Kamis, 25 November 2021

Indahnya Menjadi Guru

Sebagai penghormatan kepada para guru di negeri ini, saya publikasikan kembali tulisan saya yang pernah terbit di Koran Republika pada 10 Juni 2003. Selamat hari guru!  

o0o


SUDAH hampir satu bulan Murni Hawab, pensiunan guru sekolah menengah negeri di Bengkulu Selatan, terbaring lemah di tempat tidur. Sesekali dadanya terasa sesak. Entah penyakit apa yang telah menggerogoti paru-parunya hingga sulit sekali rasanya bernapas. 

Laki-laki tua yang lebih dari separuh hidupnya diabdikan untuk dunia pendiikan itu sebetulnya bukan seorang perokok. Malah, ia anti terhadap rokok. Kemarahannya akan meledak manakala ia melihat anak didiknya merokok di lingkungan sekolah. 

Tapi, penyakit paru-paru yang tiba-tiba menyerang masa tuanya itu seolah-olah tak berpihak kepada sikapnya yang anti-rokok. Bahkan, tak juga berpihak kepada semua anggota keluarganya yang juga bukan perokok. 

Lantas, dari mana ia dapatkan racun di paru-parunya? Tak ada dugaan yang lebih masuk akal kecuali dari debu kapur tulis yang setiap hari --selama 40 tahun-- ia hirup di muka kelas. Itu pula yang mejadi dugaan dokter yang memeriksanya, meskipun dugaan itu masih perlu dibuktikan lewat pemeriksaan medis. 

Kamis pagi itu (12/3/2003), saat ia terbangun dari tidurnya, tangannya yang sudah mulai keriput tiba-tiba menggapai-gapai sesuatu. ''Mana kain sarung saya?'' kata Murni kepada istrinya, Rohani. Sang istri buru-buru mencari kain sarung yang diminta, lalu menyelimutkan ke tubuh suaminya. 

''Kain sarung itu pemberian Sudirman Ail, salah seorang muridnya yang sekarang sudah sukses,'' kata Rohani kepada penulis.

Di jajaran Polri, nama Irjen (pol) Sudirman Ail memang sudah tak asing lagi. Dia adalah mantan Kapolda Jawa Barat yang kini menjabat Direktur Operasional Mabes Polri (dulu Kapuskodalop). 

Beberapa tahun lalu, cerita Rohani, Sudirman pernah mengunjungi Bengkulu Selatan. Dalam kunjungan tersebut ia menyempatkan diri menemui Murni, mantan gurunya semasa di SMP, seraya membawa oleh-oleh beberapa lembar kain sarung dan sebuah jam tangan. Betapa senang Murni menerima oleh-oleh itu. Bukan nilai ''buah tangan'' yang membuat hatinya berbunga-bunga. Tapi, semata kebanggaan tulus seorang guru kepada muridnya yang sudah berhasil melebihi keadaannya saat ini. 

Semasa muda, cerita Rohani, Murni adalah sosok guru yang humoris tapi sangat tegas. Tak ada kompromi bagi murid yang malas. Tak ada belas kasihan buat murid yang tidak naik kelas. Karena sikap tegas ini pula, kata Rohani, keluarga yang dikaruniai lima orang anak ini terpaksa mengungsi setiap kali masa kenaikan kelas tiba. Maklum, beberapa murid yang tinggal kelas umumnya melampiaskan rasa kesalnya dengan melempari rumah sang guru dengan batu. 

Sebaliknya, bagi murid-murid pandai, sikap tegas Murni semakin menambah kekaguman mereka. Hampir setiap malam, cerita Rohani, rumah mantan guru teladan tingkat nasional di era 70-an ini ramai dikunjungi murid-murid. Mereka belajar di bawah penerangan lampu minyak tanah. 

Di era tahun 60-an, setiap kali menjelang ujian akhir sekolah, Murni harus mengayuh sepedanya menempuh jarak sekitar 80 km untuk mengambil berkas ujian di ibu kota propinsi. Jarak seperti itu biasanya ia tempuh dalam waktu tiga hari. Maklum, sebagian besar jalanan masih berupa tanah dan sebagian sungai belum ada jembatan. 

Kamis sore (12/3), Murni dibawa ke Palembang Sumatera Selatan atas rekomendasi dokter di daerahnya setelah pihak rumah sakit setempat menyatakan tak sanggup mengobati penyakit paru-parunya. Terbayang di benak keluarga sederhana itu bagaimana rumit mengurus asuransi kesehatan di rumah sakit Muhammad Husein, salah satu rumah sakit pemerintah di kota Palembang yang menjadi rujukan Askes. 

Berbekal sebuah nomor telepon rumah salah seorang mantan muridnya, berangkatlah keluarga Murni ke ''kota Mpek-mpek''. Sebelum masuk rumah sakit, keluarga Murni menelepon si mantan murid --bernama Supli—sekadar ingin meminta petunjuk. Maklum, si murid ini konon sudah lama tinggal di Palembang. Otomatis, segala seluk beluk urusan administrasi rumah sakit kemungkinan besar ia tahu. 

Tanpa dinyana, Supli malah datang sendiri ke tempat di mana keluarga Murni menginap di Palembang. Begitu bertemu mantan gurunya, Supli langsung mengambil tangan yang sudah mulai lemah lalu menciumnya. ''Pak, ini saya. Supli! Bapak masih ingat saya?'' katanya dengan suara terbata. 

Murni agak lama memperhatikan wajah mantan muridnya itu. Lalu, dengan suara lemah, Murni menjawab, ''Ya, saya ingat. Kamu kerja di mana sekarang?'' 

Supli lalu mengeluarkan sebuah buku tipis berwarna hijau, lalu menyerahkannya kepada Murni. Di dalamnya tertera tulisan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya 

''Saya sekarang sudah profesor. Ini semua berkat ajaran bapak sewaktu saya masih kecil. Besok, bapak akan saya urus masuk rumah sakit. Itu sudah kewajiban saya,'' kata Supli yang bernama lengkap Prof Dr ir Supli Effendi Rahim M.Sc. 

Tersenyum Murni mendengar ucapan mantan muridnya. Satu lagi bibit yang dulu ditanamnya sudah mekar menjadi buah. Duh indahnya menjadi guru... ***

 

3 komentar:

  1. Masyaa Allah terharu sampai meneteskan air mata, aku pun punya kisah dengan beliau saat aku lukus SMA dn menmendapat undangan menjadi mahasiswa di eprgytuan tunggi di Padang, beliaulah yang membujuk ayahku agar aku bisa berangkat, kuliah, semoga Allah lapangkan kubur beliau dan surga balasan atas apa yang telah beliau berikan keoadaku, aamiin

    BalasHapus
  2. Pak Murni dan ibu Ani adalah guru yg selalu kukenang, karena banyak keteladan yg berika pada sy SBG muridnya tegas dan cerdas

    BalasHapus
  3. masya Allah sangat menginspirasi

    BalasHapus

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat