Kamis, 04 November 2021

Hidayatullah Menilai Permendikbud Kekerasan Seksual Cacat

Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah menilai Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi perlu dicabut atau disempurnakan kembali. Sebab, jelas Ketua Umum DPP Hidayatullah, Dr. Nashirul Haq pada Kamis (4/11), peraturan tersebut cacat.


"Kami menilai permendikbud nomor 30 bertentangan dengan tujuan mulia yang ingin dicapai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Karena itu, permendikbud tersebut cacat dan harus dicabut atau disempurnakan," jelas Nashirul.

Di dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3, jelas Nashirul, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pada Permendikbud Nomor 30 pasal 5 disebutkan bahwa tindakan seksual akan dianggap pelanggaran jika tidak ada persetujuan dari korban. 

Dengan logika ini, praktik perzinaan, lesbi, dan homo, bukan lagi dianggap pelanggaran Permendikbud. Sebab, praktik-praktik haram tersebut didasarkan atas suka sama suka, bukan paksaan. "Ini jelas merusak keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia yang ingin dibangun oleh sistem pendidikan di Indonesia sebagaimana tertera dalam UUD 1945," kata Nashirul lagi.

Selain itu, Permendikbud Nomor 30 juga tidak sesuai dengan pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di dalam UU tersebut dikatakan bahwa tujuan didirikannya perguruan tinggi adalah untuk mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan berbudaya.  

Jika permendikbud ini diteruskan, kata Nashirul, maka runtuhlah bangunan peradaban mulia yang selama ini diperjuangkan oleh para pendidik sejak sekolah tingkat dasar. Sebab, ketika masuk perguruan tinggi, para peserta didik berpeluang untuk terjebak dalam pergaulan bebas. Mereka bisa melakukan praktik zina tanpa ada undang-undang atau peraturan yang melarangnya.  

"Ini sangat berbahaya. Sejarah banyak mencatat kehancuran sebuah generasi ketika zina, homo, dan lesbi dibiarkan begitu saja,"  kata Nashirul.

Sementara itu, Ketua Departemen Hukum DPP Hidayatullah, Dr Dudung A Abdullah menjelaskan bahwa tak ada UU atau peraturan pemerintah di negara ini yang melarang praktik perzinaan kecuali untuk mereka yang telah menikah atau anak di bawah umur. Seharusnya, kata Dudung lagi, Permendikbud Nomor 30 ini menjadi solusi atas ketiadaan tersebut. Sayangnya, Permendikbud ini secara tidak langsung justru melegalkan praktik perzinaan, homo, dan lesbi di perguruan tinggi.

Nashirul juga menjelaskan bahwa selama ini Hidayatullah telah menjadikan pendidikan sebagai arus utama gerakan selain dakwah. Kampus-kampus perguruan tinggi Hidayatullah telah berupaya keras mencetak manusia unggul dengan pendidikan barbasis tauhid. Demikian pula sekolah dan pesantren Hidayatullah yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. Ini semua sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. 

Seharusnya, kata Nashirul lagi, pemerintah mendukung upaya-upaya positif seperti ini dengan membuat payung hukum agar peserta didik tak berani melakukan praktik-praktik yang bisa merusak tujuan pendidikan nasional, bukan malah sebaliknya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat