Fenomena Najwa Shihab yang mewawancarai kursi kosong dalam acara Mata Najwa pada akhir September 2020 menarik dicermati. Sedianya, kursi itu diduduki oleh Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Namun, Pak Menteri kemudian tidak datang, dan publik pun bertanya "Ada apa?", meskipun itu hak Pak Menteri.
Ada yang meradang karena ulah Najwa ini dan melaporkannya kepada Dewan Pers. Padahal, dalam praktik jurnalisme tulis, ini sering dilakukan oleh wartawan, meskipun tak persis sama.
Seorang wartawan, misalnya, ketika mengontak narasumbernya melalui telepon, namun tak pernah diangkat meski ditelepon berkali-kali, akan menulis dalam laporannya, "Sayangnya, ketika masalah ini dikonfirmasi kepada si fulan, teleponnya tak pernah diangkat." Itu berarti, sang wartawan hanya bisa mewawancarai gagang telepon.
Di lain waktu, sang wartawan mendatangi rumah narasumbernya. Namun berkali-kali didatangi, gerbang rumah sang narasumber tak pernah dibuka. Alhasil, sang wartawan hanya bisa menulis dalam laporannya, "Sayangnya, setiap kali didatangi ke rumahnya, si fulan tak pernah membukakan pintu pagar rumahnya yang setinggi dua meter itu. Gerbang yang terbuat dari besi berwarna hitam tersebut tetap tertutup rapat meskipun bel sudah berulang kali dibunyikan." Itu berarti, sang wartawan hanya bisa mewawancarai pintu pagar.
Begitulah dinamika dunia wartawan. Benda mati pun kadang-kadang bisa "berbicara" banyak. Saya jadi teringat sebuah artikel yang saya tulis di Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2016. Judulnya Kursi Kosong Pak Menteri.
Dalam artikel itu, saya menggambarkan suasana sebuah diskusi jurnalistik yang digelar Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) di Gedung Dewan Pers, Jakarta. Sejumlah praktisi pers hadir dalam diskusi tersebut. Pak Bagir Manan yang saat itu menjabat Ketua Dewan Pers memberikan sambutannya. Para pemerhati pers seperti Usman Hamid, juga senior information specialist dari kedubes Amerika Serikat, dan wartawan senior Djakarta Post, Ety Nurbaety ikut hadir dalam diskusi itu. Ruangan diskusi penuh dengan insan pers.
Yang diundang sebagai pembicara sejumlah tokoh pers, di antaranya Eko Maryadi, President of Southeast Asian Press Alliance (SEAPA), dan ahli hukum federasi internasional Mr Jim Nolan. Diskusi dimoderatori oleh Arif Bambang Amri, Kepala Kompartemen PT Viva Media Baru. Saya pun didapuk sebagai salah seorang pembicara.
Tema diskusi memang sesuatu yang sedang hangat ketika itu, yakni kebebasan pers. Peristiwa pemblokiran sejumlah media Islam yang dianggap berbahaya oleh pemerintah masih menjadi perbincangan hangat masyarakat. Meskipun pemerintah akhirnya membuka kembali pemblokiran media Islam, namun pemblokiran itu masih menyisakan tanya yang belum terjawab.
Pihak AJI sebagai penyelenggara telah menyediakan 4 kursi untuk pembicara plus 1 untuk moderator. Semua pembicara hadir kecuali satu orang, yakni Pak Menteri Komunikasi dan Informasi. Kursi yang seharusnya diduduki Pak Menteri akhirnya dibiarkan kosong. Padahal, beliaulah pihak yang paling bisa menjelaskan sejumlah pertanyaan yangbelum terjawab tadi.
Jadi, dalam laporan yang saya tulis di Majalah Suara Hidayatullah tadi, kursi kosong Pak Mentri adalah salah satu nara sumber saya. Bahkan, saya jadikan judul.
Tapi, ngomong-ngomong, andai saat itu sang moderator diskusi adalah Najwa Shihab, sepertinya ia juga akan memperlakukan kursi kosong itu sebagai narasumber, bahkan akan mewawancarainya.
Mungkin saja ... ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat