, kita tahu bahwa gajah itu hewan yang memiliki belalai. Itu berarti, kita yakin bahwa gajah memang berbelalai. Kalau kita tidak yakin, pastilah kita akan menggelengkan kepala ketika ditanya, "Apakah gajah memiliki belalai?"
Namun, hal seperti ini tidak sepenuhnya berlaku bagi sesuatu yang ghaib. Sebagian dari kita, ketika ditanya apakah tahu bahwa Allah itu ada, maka kita akan menjawab ya. Padahal, boleh jadi kita belum benar-benar yakin tentang hal itu. Kita hanya sebatas tahu saja.
Tentang iman, misalnya, kita tahu --bahkan mungkin hafal-- definisi iman sebagaimana dialog antara Malaikat Jibril dengan Rasulullah SAW berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. "Wahai Muhammad," kata Malaikat Jibril, "Beri tahu kepadaku tentang iman!"
Rasulullah SAW menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir, dan engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk." Itulah enam perkara rukum iman yang telah diajarkan kepada kita sejak kecil.
Begitu juga tentang dua tempat yang disediakan oleh Allah Ta'ala untuk manusia setelah hari kiamat, yakni surga dan neraka, kita tentu tahu. Bahkan kita tahu kesenangan apa yang akan kita terima manakala kita dimasukkan ke dalam surga, dan kesengsaraan apa yang akan melanda kita jika dimasukkan ke dalam neraka.
Tapi, apakah kita benar-benar meyakini (mengimani) hal-hal tersebut? Apakah kita benar-benar meyakini adanya hari kiamat, surga, atau neraka? Jika kita benar-benar yakin, mengapa kita masih suka lalai mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari berbangkit nanti?
Apakah kita benar-benar yakin bahwa di sisi kita selalu ada malaikat yang mencatat dengan cermat semua yang kita lakukan? Jika kita yakin, lalu mengapa kita tak merasa malu ketika berbuat salah meskipun tak ada manusia yang melihatnya?
Amar bin Yasir, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Abdul Malik Qasim dalam Aina Nahnu Min Haa-ula-i, pernah berkata, "Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat." Lantas, kalau kematian adalah sebaik-baik nasehat, mengapa orang-orang yang setiap hari lalu lalang di kompleks perkuburan tak juga sadar akan singkatnya waktu mengumpulkan bekal di dunia?
Mengapa pula orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang dekat dengan nasehat kematian, seperti para penggali kubur, para pembuat batu nisan, para petugas kesehatan, sopir ambulan, atau tentara yang biasa bergelut di medan perang, tak meningkat keimananannya padahal ia setiap hati bergelut dengan kematian?
Belum lagi banyaknya informasi tentang kematian di laman-laman media online. Semua adalah nasehat untuk kita. Lantas mengapa nasehat-nasehat tersebut tidak mengubah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik?
Mestinya, rasa takut menghadapi kehidupan setelah kematian akan membuat kita lebih berhati-hati. Tapi faktanya tidak! Kebanyakan kita tidak sungguh-sungguh merasa takut kepada hal-hal yang ghaib setelah kematian. Padahal, Allah Taala menjelaskan di awal surat al-Baqarah [2] bahwa al-Qur'an menjadi petunjuk bagi orang-orang yang meyakini (mengimani) hal-hal yang ghaib. Merekalah orang-orang yang bertakwa.
Bagi mereka yang tak meyakini hal-hal yang ghaib, meskipun ia sudah tahu, nasehat kematian tak akan berarti apa-apa. Apakah kita termasuk di dalamnya? Semoga tidak!
Karena itulah kita perlu sering-sering bertanya pada diri kita sendiri, yakinkah kita kepada kampung akhirat sebagaimana telah kita ketahui sejak lama? Jika kita yakin, maka adakah keinginan kuat untuk mengetahui seperti apa jalan pulang menuju surga?
Jika kita sudah tahu, apakah ada tekad yang kuat untuk meniti jalan itu dan istiqomah di dalamnya? Semoga saja! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat