Telah kita pahami dari beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bahwa kebenaran dan kebathilan tak mungkin akan bersatu. Jika kebenaran sudah datang, maka kebathilan akan lenyap. Artinya, kebenaran pada akhirnya akan menang melawan kebathilan.
Setelah kita yakin bahwa kemenangan pasti akan kita raih, lantas bagaimana sikap kita selanjutnya? Tentu kita tak boleh hanya duduk-duduk saja menunggu datangnya kemenangan itu sebagaimana dulu kaum Yahudi tak mau masuk ke Baitul Maqdis untuk berperang bersama Nabi Musa AS dan lebih memilih duduk-duduk saja sambil menunggu kemenangan.
Ungkapan kaum Yahudi ini difirmankan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Al-Ma'idah [5] ayat 24, "Hai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya (Baitul Maqdis) selama ada orang-orang gagah di dalamnya. Karena itu, pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua. Biarlah kami hanya duduk menanti di sini saja.”
Kaum Muslim tentu tidak seperti itu! Meskipun Allah Ta'ala telah menjanjikan kemenangan kepada para penyeru kebaikan, tetap saja kebenaran tersebut harus diperjuangkan dan kemungkaran harus dicegah. Justru, perjuangan itulah yang menjadi bukti keimanan kita, sebagai mana firman Allah Ta'ala dalam al-Quran surat Al Hujarat [49] ayat 15, "Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar."
Lalu, bagaimana cara kita berjuang? Tentu dengan cara berdakwah, yakni menyeru manusia kepada kebenaran (haq) dan mencegah manusia dari kemungkaran, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita. Dengan dakwah seperti ini, kaum Muslim akan menjadi umat terbaik di antara umat-umat lainnya. Allah Ta'ala berfirman, "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar..." (Ali 'Imran [3]: 110)
Namun, berjuang tidak selalu identik dengan kekerasan, apalagi peperangan. Bahkan, banyak sekali teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW tentang bagaimana berdakwah dengan cara yang hikmah.
Pada suatu hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, datang seorang laki-laki meminta izin kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma untuk bertemu Rasulullah SAW. 'Aisyah lalu masuk menemui suaminya itu dan mengatakan keinginan laki-laki tersebut.
Rasulullah SAW berkata kapada 'Aisyah, “Berilah izin kepadanya, (dia adalah) seburuk-buruk putera kabilah atau saudara kabilah.”
Setelah laki-laki itu disuruh masuk dan bertemu Rasulullah SAW, 'Aisyah terheran-heran melihat Rasulullah SAW justru berbicara lunak kepada laki-laki itu. Padahal sebelumnya Rasulullah SAW memberitahu bahwa laki-laki itu bukanlah orang baik-baik.
‘Aisyah kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu. Namun (mengapa) engkau berbicara lemah lembut kepadanya?”
Rasulullah SAW berkata, “Wahai ‘Aisyah, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa Jalla adalah (manusia) yang dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya.”
Demikian Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita. Beliau tak ingin dijauhi umatnya. Ini pula yang difirmankan Allah Ta'ala dalam surat An-Nahl [16] ayat 125, "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Menurut Ibnu Katsîr dalam tafsirnya tentang ayat ini, apabila harus dilakukan dialog atau tukar pikiran kepada masyarakat, hendaklah para penyeru kebaikan melakukannya dengan cara yang baik, lemah lembut, dan tutur kata yang baik. Bahkan, sekalipun kepada ahli kitab, tetap harus dilakukan dengan cara yang baik. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” (al-Ankabût [29]:46)
Nabi Musa AS, ketika mendakwahi Fir'aun, diseru oleh Allah Ta'ala agar melakukannya dengan santun. Allah Ta'ala berfirman kepada Musa AS dan Harun AS, sebagaimana tertulis dalam al-Qur'an surat Thaha [20] ayat 44. "Maka berbicalah kamu berdua (Musa AS dan Harun AS) kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”
Demikian pentingnya kelembutan dalam dakwah sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” (Riwayat Muslim)
Wajarlah bila kemudian Syaikh Bin Bâz berkata, “Kekerasan hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.”
Wallahu a'lam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat