Senin, 26 Oktober 2020

Berdakwah Tak Perlu Tergesa-gesa

Dalam salah satu Hadits Arbain, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam (SAW) berkata, "Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman," (Riwayat Muslim).

Kemungkaran akan selalu ada selama orang-orang yang memilih jalan bengkok juga ada. Namun, Allah Ta'ala memerintahkan kepada kita untuk berusaha mengubah kemungkaran itu menjadi kebajikan sesuai dengan kemampuan kita sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam hadits di atas. 

Jika kita punya kekuasaan untuk mengubahnya, maka ubahlah. Misal, seorang ayah tentu punya kekuasaan atas anak-anaknya. Atau, seorang pimpinan mesti punya kekuasaan atas bawahannya. Demikian pula seorang yang kuat dan ditakuti, pastilah punya kekuasaan atas orang-orang yang lemah. 

Rasulullah SAW pernah melakukan cara ini. Ketika Islam telah kuat di Madinah, beliau kembali ke Makkah membawa 10 ribu pasukan untuk menghancurkan semua berhala di sekitar Ka'bah. Beliau juga beberapa kali mengutus pasukan untuk memerangi kelompok-kelompok yang benar-benar menetang Islam.

Ini sejalan dengan seruan Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat al-Anfal ayat 39, "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan." 

Namun, jika kekuasaan itu tak kita miliki, maka kita masih bisa mengubah kemungkaran dengan nasehat yang makruf. Ini juga dilakukan oleh Rasulullah SAW, utamanya setelah turun perintah berdakwah secara terang-terangan (Quran surat Asy-Syuara [26]:214).

Rasulullah SAW juga mendakwahkan Islam kepada para penguasa di sekitar Madinah dengan cara berkirim surat. Beberapa penguasa yang beliau kirimi surat adalah Raja Najasy, Kaisar Heraklius, Raja Ghassan, Penguasa Yamamah, dan Raja Oman.

Dan, jika kita tak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan atau dengan lisan, maka cukup kita ingkari saja di dalam hati. Ini dilakukan oleh Rasulullah SAW beberapa saat setelah peristiwa kenabian. Beliau tidak langsung berdakwah secara terang-terangan, namun sembunyi-sembunyi.  Tentu saja ini beliau lakukan agar dakwah bisa terus berlangsung dalam jangka panjang.

Namun, dakwah butuh kebijaksanaan. Adakalanya kita mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, namun tidak kita lakukan karena kita tahu hal itu justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atas dakwah. Atau sebaliknya, jika kita bersabar dan menahan diri, justru kebajikan atas dakwah akan datang lebih besar.

Dikisahkan dalam Jaami al-Ulum wa al-Hikam bahwa para murid Ibnu Masud, setiap kali melewati sekelompok orang yang mereka pandang sedang berbuat jelek, maka mereka mengatakan, "Tak perlu tergesa-gesa, tak perlu tergesa-gesa, semoga Allah merahmati kalian."

Yang juga menarik, ketika Rasulullah SAW berdakwah di Thaif, beliau dihina dan disakiti oleh penduduk negeri itu. Namun, beliau justru tidak menghendaki kehancuran penduduk Thaif meskipun beliau punya kesempatan untuk itu. 

Beliau menolak tawaran malaikat penjaga gunung untuk meluluhlantahkan Thaif dengan berkata, "Aku masih berharap agar Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun."

Dakwah juga butuh kelembutan. Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Hendaklah memerintah pada yang makruf dan melarang dari kemungkaran dengan tiga hal. Pertama, lemah lembut ketika memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Kedua, bersikap adil ketika memerintah dan melarang. Dan ketiga, berilmu pada apa yang diperintahkan dan yang akan dilarang," (Jaami al-Ulum wa al-Hikam).

Wallahu alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat