Kamis, 18 Februari 2021

Radikal

Kata radikal kembali marak dibicarakan belakangan ini. Sekelompok orang yang menamakan dirinya Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB telah melaporkan tokoh nasional Prof Din Syamsuddin kepada  Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara. Laporan itu kemudian diteruskan oleh KASN ke Satgas Penanganan Radikalisme dan Kementrian Agama.

Banyak masyarakat yang marah dengan pelaporan itu. Mereka marah karena itu sama saja dengan menuduh Prof Din radikal. Padahal, kata radikal telah lama dikonotasikan negatif di negeri ini. Bahkan, saking negatifnya, presiden Joko Widodo merasa perlu memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD untuk menangani paham-paham radikal. Ini diungkapkan Jokowi dalam pidatonya pada akhir Oktober 2019.

Sebenarnya, secara etimologis, kata radikal bermakna netral. Ia berasal dari bahasa Latin, radix atau radici, yang artinya ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Jadi, radikal jika dimaknai secara netral, ia mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, atau esensi atas bermacam gejala.

Jika mengacu pada makna ini maka Islam radikal berarti pemahaman Islam yang mengakar dan bersumber dari prinsip-prinsip asalnya. Bukankah ini makna yang bagus? Namun, apa boleh buat, makna ini kemudian bergeser menjadi negatif. 

Di Indonesia, istilah radikalisme, jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, bermakna tiga hal. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dan ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

Sedang kata radikal,  menurut KBBI keluaran tahun 1990, diartikan sebagai “secara menyeluruh,” “habis-habisan,” dan “maju dalam berpikir atau bertindak". 

Saat acara Silaturahim Nasional Forum Ukhuwah Islamiyah MUI yang digelar akhir 2019, Wakil Menteri Agama, Zainuttauhid menjelaskan tiga kriteria radikal. Pertama, jika suatu paham menistakan nilai-nilai kemanusian, seperti bertindak anarkhis dan membahayakan orang lain, apalagi sampai melakukan bom bunuh diri. 

Kedua, jika ada paham yang mengingkari kesepakatan nasional, maka paham itu juga terktegori radikal. Kesepakatan nasional tersebut, misalnya, menurut Zainuttauhid, menentang Pancasila dan NKRI yang telah menjadi kesepakatan bersama termasuk para pendahulu kita. Adapun kriteria ketiga, jika ada paham yang merasa paling benar dan intoleran. Misalnya, kelompok yang suka mengkafirkan orang lain. 

Jadi --sekali lagi-- apa boleh buat, publik sudah terlanjur memaknai negatif kata radikal ini. 

Kembali ke persoalan tuduhan kepada Prof Din tadi. Pelaporan tersebut sebenarnya sudah lama berlangsung. Tepatnya pada Oktober 2020. Namun, baru muncul ke publik belakangan ini. 

Publik terkejut! Mereka bertanya-tanya, mengapa Prof Din dituduh radikal? 

Tak sedikit yang menyatakan tuduhan itu berlebihan dan tidak tepat. Bukankah selama ini Prof Din telah banyak membangun dialog lintas agama?  Menteri Agama, Yaqut Cholil  Qoumas, juga menyatakan gegabah jika melabeli Prof Din dengan sebutan radikal. Bahkan banyak juga yang meminta agar tuduhan tersebut dicabut. Fraksi Partai Amanat Nasional, misalnya (www.Hidayatullah.com, 15 Februari 2021).  

Boleh jadi pada akhirnya laporan itu akan diabaikan oleh pemerintah. Sinyal soal ini telah diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD dalam video yang dipublikasikan Ahad (14/2/2021). Kata Mahfud, pemerintah menganggap Din sebagai tokoh kritis dan pengusung moderasi agama. Pemerintah tidak berniat mempersoalkan apa yang dilakukan Din selama ini.

Namun, kasus ini telah telanjur "mewabah".  Banyak tanya akan tersisa di benak masyarakat. Apakah radikalisme yang dikhawatirkan pemerintah tersebut baru terdefinisi berbahaya bila sudah mewujud menjadi tindakan? Atau, apakah ia sudah berbahaya meskipun masih berwujud wacana?  

Apakah bila orang biasa melakukan kritik pedas kepada pemerintah sebagaimana dilakukan oleh Prof Din dianggap radikal? 

Apakah mereka yang gemar mengungkit-ungkit sejarah Islam pasca Rasulullah SAW terdefinisi radikal? Apakah mereka yang suka meyebut-nyebut istilah tertentu dalam al-Qur'an dikatakan radikal? Bagaimana pula dengan istilah-istilah dalam agama lain? 

Semua pertanyaan ini perlu dijawab dan dielaskan secara terbuka oleh pemerintah. Jika tidak, maka tuduh menuduh sebagaimana dialami Prof Din akan kembali terjadi. 

Wallahu a'lam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat