Kamis, 18 Maret 2021

Manusia yang Dulu Umat yang Satu

Allah Ta'ala berfirman dalam al-Qur'an surat al-Baqarah [2] ayat 213, "Manusia itu (dahulunya) satu umat (ummatan wahidatan). Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus."

Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini menjelaskan bahwa istilah ummatan wahidatan (umat yang satu) merujuk pada umat manusia pada 10 generasi pertama, yakni sejak Nabi Adam AS hingga memasuki generasi Nabi Nuh AS. Ketika itu, umat manusia berada dalam satu syariat yang diturunkan oleh Allah Ta'ala.  

Di dalam al-Qur'an, istilah ummatan wahidatan setidaknya terulang sebanyak sembilan kali. Selain tersebut pada ayat di atas, juga bisa dijumpai dalam surah al-Maidah [5] ayat 48, Yunus [10] ayat 19, Hud [11] ayat 118, al-Nahl [16] ayat 93, dan al-Anbiya' [21] ayat 92. 

Namun, setelah 10 generasi pertama itu, manusia mulai banyak berselisih. Perselisihan ini tentu saja tak lepas dari rayuan iblis yang telah menggoda manusia sejak generasi pertama (Adam AS). Rayuan tersebut lama kelamaan membuat hati manusia dipenuhi rasa dengki. Banyak di antara manusia yang mulai menempuh jalan bengkok. Lalu Allah Ta’ala menurunkan para Nabi dan Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia tentang jalan yang lurus. 

Rasul pertama yang diutus oleh Allah Ta'ala adalah Nuh AS. Kita paham dalam sejarah bahwa Nuh AS telah berdakwah selama 950 tahun kepada kaumnya. Namun, Allah Ta'ala menakdirkan jumlah pengikut beliau tak banyak. Sebuah riwayat menyatakan hanya 80 orang saja. Kemudian, Allah Ta'ala menakdirkan sebuah musibah untuk kaum Nabi Nuh AS berupa air bah yang amat dahsyat. 

Demikianlah selanjutnya, Allah Ta'ala juga menurunkan kitab kepada umat manusia untuk memberikan keputusan atas perkara yang mereka perselisihkan. Namun, perselisihan demi perselisihan terus saja terjadi dan para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah Ta'ala tetap saja didustakan oleh kaumnya sehingga jumlah pengikut mereka tak banyak. 

Dalam sebuah hadits tentang peristiwa mi'raj, Allah Ta'ala menunjukkan kepada Rasulullah SAW bagaimana keadaan para Nabi dan Rasul kelak di akhirat. Ada Nabi yang hanya memiliki beberapa pengikut saja, bahkan ada yang tidak memiliki seorang pengikut pun. Itu artinya, kebanyakan manusia tetap memilih jalan bengkok meski telah turun kepada mereka petunjuk.

Manusia yang telah tersesat ini terpecah-pecah lagi menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan merasa diri mereka benar, bahkan berbangga hati. Allah Ta’ala menjelaskan fenomena ini dalam al-Qur’an surat Al Mu’minun [23] ayat 53 dan 54, “Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan."

Begitulah keadaan umat manusia yang dulunya hanya menyembah Tuhan Yang Satu dan mengikuti syariat yang satu, hingga Allah Ta'ala mengutus Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir dan penutup para Nabi. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Ta'ala dalam penutup surat al-Baqarah [2] ayat 213 sebagaimana tertera di atas, "...Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus." 

Abu Hurairah menjelaskan tentang penggalan ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Abdul Razzaq, dari Ma'mar, dari Sulaiman al-A'masy, dan dari Abu Saleh bahwa Nabi SAW bersabda, "Kami adalah umat yang terakhir, tetapi kami adalah umat yang pertama di hari kiamat. Kami adalah orang yang mula-mula masuk ke surga, hanya saja mereka diberi kitab sebelum kami dan kami diberi kitab setelah mereka. Maka Allah memberi petunjuk kami kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan seizin-Nya..." 

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, sehubungan beberapa  contoh yang mereka perselisihkan tersebut. Tentang hari Jumat, misalnya. Orang-orang Yahudi telah mengambil hari Sabtu sebagai hari besar mereka, sedang orang-orang Nasrani mengambil hari Ahad, maka Allah Ta'ala memberi petunjuk kepada umat Muhammad tentang hari Jumat.

Demikian pula mereka berselisih tentang kiblat. Orang-orang Nasrani menghadap ke timur, sedang orang-orang Yahudi menghadap ke arah Baitul Maqdis, dan Allah Ta'ala memberi petunjuk umat Muhammad SAW ke arah Ka'bah.

Hal lain yang mereka perselisihkan adalah tentang cara shalat. Di antara mereka ada yang rukuk tanpa sujud, ada pula yang sujud tanpa rukuk. Ada yang shalat sambil berbicara, ada pula yang shalat sambil berjalan. Maka Allah Ta'ala memberi petunjuk umat Muhammad SAW tentang cara shalat yang benar.

Mereka berselisih mengenai puasa. Di antara mereka ada yang berpuasa sampai setengah hari, ada juga yang berpuasa dengan cara meninggalkan makanan jenis tertentu saja. Maka Allah Ta'ala memberi petunjuk kepada umat Muhammad SAW tentang cara puasa yang benar.

Mereka juga berselisih pendapat tentang Nabi Ibrahim AS dan Nabi Isa AS. Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS adalah pemeluk agama Yahudi, sedangkan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS adalah pengikut agama Nasrani. Allah Ta'ala meluruskan anggapan itu bahwa Nabi IbrahimAS  sesungguhnya adalah seorang yang hanif lagi Muslim. 

Adapun tentang Nabi Isa AS, orang-orang Yahudi mendustakannya dengan menuduh ibunya berbuat dosa besar (zina). Sedang orang-orang Nasrani menjadikannya sebagai tuhan dan anak tuhan. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Nabi Isa AS diciptakan oleh Allah Ta'ala melalui ruh ciptaan-Nya.

Risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah penyempurna risalah para Nabi dan Rasul terdahulu. Rasulullah SAW diutus untuk mengembalikan manusia kepada umat yang satu, yakni umat yang hanya menyembah kepada Allah Ta'ala.

Namun, manusia tetap saja banyak yang ingkar meskipun petunjuk telah sampai kepada mereka. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat al-Ahzab [33] ayat 72 ketika Allah Ta'ala menawarkan amanah kepada Adam AS yang sebelumnya ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. "... sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh." 

Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang bodoh hingga akhir hayat kita.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat