Menulis itu menyampaikan pesan. Sama seperti seorang dai yang berceramah di atas mimbar, ia juga menyampaikan pesan. Cuma, cara menyampaikan keduanya berbeda. Ada yang berdiri gagah di atas mimbar, ada juga yang jemarinya menari lincah di atas keyboard komputer.
Karena menulis adalah menyampaikan, maka letak menarik tidaknya sebuah tulisan tidak terdapat pada kelincahan jari-jemari itu menari. Sama seperti seorang dai di atas mimbar. Meskipun ia lincah menggerakkan tangan dan kepalanya, tetap saja ceramahnya tak menarik jika tak ada 'Isinya".
Jadi, letak menarik tidaknya sebuah tulisan ada pada informasi yang disampaikan lewat tulisan tersebut. Jika informasinya menarik, otomatis tulisannya juga menarik. Begitu juga dai di atas mimbar. Jika pesan yang disampaikannya berbobot, maka berbobot pula isi ceramahnya.
Lalu, apa ciri sebuah informasi disebut menarik? Lihatlah reaksi pembaca atas informasi yang Anda sampaikan. Reaksi menunjukkan ketertarikan. Entah ia berwujud marah, sedih, tertawa, menangis, atau merenung. Jika pembaca bereaksi maka berarti dia tak saja mengerti apa yang Anda tulis, tapi juga terpengaruh dengan apa yang Anda paparkan.
Reaksi pembaca tentu saja memiliki kadar yang berbeda-beda tergantung bobot informasi yang Anda sampaikan. Pembaca yang sekadar tersenyum tentu berbeda dengan pembaca yang tertawa terbahak-bahak, apalagi sampai berguling-guling.
Hanya saja, reaksi yang besar tidak harus muncul serta merta. Boleh jadi wujud dari reaksi tersebut baru tampak setelah berhari-hari ia membaca tulisan Anda. Reaksi pertama hanya berbentuk perenungan. Namun, dari perenungan itu, bisa jadi muncul gagasan. Dan, dari gagasan itu, muncullah sebuah aksi nyata yang berdampak besar.
Misal, Anda menyajikan informasi bahwa 65 persen masyarakat Muslim di Indonesia tidak bisa membaca al-Qur'an. Informasi ini Anda peroleh setelah mewawancarai Ketua Yayasan Indonesia Mengaji. Beliau sendiri memperoleh informasi tersebut berdasarkan penelitian mendalam sejumlah organisasi pemuda Islam.
Informasi tersebut Anda lengkapi pula dengan bebepa penyebab mengapa Muslim Indonesia tak akrab dengan al-Qur'an. Bahkan, Anda juga memperoleh data bahwa 70 persen Muslim Indonesia yang tak bisa mengaja tak memiliki al-Qur'an di rumahnya.
Seseorang yang membaca tulisan Anda ini lalu merenung. Ia tidak bersedih, tidak marah, tidak pula tertawa. Ia hanya merenung sambil sekali-kali kepalanya mengangguk-angguk. Lalu, muncullah sebuah gagasan di kepalanya. Ia ingin membangun Rumah Qur'an, bekerja sama dengan sebuah penerbit Qur'an besar di Jakarta. Setelah beberapa pekan kemudian, muncullah sebuah Rumah Qur'an di Jakarta, yang disusul dengan rumah-rumah Qur'an yang lain. Dampak dari tulisan Anda rupanya baru terlihat setelah beberapa pekan tulisan itu muncul.
Jadi, saat menulis, Anda sebenarnya tak sekadar dituntut untuk bisa merangkai huruf menjadi kata atau merangkai kata menjadi kalimat, serta merangkai kalimat menjadi alinea dan artikel. Lebih dari itu, Anda juga dituntut mampu menyajikan data dan fakta yang berbobobot. Di sinilah tantangan seorang penulis. Ia harus banyak melihat, mendengar, membaca, mengkaji, beragam peristiwa. Ia harus tekun mencatat, cermat memperhatikan, dan cekatan memprediksi.
Banyak orang yang gagal menulis bagus karena terlalu banyak menghabiskan waktu untuk belajar cara menulis, bukan belajar cara mendapatkan data-data yang berbobot. Padahal, cara menulis hanyalah casing. Justru data-data itulah yang menentukan kualitas tulisan.
Dan, menulis adalah proses mempengaruhi. Sama seperti berdakwah. Menurut istilah, dakwah berarti menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu. Begitu juga menulis, adalah proses menyajikan fakta dan informasi agar pembaca bereaksi sesuai dengan apa yang penulis inginkan.
Nah, mari kita berdakwah dengan menulis. Siapa tahu di belahan dunia sana ada seseorang yang Allah Ta'ala berikan hidayah lewat perantaraan tulisan kita. Wallahu a'lam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat